Bab 3

2034 Kata
Seperti kebiasaannya setiap hari, pagi ini juga Andre mengawali rutinitasnya dengan mengunjungi makam tunangannya. Dengan membawa bunga lili putih favorit Vian, Andre melangkah memasuki area komplek pemakaman itu. Namun, langkahnya terhenti dalam jarak beberapa meter dari makam Vian. Sosok yang sedang berjongkok di makam itu yang menghentikannya. Andre berdecak, ia tidak menyukai sosok itu. Sungguh, sampai sekarang ia masih belum bisa menerima mata dan jantung Vian yang tertanam di tubuh perempuan yang bernama Cahaya Andini. Dengan penuh kesabaran Andre menunggu sampai Dini meninggalkan makam Vian baru ia akan mendekat ke sana. Ia masih tidak ingin berada di satu tempat yang sama dengan perempuan itu, sejak dulu. Rasanya sangat sesak bila berdekatan dengan Dini. Bukan sesak ingin menangis melainkan sesak karena kesal dan amarah yang tidak dapat tersalurkan. Sementara Dini masih asyik dengan sesi curhatnya pada Vian. Dini memang tidak sesering Andre berkunjung ke sini, tapi sebisa mungkin dia berusaha menyempatkan waktu untuk melakukannya. Terutama kalau dia menghadapi saat-saat penting seperti sekarang ini. Dini yang berprofesi sebagai dokter umum kembali akan melakukan operasi. Meski hanya sebagai asisten dokter bedah, tapi itu tetap saja membuatnya gugup. Operasi pertama yang berjalan lancar membuat dokter Oman mengajaknya lagi dalam operasi kedua. "Doakan aku moga lancar lagi, ya, Vi," pinta Dini menutup sesi curhatnya. Dini memeriksa jam tangan di pergelangan lengan kirinya. Sudah pukul setengah 8 pagi. Operasi akan berlangsung pukul 11 pagi ini. Berarti masih ada waktu sekitar 3,5 jam untuknya bersiap. Dini mengembuskan napas kuat melalui mulut dengan tangan mengusap nisan bertuliskan nama Vian. Dini menengadah, mengusir air yang mencoba menggenangi mata birunya. Mata milik Vian. Sampai detik ini, setiap mengingat apa yang diberikan Vian dan keluarga padanya, air matanya selalu tumpah. Vian bagi Dini adalah seorang malaikat penolong dan pelindung. Kalau tidak ada Vian, mungkin sampai sekarang dia masih berteman dengan gelap, tak bisa menikmati keindahan dan warna-warni dunia. Atau mungkin dia sudah terkubur di dalam tanah. Karena jantung Vian dia dapat bertahan hingga detik ini. Meski kadang dadanya masih terasa sakit, tapi dia dapat menahannya. Dini mengambil tisu dari dalam tas tangannya. Dia memerlukan tisu untuk mengusap bulir-bulir bening yang menuruni pipinya. Dia gagal menghalau genangan air di matanya. "Maaf, Vi, aku nangis lagi," ucap Dini serak. Dia sudah melanggar janji untuk yang kesekian kali. Di dalam mimpi, Vian selaku memintanya untuk tidak menangis dan dia selalu menyanggupinya. Namun, pada kenyataannya justru sebaliknya. Dia selalu tidak dapat menahan air mata setiap kali mengunjungi makam Vian. Atau setiap menerima perlakuan dingin Andre. Sekali lagi Dini mengembuskan napas, kali ini dari hidung dan lebih pelan. Mengingat Andre selalu membuat dadanya sesak. Sikap pria itu padanya tidak berubah sejak tujuh tahun yang lalu. Andre tetap tidak mau menatapnya, meski mereka sedang terlibat pembicaraan. Tempat lain lebih menarik dibandingkan dirinya bagi Andre. Walau seperti itu dia tetap tidak menyerah. Dia mencintai Andre dan akan terus memperjuangkan cintanya sampai Andre mau menerimanya. Memang terdengar seolah dia mengemis, tapi tidak seperti itu. Kalau dulu mungkin iya, sekarang mereka sudah sama-sama dewasa dan dia sudah mahir menutupi semuanya. Dia sudah mahir menutupi perasaannya yang terluka setiap kali Andre tidak menganggapnya ada. Tidak ada air mata, hanya senyum penuh semangat yang selalu ditampilkannya di depan pria itu. Lagipula Andre tidak menyukai perempuan yang cengeng, Andre menyukai perempuan mandiri. Dia tahu semuanya dari Tara. Berbicara mengenai Andre, Dini mengerutkan alisnya. Biasanya Andre sudah berada di sini di jam sekarang ini, tapi sampai sekarang sosoknya tidak kelihatan. Apa mungkin Andre sudah berkunjung lebih dulu? Karena selama yang dia tahu Andre tidak pernah sehari pun melewatkan waktunya tanpa mengunjungi makam Vian. Dini menggeleng pelan. Saat ini dia tidak ada waktu untuk memikirkan Andre dan perasaannya pada pria itu. Dia harus konsentrasi pada operasinya yang akan berlangsung sebentar lagi. Sekali lagi Dini memeriksa jam tangan, lima belas menit lagi terlewati olehnya. Ternyata waktu masih saja berjalan sangat cepat kala dia memikirkan Andre. "Maaf, Vi, aku kembali mikir yang nggak-nggak. Aku harap kamu nggak marah aku mikirin Andre di sini." Dini tersenyum lirih. Sekali lagi mengusap air matanya sebelum berdiri. "Aku pergi dulu, ya, Vi. Nanti aku ke sini lagi." Dini mengusap nisan Vian dan segera berlalu setelahnya. Dia tidak ingin terlambat tiba di rumah sakit. Dini tersenyum, kali ini senyumnya merekah dengan sempurna. Dia harus menunjukkan pada dunia kalau dia baik-baik saja. Semua orang tidak boleh tahu apa yang dirasakan hatinya. Dini segera menaiki taksi on-line yang dipesannya beberapa menit yang lalu. Bukannya tidak memiliki kendaraan dia menggunakan taksi online sebagai sarana berangkat ke tempat kerja. Dia memiliki sebuah mobil hadiah kelulusan, juga sebuah motor keluaran terbaru. Hanya saja dia sudah merasa nyaman menaiki angkutan ini, sudah terbiasa. Setelah mobil yang ditumpangi Dini menghilang, barulah Andre menampakkan diri. Rasanya sudah tidak betah berada di balik semak-semak itu. Banyak nyamuk. Namun, ia bertahan karena tidak ingin bertemu Dini saat mereka berdua saja. Dia tidak ingin mengantarkan perempuan itu ke rumah sakit tempatnya bekerja. Andre merasa beruntung karena Dini tidak mengenali mobilnya. Sepertinya dia terburu-buru, tapi siapa yang peduli. Kehadiran Dini hanya mengganggu saja. Dengan langkah ringan Andre menghampiri makam Vian. Berjongkok dan menyingkirkan bunga yang tadi dibawa Dini. Ia tidak ingin bunganya berdampingan dengan bunga itu, yang hanya akan merusak keindahan makam tunangannya. Andre mengusap ukiran nama Vian pada batu nisan. Senyum manis terbit di bibirnya sebelum ia mulai sapaan. "Good morning, Vi. How was your night?" Selalu saja sapaan itu yang memulai perbincangan mereka setiap paginya. "Did you sleep well last night?" Andre terkekeh setelah menanyakan pertanyaan itu. Ia tidak merasa menjadi orang bodoh karena sudah menanyakan hal itu, tidak juga merasa sakit apalagi gila. Ia rasa wajar bertanya seperti itu. Lagipula selama tujuh tahun terakhir ini, hal itu yang selalu ditanyakannya setiap pagi. Pertanyaan yang dulu tidak pernah ia tanyakan pada Vian semasa hidupnya. Andre mengepal kuat, dadanya terasa sangat sesak mengingat bagaimana buruknya dulu sikapnya pada Vian. Ia tidak bersungguh-sungguh melakukannya. Ia hanya ingin Vian menjadi pribadi yang kuat dan tidak cengeng, tidak juga manja. Sayangnya Vian salah mengartikan, dan begitu Vian berubah kebersamaan mereka tidaklah lama. Vian bahkan meninggalkannya selama-lamanya. "Tadi malam aku tidur larut, my work is too much so I have to work overtime."¹ Andre membetulkan letak bunga lili yang tadi dibawanya. Bunga itu posisinya miring, tersenggol tangannya ketika ia nengibas.kan tangan. "Alone," sambung Andre. Tatapannya nanar pada nama tunangannya yang terukir di batu nisan. Seminggu sekali nama itu dibersihkan, setahun sekali batu nisannya diganti dengan yang baru. Ia tidak rela batu nisan Vian terkelupas atau rusak. "Seandainya ada kamu ... kamu pasti mau nemenin aku." Senyum sempurna Andre pudar, wajah yang tadinya tampak bersemangat berubah mendung. Kata seandainya yang diucapkannya berefek tidak baik pada perasaannya. Andre menghela napas panjang, membiarkan dua bulir bening menuruni pipinya, tanpa ada niat untuk mengusap. "Gooossshhhh!" Andre mendongak, menatap cahaya matahari yang menembus di sela dedaunan pohon yang menaungi makam Vian. Sinar itu sudah mulai terik. Gara-gara Dini yang terlalu lama berada di sini tadi, ia terpaksa harus sebentar saja pagi ini bicara dengan Vian-nya. Belum lagi dadanya yang masih saja tetap sesak, batu besar yang menindihnya tidak mau menjauh apalagi menghilang. Batu itu masih sangat betah bertahan di hatinya. "Looks like I have to go now. Udah siang banget, I don't want to be late for work." Andre berdiri, merapikan celananya yang sedikit kusut. Tangannya terulur mengusap ukiran nama Vian, menarik tangan dan mengecup jari-jarinya, menempelkan jari itu ke ukiran nama. "I love you, Vi," ucap Andre sebelum meninggalkan tempat itu. "Ti amo mucho,² Vian Rush." Andre selalu memanggil Vian dengan nama itu. Seperti nama yang tertulis di batu nisan. Keluarga besar Vian menyetujui pergantian nama belakang Vian dari Santoso menjadi Rush seperti nama belakangnya sejak beberapa tahun yang lalu. Itulah pertama kali batu nisan Vian diganti. Sampai sekarang, nama di batu nisan tidak pernah berubah lagi. Andre melangkah gontai meninggalkan area komplek pemakaman. Sekali lagi menatap makam Vian yang nyaris tak terlihat sebelum memasuki mobilnya dan benar-benar berlalu dari sini. *** Sebagai seorang atasan, mungkin tidak masalah kalau hanya terlambat sebentar saja. Namun, berbeda dengan Andre, terlambat lima menit saja ia akan menerima omelan Tara selama lebih dari setengah jam. Tadi pagi Andre terlambat nyaris lima belas menit, bayangkan berapa lama Tara akan mengomelinya. Seandainya saja tidak ada pekerjaan, kemungkinan besar Tara akan terus mengomelinya sampai jam makan siang. Sekarang Andre hanya berharap kalau omelan Tara tidak bersambung. Andre tidak tahu kenapa semakin dewasa Tara semakin cerewet. Dulu –saat remaja– Tara tidak secerewet ini. Tara juga sekarang sangat suka mengaturnya, membawakan makan siang ke ruangannya kalau ia tidak keluar saat jam makan siang. Padahal rencananya ia akan tidur siang, tapi Tara justru membawakannya seporsi soto Lamongan dan menungguinya sampai soto itu berpindah tempat mengisi perutnya, semuanya. Sungguh, Andre tidak menyukai Tara yang pemaksa. Cukup Farrel saja yang menjadi korban Tara, jangan ia juga. "Merupakan contoh yang sangat tidak baik kepada bawahan, seorang atasan melamun pada saat jam kerja!" Andre berjengit. Sepasang alis tebalnya mengernyit heran, tatapannya bertanya kapan Tara masuk ke dalam ruangannya. Apakah lamunannya begitu panjang sehingga ia tidak menyadari jika Tara sudah berdiri di depan mejanya? "Ini file-file yang bapak minta, saya sudah memeriksanya," ucap Tara formal dan sopan sambil meletakkan setumpuk file di atas meja Andre. "Sudah selesai semua?" tanya Andre dengan sebelah alis terangkat. Tara mengangguk. "Sudah, Pak," jawabnya. Andre juga mengangguk. Memindahkan file ke dalam map berwarna hitam dan menyimpannya di sisi meja sebelah kanan. Ia tidak perlu memeriksa lagi, kinerja Tara tidak perlu diragukan. "Apa jadwal saya hari ini selain meeting dengan utusan dari Angkasa Group?" tanya Andre lagi. Andre dan Tara sepakat kalau mereka akan bersikap dan berbicara formal selama mereka masih berada pada jam kerja. Selebihnya mereka akan berbicara seperti biasanya, tidak menggunakan bahasa formal, tapi menggunakan bahasa pergaulan sehari-hari. "Tidak ada, Pak!" jawab Tara. " Untuk hari ini hanya meeting itu saja. Besok jadwal Anda akan sedikit lebih padat. Ada dua pertemuan penting yang harus Anda hadiri selain acara ulang tahun pernikahan Tuan dan Nyonya Santoso." Andre mengangguk kemudian mengerang kesal dalam hati. Bagaimana mungkin ia bisa lupa dengan salah satu acara penting dalam hidupnya itu. Pesta ulang tahun pernikahan kedua orang tua Vian, yang berarti sebentar lagi ulang tahun Vian. Hari kelahiran Vian berbeda beberapa minggu saja dari ulang tahun pernikahan orang tuanya. Vian lahir setahun setelah pernikahan itu. Senyum tipis terbit di bibir penuh Andre. Vian-nya akan bertambah usia semakin dewasa. Seandainya Vian masih hidup, mereka pasti sudah menikah dan memiliki anak-anak yang cerewet seperti Vian, atau pendiam sepertinya. Andre meringis menahan perih di hatinya. Lagi-lagi kata seandainya menimbulkan sesuatu yang membuatnya terluka. Tara yang melihat perubahan raut wajah Andre mengulas senyum iba. Bagaimanapun kerasnya dia meminta Andre untuk berubah dan melupakan Vian, pria itu tetap bergeming. Andre dengan keras kepala menolak tegas permintaannya itu. Andre tetap pada pendiriannya, hanya Vian yang bisa membuatnya bahagia. Kalau Andre sudah berkata seperti itu dia tidak bisa berbuat apa-apa. Terpaksa dia hanya menjadi penonton saja, meski hatinya juga ikut pedih menyaksikan penderitaan sahabatnya. Yang paling menyakitkan dari semua itu adalah dia yang tidak bisa memenuhi permintaan terakhir sahabatnya. Sampai sekarang Andre tetap menolak Dini, dia bahkan menganggap Dini tidak ada. "Makan siang dulu, yuk, Ndre." Tara mengubah gaya bicaranya. Mereka hanya berdua di ruangan Andre, lagipula sebentar lagi waktunya istirahat makan siang yang artinya tidak dalam jam kerja. Jadi, tidak apa-apa dia berbicara seperti ini. Andre mengangguk tanpa bicara. Suaranya masih terasa tercekat di kerongkongan, seolah ada batu yang mengganjal di kerongkongannya. Rasanya sangat sakit jika dia memaksa berbicara. Andre bangkit dari kursi kebesarannya, melangkah ke sisi Tara. "Kita makan di kafe kemaren, mau?" tawar Tara. Hidung Andre berkerut tanda ia sedang berpikir. Kafe yang dimaksud Tara pastilah kafe langganannya bersama Farrel. Ia tidak keberatan jika makan siang bertiga bersama Farrel, Farrel juga sahabatnya. Namun, ia menolak kalau Dini juga ikut serta. Tara memahami keberatan Andre. Senyum maklum tersungging di bibirnya. "Dini nggak ikut, kok, Ndre. Dia masih di rumah sakit." Tara memberitahu. "Katanya mau istirahat dulu sehabis ikut operasi jam sebelas tadi. Lagian, Dini kena tugas jaga malam ini." Andre menatap Tara tajam meminta kepastian. Tara mengangguk. "Gue nggak bohongin lo! Nggak percaya baca aja ntar chat dia." Tara mengangsurkan ponselnya. Andre menggeliat jijik, menolak tawaran Tara. Namun, ia mengembuskan napas lega. Acara makan siangnya akan berjalan dengan tenang tanpa kehadiran seorang pengganggu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN