Leta libur bekerja karena memang kondisi kakinya tidak memungkinkan dirinya untuk bekerja. Keseleo yang dideritanya karena kecerobohannya sendiri itu, ternyata semakin menyusahkannya. Menghambat aktivitasnya di kantor, dan sudah pasti membuatnya juga kesusahan bergerak ketika di rumah. Pagi ini, Leta absen mengurusi kebutuhan Bara. Leta kasihan pada Bara, karena pria itu terlihat begitu kewalahan menyiapkan perlengkapannya sendiri untuk pergi ke kantor. Mulai dari baju, hingga sepatu, biasanya Leta yang menyiapkan. Tapi pagi ini, semua Bara siapkan sendiri.
Saat Bara masih berkaca, sembari mengancingkan kemeja kerjanya. Leta yang hanya bisa duduk di atas ranjang pun, lantas memanggil sang suami, “Mas Bara, sini..”
Awalnya Bara ragu-ragu. Leta hendak apa? Sedangkan, jam terus berputar dan Bara tentu terburu-buru agar dirinya nantinya tidak telat berangkat ke kantor. Mengingat hari ini segala persiapannya, ia siapkan sendiri. Ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Leta sangat hebat melakukannya selama ini.
Tanpa berlama-lama lagi, Bara mendekat pada Leta. “Ada apa, Sayang? Kamu perlu sesuatu? Biar aku minta bantuan Mama. Soalnya aku buru-buru, Sayang..” ungkap Bara dengan tangan yang masih cekatan mengancingkan seluruh kemejanya.
“Aku nggak butuh apa-apa, Mas. Aku cuman mau benahi kerah kamu.”
“Kerah?” Bara mengernyitkan dahinya. Kemudian salah satu tangannya meraba area belakang, lebih tepatnya kerah belakang kemejanya. Dan benar saja, belum rapih sama sekali. Gara-gara dirinya terlalu terburu-buru.
Leta menegakkan posisi duduknya. “Iya. Bisa menunduk?”
Tidak menanggapi pertanyaan Leta barusan. Bara pun langsung berjongkok, mencari posisi nyamannya, dan supaya dapat dijangkau oleh Leta. Mengingat tinggi badan keduanya berbeda, tentu Bara jauh lebih tinggi daripada istrinya. Sehingga Bara memutuskan untuk berjongkok di lantai, tepat di sebelah ranjang.
Leta tersenyum. Ia pun dengan cekatan membenahi kerah sang suami sampai rapih, kemudian menyambar dasi yang dipegang oleh suaminya, memakaikannya dengan kilat tapi rapih. Yaa..hal-hal seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari Leta. Sudah biasa. Maka dari itu, Leta sudah sangat pro. Selama ini, Leta memang selalu dibutuhkan Bara dalam hal menyiapkan segala keperluan sebelum berangkat ke kantor. Leta merasa sangat senang, karena dengan begitu ia otomatis akan selalu merawat keharmonisan di dalam rumah tangganya dengan Bara.
“Sudah selesai! Nah, kalau gini ‘kan kelihatan rapih..”
Bara memandangi hasil tangan kilat Leta. Dan benar saja, rapih!
Tangan pria itu lantas mengusap lembut rambut kepala Leta. Kemudian usapannya turun sampai dengan pipi kiri Leta. Mengusapnya lembut pula di sana. Leta masih mempertahankan senyumannya, menikmati setiap sentuhan yang Bara berikan. Rasanya ia begitu beruntung mempunyai Bara yang selalu memperlakukannya seperti seorang ratu.
“Terima kasih, ya, Sayang.”
“Sama-sama. Itu ‘kan sudah kewajiban aku, Mas..”
“Iya, aku tau itu. Meskipun kamu lagi sakit, tapi kamu tetap bantuin aku siap-siap. Itu yang buat aku semakin cinta sama kamu.”
Seusai mengucapkan kalimat dengan kadar kemanisan tinggi itu, Bara mendekat pada wajah Leta. Lebih tepatnya mengecup bibir sang istri. Hanya kecupan. Tetapi berkali-kali. Sampai membuat Leta gemas, dan mendorong Bara saat Bara hendak mengecup bibirnya lagi. “Udah sana, berangkat! Nanti telat.”
“Ngecupin bibir kamu bikin aku lupa waktu, Leta. Nanti sepulangku dari kantor, kita lanjutin lagi..”
Leta tidak menjawabi ucapan Bara barusan, ia terlanjur malu dan hanya mengalihkan pandangannya ke arah lain. Jika Leta mengira aksi Bara telah selesai, maka Leta salah besar. Karena setelahnya Bara kembali memberikan kecupan lembut di keningnya. Sepertinya ini untuk yang terakhir kalinya pagi ini. “Aku berangkat, ya, Sayang. Aku sudah berpesan ke Mama. Kalau kamu butuh apa-apa, kamu tinggal bilang ke Mama. Jangan merasa sungkan, ya, Sayang. Mamaku ‘kan sekarang juga mama kamu.” Leta pun hanya mengangguk, dan mengulas senyum tipisnya. Mencoba mengenyahkan kekhawatiran Bara. Agar suaminya itu bisa bekerja dengan tenang hari ini.
Sepeninggalan Bara, barulah Leta merasa benar-benar sepi. Dalam hati, sebenarnya Leta tidak rela dirinya ditinggal kerja oleh sang suami. Mengingat kondisi kakinya benar-benar menyusahkan dirinya sendiri. Untuk pergi ke kamar mandi saja, tadi Bara yang membantunya. Leta mengembuskan napas kasarnya. Ia bermaksud hendak merebahkan dirinya kembali, tetapi ketukan pintu kamarnya mengurungkan niat Leta.
Mempersilahkan orang di luar untuk masuk ke dalam kamarnya. Kedua mata Leta membola saat mengetahui ternyata sang mama yang pagi-pagi ini mendatangi kamarnya. Wanita paruh baya itu membawakannya sarapan dengan sebuah nampan.
“Pagi, Leta. Mama masakin kamu sayur sop, ada bihunnya juga. Lengkap sama sambal kecap. Masih anget, nih. Dimakan yaa..” kata Ajeng dengan senyum lebarnya. Tidak ada sama sekali keterpaksaan dalam dirinya untuk melayani menantunya pagi ini. Karena memang kaki Leta masih sakit akibat insiden semalam.
Diperlakukan sedemikian baik oleh mama mertuanya, tentu Leta mengucapkan kata ‘terima kasih’ berkali-kali. Sampai Ajeng bosan sendiri mendengarnya. “Kamu ini..kayak sama siapa aja! Sudah, segera dimakan! Mama tinggal ke dapur dulu..”
“Sekali lagi..terima kasih, ya, Ma.. Maafin Leta karena ngerepotin Mama.”
“Kamu menantu Mama. Mama sama sekali nggak merasa direpotkan. Kamu sudah Mama anggap seperti putri-putri Mama yang lainnya.” Leta hanya mengulas senyum lebarnya, sampai dengan Ajeng menghilang dari balik pintu.
Setelah kamar benar-benar sunyi kembali, dan hanya ada dirinya seorang. Leta menatapi nampan berisi sepiring nasi, semangkuk sayur, dan segelas air putih itu dengan tatapan penuh haru. Disaat seperti ini, Ajeng masih mempedulikannya adalah suatu hal yang patut untuk Leta syukuri. Mama mertuanya itu memang sangat baik. Hanya saja, selama ini mendidik Leta begitu keras. “Itu wajar, karena Mama pasti mau yang terbaik untuk Mas Bara.”
Ditatapnya dengan tatapan nanar pintu kamarnya yang tertutup itu. “Maafin Leta, ya, Ma. Hingga detik ini, Leta belum bisa menjadi menantu yang Mama inginkan. Tapi Leta akan terus berusaha, kok, Ma..” Seusai berbicara sendiri, dan meluapkan isi hatinya pada sunyi. Barulah Leta mulai menyantap sarapan paginya. Mumpung masih hangat, pasti sangat lezat.
***
Di kantor, Bara sesekali memikirkan sang istri di rumah yang tengah sakit. Tetapi hal tersebut tidak lantas membuat konsentrasinya buyar. Yang ia pikirkan saat ini adalah segera menyelesaikan pekerjaan kantornya, dan pulang lebih awal apabila semuanya sudah selesai. Bukannya Bara tidak percaya pada mamanya sendiri yang ia berikan pesan untuk mengurus Leta yang sedang sakit. Bukan. Hanya saja, Bara yakin..Leta pasti merasa kurang nyaman. Mereka berdua tentu tahu bagaimana Ajeng selama ini bersikap.
Cerewetnya memang tanda sayang. Tetapi tak jarang juga kerap menyakiti hati Leta. Yaa..meskipun Leta selalu berucap bahwa dirinya baik-baik saja. Tapi, isi hati Leta tentang mama mertuanya, siapa yang tahu? Yang Bara tahu, di hati Leta..hanya ada cinta untuk suami dan keluarganya.
Di jam istirahat kantor, Bara meminta sekretarisnya untuk memesankan makan siang yang diantar langsung ke ruangan kerjanya. Karena Bara tidak berminat makan di restoran dekat kantor, maupun di kantin kantor. Ia berencana menghabiskan waktu istirahatnya ini untuk makan dan juga mencoba menyambungkan panggilan video dengan sang istri di rumah.
Mulanya, hanya terdengar nada sambung. Tetapi Bara yakin, ponsel Leta selalu aktif. Apalagi saat Leta hanya berdiam diri di rumah. Ia pasti bosan, dan memutuskan untuk menonton drama korea di ponselnya. Karena Leta tidak begitu suka bermain game. Tidak seperti dirinya.
Sampai makanan yang dipesan Bara, tiba juga. Bara tak lupa mengucapkan ‘terima kasih’ kepada sang sekretarisnya. Pria bertubuh tegap itu hanya tersenyum dan pamit undur diri dari hadapan bosnya.
Sementara itu, Bara masih terus berusaha untuk menghubungi Leta melalui panggilan video. Sembari dirinya juga menyantap makan siangnya. Ponselnya sengaja disandarkan pada kalender meja yang cukup kokoh sampai bisa menyangga ponsel Bara.
Hingga wajah cantik istrinya memenuhi layar ponsel Bara. Panggilan video yang Bara lakukan, terhubung juga pada akhirnya.
“Sayang, kenapa lama angkat video call-ku?”
***