Beruntungnya Leta

1906 Kata
Di siang hari yang terik. Leta tertidur setelah meminum obat pereda nyeri kaki dari mama mertuanya. Mungkin di dalam obat tersebut mengandung obat tidur, yang memang ditujukan kepada pasiennya agar banyak beristirahat. Sehingga nantinya dalam proses pemulihannya juga maksimal. Tetapi tak berselang lama, Leta terusik karena ponselnya berbunyi nyaring beberapa kali. Mulanya Leta hendak mengabaikan dering ponselnya itu. Tetapi karena berbunyi beberapa kali, pada akhirnya mau tidak mau—Leta terpaksa membuka kedua matanya. Sejenak Leta menyesuaikan matanya dengan cahaya matahari yang menerobos jendela kamarnya. Setelahnya barulah Leta melihat pada layar ponselnya. Mas Bara is calling.. Ternyata sang suami tercinta! Segala rasa kantuk Leta perlahan enyah begitu saja. Berganti dengan kegembiraan dalam dirinya. Apapun itu, jika berhubungan dengan Bara—Leta pasti akan selalu bahagia. Tak peduli bagaimana kondisi dan keadaannya saat ini. Dengan gerakan cepat, Leta merapihkan rambut panjang terurainya. Setelah merasa siap mengangkat panggilan video ini, Leta mengulas senyum lebarnya. Jemarinya menggeser tombol telepon berwarna hijau. Di sanalah..Leta langsung mendapati pemandangan yang dinantinya. Wajah tampan Bara. Tetapi sayang seribu sayang, raut wajah Bara tidak bersahabat. Meskipun keduanya baru saja saling melempar salam. Pria itu justru langsung mencecar pertanyaan pada Leta. Tentang ‘mengapa Leta lama sekali mengangkat panggilan videonya?’. Jika sudah begini, Leta bisa apa selain meminta maaf pada suaminya. “Maaf ya, Mas. Aku ketiduran. Tadi Mama kasih aku obat pereda nyeri kaki. Syukurlah, sekarang kakiku sudah agak mendingan.” “Ohh..kamu lagi istirahat. Ya sudah lanjutkan—” “Ehhhh enggak! Sudah selesai, kok, istirahatnya. Lagian ‘kan sekarang aku lagi lihat wajah suami aku yang tampan mempesona.” Leta mencoba peruntungan, membujuk sang suami dengan memaparkan fakta yang ada. Toh, memang wajah Bara sangat tampan. Apalagi saat Bara sedang bekerja, duduk di kursi kebesarannya, ahhh..Leta jadi merindukan ruang kerja Bara. Bara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti jika Leta enggan mengakhiri panggilan video ini. “Hmm, ya sudah kalau begitu. Aku lagi makan siang, Sayang..” “Iya, Mas. Makannya pelan-pelan, ya. Dinikmati, yang kenyang..” Leta memandangi layar ponselnya dengan ekspresi bahagia. Wajahnya menunjukkan bahwa dirinya saat ini sedang mendambakan sang suami. Sebenarnya bukan saat ini saja, setiap saat setiap waktu bahkan. Maklum, masih hawa-hawa pengantin baru. Xixixi.. Leta pun menemani Bara sampai pria itu usai menyantap makan siangnya. Bara hendak melanjutkan mengerjakan pekerjaannya kembali. Ia juga beberapa kali mendapati Leta menguap. Sepertinya efek obat itu masih berjalan sampai detik ini. “Kamu lanjutin aja istirahatnya, Sayang.” “Terus kamu gimana?” “Aku lanjut kerja.” “Pulang jam berapa?” tanya Leta yang sebenarnya bermaksud memberikan kode kepada Bara agar tidak pulang larut malam. Karena dirinya sedang sakit, sedang ingin bermanja-manja dengan suaminya sendiri. Lagipula, Leta sudah sangat tidak enak hati karena setengah harian ini merepotkan Ajeng terus. Yaa meskipun Ajeng sendiri tidak keberatan. Tapi tetap saja. Rasanya berbeda dirawat oleh mama mertua dengan dirawat oleh suami. Bara tampak melirik pada jam dinding besar di ruangannya. Sepertinya ia sedang memperhitungkan waktu pengerjaan sisa pekerjaannya ini. Hingga Bara dengan raut wajah seriusnya menjawab, “Aku usahakan sebelum jam lima sore, Sayang.” “Oke..” “Ya sudah. Kamu lanjut istirahat, gih.” “Iya. Semangat kerjanya, Suamiku!” seru Leta dengan menunjukkan jemari tangan kanannya yang membentuk saranghae pada layar ponselnya. Panggilan video siang itu pun berakhir. Seperti biasanya, interaksi diantara mereka masih hangat, manis, dan selalu romantis. Saat Leta hendak memposisikan dirinya untuk tidur kembali. Pintu kamarnya terketuk dari luar, sehingga membuat Leta membatalkan niatnya yang hendak kembali tidur. Ternyata Fasya yang baru pulang sekolah. “Kaki Mbak Leta gimana? Udah enakan?” Leta tersenyum, “lumayan, sudah mendingan. Tadi juga Mbak udah minum obat, Sya.” “Beneran?” “Iya. Kenapa, sih? Tumben kamu khawatir banget.” “Yaa khawatirlah, Mbak! Mbak Leta ‘kan udah kayak Mbakku sendiri,” jawab Fasya dengan ekspresi wajah judesnya. Yaa seperti itulah sosok Fasya. Jika Leta sedang tidak baik-baik saja, maka sisi pedulinya keluar tanpa dikomando. Bagi Leta, Fasya merupakan adik ipar terbaik. Meskipun setiap hari kadang kerap membuatnya kesal. Tapi tetap saja, Fasya sebenarnya sangat menyayanginya! Anak SMA ini memang jahil, dan suka sekali jika melihat kakak iparnya naik darah. Fasya berjalan mendekat. Sepertinya ia sedang membawa sesuatu di kantung kresek putih di tangan kanannya. “Nih, Mbak..” ucapnya sembari memberikan kantung kresek putih tersebut pada Leta. Leta mengernyitkan dahinya. Seolah bertanya tentang apa yang diberikan Fasya padanya ini. “Snack dan s**u kotak. Tadi pulang sekolah Fasya lewat depan minimarket.” Kedua bola mata Leta langsung berbinar. Ia sangat bahagia karena mendapatkan kepedulian dari Fasya. Leta mengucapkan banyak ‘terima kasih’ pada gadis SMA itu karena sudah repot-repot membelikannya snack dan s**u kotak. “…pokoknya nanti kalau kaki Mbak udah sembuh, giliran Mbak yang bakalan traktir kamu! Kamu mau makan dimana? Mau makan apa? Sushi? Burger? Pizza?” “Fasya mau makan masakan Mbak Leta.” Jawaban Fasya sukses membungkam Leta. Hanya dengan sederet kalimat tersebut, Leta dapat dibuatnya tidak bisa berkutik. Ini tentang kelemahan Leta dalam bidang masak-memasak. Tetapi saat mendengarkan keinginan Fasya, mau tidak mau Leta merasa berhutang untuk hal yang satu itu. Dalam dirinya, Leta berjanji akan benar-benar memasakkan sebuah menu makanan untuk sang adik ipar. “Makanya Mbak cepat sembuh!” lanjut Fasya yang menyentak Leta dari lamunannya. “Iya-iyaaa. Nanti kalau kaki Mbak udah sembuh, Mbak bakalan masakin kamu.” “Oke. Ditunggu.. Ya udah kalau gitu, Fasya mau beberes. Gerah banget,” pamit Fasya yang lantas meninggalkan kamar Leta. Menyisakan Leta seorang diri kembali. Leta memandangi kresek putih berlogokan minimarket tersebut. Senyum tipisnya terulas saat mengetahui adik iparnya ternyata begitu peduli padanya. Dengan perasaan haru, Leta mulai mengeluarkan snack dan juga s**u kotak dari dalam sana. Mulai memakan dan meminumnya, sembari menonton drama korea. Sepertinya memang kegiatan istirahatnya tidak perlu dilanjutkan kembali. Rasa kantuk Leta juga sudah lenyap saat menyaksikan ketampanan artis korea dari layar ponselnya. *** Leta merasa tubuhnya begitu ringan. Ia juga merasakan kehangatan yang berbeda daripada biasanya. Rupanya Leta melupakan segalanya saat tanpa sengaja memejamkan mata. Ahh, Leta tertidur. Entah sejak kapan? Mencoba membuka kedua matanya perlahan-lahan, pandangan Leta langsung mengarah pada sosok Bara yang juga tertidur nyaman di sampingnya. Kehangatan itu..ternyata bersumber dari pelukan erat Bara. Daripada harus bangun, Leta memutuskan untuk memejamkan kedua matanya kembali. Toh, Bara juga sedang tidur. Wangi dari tubuh Bara menambah kenyamanan tidur Leta, maka dari itu Leta enggan untuk terbangun atau membangunkan Bara. Tak berselang lama. Beberapa menit kemudian, Leta merasakan elusan yang begitu lembut di salah satu pipinya. Leta memastikan bahwa ini merupakan ulah dari jemari Bara. Apakah suaminya sudah terbangun? Leta membuka matanya, namun menyipit. Seperti seseorang yang sedang mengintip sesuatu. “Bangun, Sayang..” lirih Bara yang napasnya menguarkan aroma mint berasal dari pasta gigi. Leta dapat mengambil kesimpulan di sini, bahwasannya suaminya itu sudah mandi selepas pulang bekerja tadi. Pantas saja begitu wangi! Berpura-pura baru terbangun, Leta melenguh. Kebiasaannya sebangun tidur memang seperti itu. “Kamu udah pulang? Hmm..jam berapa sekarang?” tanya Leta dengan suara serak khas bangun tidurnya. Bara mengeratkan pelukannya pada pinggang sang istri. Nyaman sekali menjadikan istrinya sebagai guling. Tak lupa Bara juga menjawabi pertanyaan yang baru saja Leta ajukan padanya, “Aku sudah pulang dari tadi. Sesuai dengan perkiraanku, sebelum jam lima sore. Sekarang jam setengah delapan—” “APA!?” Kedua bola mata Leta melebar sempurna. Ia kelepasan berteriak. Padahal posisinya benar-benar begitu dekat dengan Bara. Leta paham, Bara terkejut sampai gendang telinganya berdengung mungkin. Pria itu tanpa segan mengusap-usap telinganya sendiri. Memastikan bahwa teriakan Leta barusan tidak berimbas pada kesehatan telinganya. “Kenapa harus teriak-teriak, Leta? Aku dengar sekalipun kamu berbisik.” Kekesalan Bara sudah tidak bisa ia sembunyikan. Karena memang kadang hal-hal kecil seperti ini yang mewarnai pernikahan mereka. Marah, kesal, kecewa, hanya sebatas karena perkara kecil. Syukurlah.. Semoga suatu saat ketika badai melanda rumah tangga mereka, mereka berdua tetap dapat bertahan, menguatkan satu sama lain, dan pastikan tidak ada yang melangkah lebih dulu atau mundur tanpa berkata. Aamiin.. “J—jadi aku tidur selama itu?” “Iya..” “Kamu sudah mandi, ya?” “Sudah.” “Aku belum…” rengek Leta. “Pasti aku bau banget. Kok kamu malah peluk-peluk aku, sih, Mas?” Raut wajah cemberut, sedih, dan hendak menangis itu justru membuat Bara gemas sendiri. Leta memang mood tersendiri bagi Bara. Bara merenggangkan pelukannya, karena ingin berbicara dengan Leta. “Siapa bilang kamu bau? Enggak, kok. Biasa saja.” Bukan karena tidak tahan dengan bau tubuh Leta. Bukan sama sekali. Bahkan tubuh Leta tidak mengeluarkan bau yang tidak sedap. Biasa saja di indra penciuman Bara. Justru..yang Bara hirup sejak beberapa jam yang lalu saat memutuskan mengikuti Leta ke alam mimpinya adalah bau alami yang memang merupakan ciri khas Leta. Bara tidak pernah merasa bosan menghirup, mengendus, bahkan menciumnya. “Bohong.” “Beneran, Sayang. Bau tubuh kamu yang alami seperti sekarang ini justru buat aku nyaman. Daripada saat kamu pakai parfum sebotol yang aromanya manis. Jujur, itu justru bikin aku eneg!” Leta terkekeh mendengar pengakuan dari bibir Bara. Kini, wanita itu paham dengan apa yang disukai suaminya dan apa yang tidak disukai suaminya. Leta bertekad, “Oke-oke.. Aku bakalan ganti aroma yang seger, deh!” “Hm. Syukurlah kalau kamu peka.” “Mau mandi…” pinta Leta. Tiba-tiba kedua mata Bara berbinar, dan berkedip beberapa kali. Seperti baru saja tersuntik oleh energi yang menyenangkan, dan memberikan semangat. Padahal sepulang bekerja tadi Bara begitu lelah, sampai akhirnya ikut tertidur bersama dengan Leta seusai mandi. Kini..saat mendengar kata ‘mandi’ yang keluar dari bibir Leta—entahlah, Bara tiba-tiba ingin mandi lagi. Leta sadar dengan perubahan ekspresi sang suami. “Ngapain mata kamu begitu? Lagi mikirin yang enggak-enggak, ya!? Ngaku!” “Yuk, mandi bareng!” “NGGAK! Aku tau kamu udah mandi, Mas Baraaaaa...” “Mandi lagi nggak masalah. Air di rumah nggak bakalan habis, Letaaaa…” Jantung Leta berpacu kencang saat Bara sudah merubah posisi berbaringnya menjadi duduk kini. Ia sudah bersiap akan kemungkinan merasakan kejahilan atau kemesuman dari suaminya. Pria memang suka begitu, mencari kesempatan di balik kesempitan! Tak terkecuali juga dengan Bara. “Aku gendong ke kamar mandi, ya?” tawar Bara pada Leta dengan ekspresi yang begitu tulus. Apa ini sebuah trik untuk menghipnotis Leta? Karena setelahnya Leta juga menganggukkan kepala. Sampai Bara menggendongnya ke kamar mandi, dan mendudukkannya di kloset. Leta baru sadar. Bahwa dirinya benar-benar mengiyakan ide Bara—mandi bersama. “A—aku..aku b—bisa mandi sendiri, Mas Bara..” cicit Leta saat tangan Bara sudah bergerak hendak melepaskan kaos yang melekat, menutupi tubuh bagian atasnya. Yaa meskipun keduanya sudah berkali-kali berhubungan suami-istri, tapi untuk kegiatan mandi bersama Leta merasa canggung. Melihat istrinya yang kurang nyaman dengan ide yang dilancarkannya ini. Bara pun akhirnya memutuskan, “Aku nggak jadi mandi lagi, Leta. Tapi izinin aku buat bantuin kamu mandi,” kata Bara dengan ekspresi yang begitu serius. Pria itu sangat peduli dengan kondisi istrinya, terutama kaki Leta. Jikalau pun sudah mendingan, tetap saja harus berhati-hati saat bergerak. Agar tidak bengkak kembali, dan nantinya justru lama membaiknya. Sementara itu, Leta terenyuh karena melihat ketulusan Bara kepadanya saat sedang sakit. Leta begitu bahagia dan beruntung mempunyai suami seperti Bara. Tanpa berlama-lama di dalam kamar mandi, hawa malam juga begitu dingin, Leta pada akhirnya memberikan jawaban berupa anggukan. Bara tersenyum lebar. Leta juga menyambut senyuman Bara dengan senyumnya yang tak kalah lebar, dan manis. Leta mengalungkan tangannya di leher Bara. “Bantuin aku, ya, Mas? Makasih..” “Siap, Sayang!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN