Leta dan Bara makan malam hanya berdua saja di ruang makan. Mereka sebisa mungkin tidak menciptakan kegaduhan yang nantinya dapat mengganggu Ajeng dan Fasya yang mungkin saja sudah beristirahat dengan tenang. Jam di ponsel Leta menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Leta yang sebenarnya sehabis mandi hendak tidur, merasa tidak bisa tidur karena perutnya keroncongan minta diisi. Maklum, Leta melewatkan makan malamnya karena tertidur tadi.
Sebenarnya perasaan Leta saat ini lebih didominasi dengan perasaan malu. Kedua pipinya masih memanas saat ia membayangkan betapa lembutnya Bara memperlakukannya. Ah, lebih tepatnya membantunya mandi tadi.
Pria itu juga dapat menahan dirinya sebaik mungkin. Hmm, walaupun Leta sempat khawatir dan sedikit kasihan dengan Bara. Suaminya mati-matian menahan dirinya, terutama nafsunya. Siapa memangnya yang tidak nafsu saat disuguhi pemandangan yang aduhai? Terlebih tidak ada dinding penyekat diantara mereka. Alias mereka berdua sudah halal!
Tapi karena Bara merasa melakukan hal ‘itu’ bukan saat yang tepat, ia bisa menahan dirinya.
Saat Bara menyajikan sepiring nasi hangat dan juga lauk-pauk di hadapan Leta. Leta masih saja melamun. Hingga Bara duduk di sebelahnya pun, wanita itu masih larut dalam lamunannya sendiri.
Sampai terdengar suara deheman pelan dari Bara, barulah Leta tersentak dari lamunannya. “U—udah?”
“Sudah sedari tadi. Kamu asyik melamun, sih.”
Leta tersenyum kikuk. “Y—ya udah, selamat makan Mas Bara..”
“Hm.”
Mereka pun makan dengan saling diam, maksudnya..tidak ada percakapan yang terjadi diantara mereka berdua saat sedang makan. Leta sibuk sendiri mengenyangkan perutnya. Sementara Bara merasa penasaran dengan apa yang membuat Leta asyik melamun sampai mengabaikannya tadi. Bukannya Bara marah, ia hanya merasa penasaran. Serta sedikit kesal saat Leta tidak menjelaskan tentang hal yang dilamunkan itu pada suaminya sendiri.
Seusai makan, piring-piring bekas makan malam mereka langsung Bara cuci bersih. Kemudian, menatanya kembali serapih mungkin di rak piring. Tujuannya agar keesokan paginya tidak ada drama omelan dari sang mama. Bara hanya bermaksud menghindari perkara, dan fokus pada penyembuhan kaki Leta. Kasihan istrinya jika sampai harus berhari-hari berdiam diri di rumah, atau bahkan hanya di ranjang kamar saja. Sedangkan selama ini, Leta lebih suka berkegiatan. Entah bekerja, atau belajar mengerjakan pekerjaan rumah dengan digurui oleh Ajeng—mama mertuanya sendiri.
“Mas Bara, makasih banyak ya..” ucap Leta yang kini sedang berada di gendongan Bara. Mereka berdua kembali menuju kamar seusai menyantap makan malam bersama.
Bara tidak mengeluarkan sepatah katapun, ia hanya mengangguk dan mengulas senyum tipisnya. Leta merasa ada yang salah dengan Bara. Suaminya tidak seramah sebelumnya. Apa Leta berbuat kesalahan? Sepertinya tidak..
Perlahan namun pasti, Bara meletakkan tubuh Leta di atas ranjang. Menyelimuti tubuh istrinya itu karena hawa dingin. Terakhir, memberikan kecupan di kening Leta.
Saat Bara hendak beranjak ke sisi sebelah Leta, dengan sigap Leta mencekal tangan Bara. Sehingga pergerakan pria itu terhenti. Bara menatap Leta dengan tatapan bertanya.
“Mas, kenapa? Aku ada salah?”
“Enggak..”
Leta tersenyum lega. Ekspresi Bara memang datar-datar saja, mungkin ada hal lain yang mengganggunya. Sampai pada akhirnya, Leta mengungkapkan sebuah ide. “Mas Bara, aku belum ngantuk. Lagian juga habis makan, nggak baik langsung tidur. Gimana kalau kita nonton film dulu?” Pandangan mata keduanya lantas tertuju pada TV besar di depan sana.
Di kamar mereka ini memang terdapat sebuah TV berukuran cukup besar. Mereka sering menggunakan TV tersebut untuk menonton film bersama. Biasanya jika mereka menonton film bersama, maka film barat yang menjadi pilihan bersama. Bisa dikatakan jalan tengahnya. Karena seperti yang kita ketahui bersama bahwasannya Leta menyukai drama korea. Sedangkan Bara, entahlah..pria itu jarang sekali terlihat menonton film karena lebih suka memainkan game.
Tapi malam ini, Leta memastikan bahwa dirinya dan Bara akan menghabiskan malam sampai menemui kantuk dengan menonton film.
Memutuskan menonton film genre romance yang dipadukan dengan action, sepertinya keduanya sama-sama menikmati laju film yang terputar. Sama-sama berlindung dalam satu selimut yang sama, keduanya duduk bersandar di kepala ranjang. Leta merasa sangat bahagia. Kebosanannya seharian ini terlunasi oleh kegiatan menonton film bersama sang suami.
Masih sama-sama menatap layar TV. Leta berucap, “Makasih, Mas Bara..”
“’Terima kasih’ untuk apa?” tanya Bara tanpa menoleh pada sang istri.
“Mas Bara sabar banget ngurusin aku, ngadepin aku, dan nurutin keinginanku malam ini. Maaf, yaa, kalau aku selalu ngerepotin Mas Bara..” Leta menunduk. Mengingat segala hal yang telah berhasil mereka lalui sejak menikah membuatnya sedikit bersedih hati. Film di depan sana sampai terabaikan oleh wanita itu. Ia sudah menahan dirinya untuk tidak mengucapkan kalimat tersebut, karena sudah pasti respon Bara tidak akan suka.
Benar saja.
Bara mematikan TV menggunakan remote di tangannya. Sampai kamar dipenuhi dengan keheningan. Leta pun memutuskan untuk mengangkat wajahnya, guna melihat situasi dan kondisi.
Terpampang dengan jelas, raut wajah Bara begitu datar. Membuat Leta harus memberanikan dirinya. Lirih wanita itu memanggil sang suami, “Mas Bara..”
“Kamu sama sekali tidak merepotkan aku, Leta. Jangan berbicara omong kosong lagi. Menikah itu tentang dua insan yang lantas menjadi satu. Tidak ada perasaan terbebani satu sama lain. Karena keputusan bersama, menanggung pun juga harus bersama-sama. Kita sudah memutuskan untuk bergandeng tangan, berjalan seiringan, melalui jalan berliku atau pun lurus secara bersama. Jadi, jangan ada diantara kita yang mencoba untuk melepaskan, berjalan duluan, atau berpindah jalan. Mengerti ‘kan maksudku?”
Kata-kata Bara yang panjang kali lebar, penuh makna, nasihat, dan juga romantis itu..sukses menghipnotis Leta. Leta mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Rupanya ia masih terperangah, sedikit tidak percaya dengan suara yang barusan terdengar.
Ternyata, kata-kata Bara jika membahas mengenai pernikahannya dengan Leta, akan sangat serius dan romantis, ya..
“Mengerti, Leta?” tuntut Bara. Ia tidak mau dijawab hanya dengan anggukan kepala.
Dengan segala kegugupannya Leta menjawab pasti, “N—ngerti, kok, Mas.”
“Maafin aku, ya, Mas. Karena udah ngomong kayak tadi. Aku cuman ngerasa harus berterima kasih sama kamu..” lanjut Leta dengan menatap kedua bola mata Bara. Di sana dengan jelas dapat Leta lihat ada setitik kekhawatiran yang masih bertahta, sampai rasa kecewa pun juga ada.
Bara mengubah posisinya menjadi duduk menghadap Leta. Seketika itu juga, Leta merasa akan diinterogasi oleh Bara. Tatapan tajam Bara, sukses membuat Leta merinding. “K—kenapa? M—mas Bara m—mau apa?”
Memajukan wajahnya sampai jarak yang begitu dekat. Bara dengan suara seraknya berkata, “Ada beberapa hal yang mau aku tanyakan sama kamu, Leta.”
“T—tanya apa? Tanya aja! E—emangnya harus deketan banget kayak gini, ya?”
“Iya. Kenapa? Kamu nggak suka?”
“SUKA.” Leta menekankan pada satu kata tersebut. Tak ingin menciptakan pertengkaran perkara lain, ia lebih baik mengikuti saja apa mau suaminya. Meskipun jantungnya deg-deg-an karena tidak bisa menebak sama sekali pertanyaan semacam apa yang hendak diajukan oleh Bara.
“Aku mau kasih rulesnya terlebih dulu, Leta.”
“Rules?”
Bara sedikit menjauhkan wajahnya, tetapi masih belum mengubah posisinya. Pria itu masih duduk di atas ranjang, menghadap Leta. Alhasil keduanya saling berhadap-hadapan, duduk tegak. “Kalau kamu bohong, aku bebas melakukan apa yang aku mau.”
“Contohnya melakukan apa?”
“Apa saja.”
Daripada lama-lama dan malah mengulur waktu, Leta hanya mengangguk-angguk tanda setuju. Ia sendiri sudah tidak sabar ingin segera mengetahui segala pertanyaan Bara. Siap atau tidak siap, Leta akan mencoba menjawabinya dengan sebaik mungkin. Jikalau bisa, tanpa ada kebohongan sedikit pun agar tidak menciptakan celah untuk Bara melakukan apapun padanya. Hmm, apapun..
“Pertanyaan pertama. Kamu dengar percakapan Mama dan Fasya beberapa hari yang lalu? Sebelum kita berangkat ke kedai Soto Ayam.”
Baru pertanyaan nomor satu saja, Leta sudah gelagapan. Ia ingin sekali jujur, tapi ia tidak ingin jika nantinya kejujurannya ini akan membawa sebuah petaka. Terutama yang berhubungan dengan Bara dan Ajeng—Mama Mertua Leta.
Akhirnya, saat sebuah jawaban cerdas muncul di kepalanya. Senyum wanita itu mengembang dan rasa percaya diri melambung tinggi. “Aku dengar, Mas Bara. Tapi aku nggak begitu fokus, jadi aku nggak tau isi obrolan mereka.”
Saat Leta masih tersenyum lebar. Bara tanpa mengeluarkan sepatah katapun langsung meraup habis bibir Leta. Memberikan lumatan yang sedikit kasar di sana. Membuat Leta terkejut, dan juga mendorong-dorong kecil d**a Bara agar menjauh darinya. Ia benar-benar harus mengambil napas. Ini tanpa persiapan! Seperti sebuah serangan di medan perang. Bara melumat bibir Leta seperti mau memakannya.
Sampai Leta berhasil mendorong d**a Bara, karena mungkin Bara juga berniat melepaskan Leta dari serangannya yang tiba-tiba itu.
Bruuuggghhh!
Leta memukul d**a Bara. “Mas Bara apa-apaan sih!?”
“Kamu ingat ‘kan rulesnya?”
“Tapi aku ‘kan—”
Pltakkk!
Sentilan di dahi Leta sudah mampu menjelaskan perkataan apa yang selanjutnya akan keluar dari bibir Bara. Leta hanya bisa menelan salivanya sendiri. Reaksi Bara tidak sesederhana yang dipikirkannya dan Bara bukanlah sosok yang bisa dibohongi atau dikelabuhi.
“Bohong. Kamu bohong, Leta..” potong Bara.
“Pertanyaan kedua. Kamu menahan rasa sedihmu, sampai gagal fokus, kemudian jatuh dan melukai diri kamu sendiri. Itu semua karena perkataan Mama ‘kan?”
“Mas Bara…”
“Jawab, Leta.”
Tak tahan lagi diinterogasi oleh Bara. Leta pun meluapkan segalanya. Tak peduli jika sampai menciptakan kegaduhan. “A—aku..aku nggak sedih! Karena apa yang Mama bilang itu benar! Aku memang bukan menantu idaman. Kamu harus tau itu, Mas.”
“…….”
“Aku sama sekali nggak menyalahkan Mama, karena apa yang beliau ucapkan benar adanya. AKU-BUKAN-MENANTU-IDAMAN. Aku cuman wanita bodoh yang kebetulan beruntung karena bisa dapatin hati kamu, dan menjadi bagian dari hidup kamu.” Dadaa Leta sudah mulai sesak, matanya memerah menahan buliran yang siap menetes, pun juga..hatinya sudah tidak bisa terkendalikan.
Malam ini, Leta meluapkan segalanya, dengan bodohnya, dan berharap dimengerti meskipun ini mungkin tidak berarti apa-apa. Karena semenjak menikah dengan Bara, semua kesalahan terletak pada dirinya. Leta sangat sadar akan hal yang satu itu.
“Kamu yang sempurna, idaman, dan mampu memikat hati wanita-wanita di luar sana..sayangnya harus menderita karena mempunyai seorang istri yang tidak bisa apa-apa. Aku tau, kami para istri sudah semestinya mengatur segala hal di dalam rumah, mengkondisikan rumah tersebut nyaman untuk dihuni, dan pastinya semua hal itu juga berhubungan dengan pekerjaan rumah.”
Terdengar tawa kecil yang lolos begitu saja dari bibir Leta. “Sebuah pekerjaan yang kupikir mudah, tapi ternyata menjadi titik kelemahan terbesarku. Maaf, Mas. Ini bukan salah didikan orang tuaku. Tapi murni kesalahanku sendiri. Aku yang memang manja, hanya tau soal main, hanya tau soal mengejar karier, sampai-sampai masa mudaku hanya kuhabiskan untuk semua itu tanpa peduli jika nantinya menjadi seorang istri akan serumit ini.”
“Kamu sedang menyesali pernikahan kita, Leta?”
***