Bukan Menantu Idaman

1318 Kata
Setelah kejadian gagal berciuman karena suara merdu mama mertuanya. Kini Leta sudah rapih berdandan ala kadarnya. Ia mengenakan celana jeans panjang, kaos polos berwarna hitam, dan sweater rajut. Rambutnya sengaja digerai, entahlah...Leta ingin menggerai rambut curlynya. Masih asyik memandangi kaca besar di hadapannya. Leta melihat Bara dari kaca tersebut, sedang mendekat padanya, kemudian langsung memeluknya dari belakang. Ekhm, pengantin baru memang hawanya menempel terus bukan? Leta tidak merasa risih. Ia justru turut menyambut tangan suaminya. Kini tangan Leta berada tepat di atas tangan suaminya yang tengah memeluk perutnya. "Kamu wangi, Sayang." Terlihat Bara begitu menikmati harum rambut Leta. Dipuji sedemikian manis oleh suaminya, istri mana yang tidak merasa baper? Dengan wajah yang sudah memerah. Leta lantas membalas, "Kamu lagi gombal atau beneran muji, sih?" "Emang aku tipe pria yang suka menggombali wanita?" Leta mencoba mengingat-ingat masa sebelum dirinya menjadi istri Bara, dahulu sewaktu keduanya bersahabat baik. Bara ternyata bukan pria penebar pesona, atau penggombang ulung. Bara bahkan terkesan begitu tertutup pada seorang gadis. Di kampus pun dahulu banyak sekali yang mendekati Bara, tetapi Bara biasa saja. Ia hanya tahu ke sana ke mari bersama dengan Leta, sahabatnya. Sampai-sampai semua orang mengira bahwa mereka berdua mempunyai hubungan khusus. "Sayang.." "........." "Leta?" "Y--ya?" Leta tersentak dari pikirannya yang sedang berkelana ke masa lampau. "Lagi mikirin apa? Wajahmu serius banget.." Ternyata sejak tadi memang Bara mengamati wajah Leta dari kaca rias di depan sana. Wajah istrinya itu berubah menjadi begitu serius. Seperti ada yang sedang ia pikirkan. "Lagi inget masa kuliah kita, Mas." Bara mengembuskan napasnya. Sedikit lega ketika bukan hal besar yang Leta sedang pikirkan. "Emang kenapa?" "Kamu tuh..." ucapan Leta terjeda. Wanita berstatus Istri Bara Surya Sandjaya itu membalikkan badannya guna memandang secara jelas wajah suaminya secara langsung, bukan dari pantulan kaca meja rias. Saat Leta sudah menatap wajah suaminya, serta pada jarak yang begitu dekat. Jemari Leta kemudian menggerayangi pipi Bara. "Aku tuh penasaran, Mas. Dulu sewaktu kita masih satu kampus. Kenapa, sih, kamu kelihatannya nggak minat buat pacarin gadis-gadis yang ngejar-ngejar kamu?" "Karena hanya kamu inginku, Leta." "Jawaban kamu sama sekali nggak menjawabi pertanyaanku, Mas Bara." "Yaaa makanya nggak usah tanya soal itu. Lagipula kenapa, sih, tiba-tiba penasaran?" Leta sudah tidak bisa berkata-kata ketika Bara berbalik, bertanya padanya. Karena tak ada alasan, Leta hanya sekadar ingin tahu saja. Hmmm, wanita memang seperti itu. Hobi sekali mencari tahu, mencari 'penyakit'. Tangan Bara masih tetap memeluk Leta. Bedanya, kini Leta sudah berubah posisi menjadi berhadapan dengannya. Sehingga membuat Bara puas memandangi wajah Leta yang begitu cantik. Bara berdecak, sedikit kesal karena tak suka Leta memamerkan kecantikannya. "Kamu kenapa cantik banget, sih? Kan kita cuman pergi ke kedai soto ayam. Makan di sana, terus pulang." "Yaaa nggak apa-apa, dong! Ini biasa aja tau, Mas." Leta pun melepaskan dirinya dari pelukan sang suami. Kembali berkaca dan merapihkan rambut panjangnya. "Sudah cantik. Ayo berangkat..." ajak Bara karena sudah lapar sepertinya. Lagipula, Fasya pasti sudah menunggu mereka. Bersiap-siap saja mendapatkan omelan Fasya karena lama bersiap. Keluar dari dalam kamar secara bersama-sama. Bara pun tak segan untuk menggandeng tangan Leta meski keduanya masih berada di dalam rumah. Menghampiri Ajeng dan Fasya yang sepertinya tengah ada di ruang tamu. Samar-samar sebelum Bara dan Leta sampai di ruang tamu. Mereka berdua mendengar mama dan juga Fasya mengobrol. Fasya merengek, "Lamaaaa banget sih, Ma, Mas Bara sama Mbak Leta. Mereka masih ngapain, sih? Aku samperin, ya, Ma?" "Nggak usah, Fasya. Biarin aja." "Lamaaaa." "Sabar." "Ma?" "Apa?" "Ya udah, deh. Kita lanjutin obrolan kita yang tadi. Oh ya, Fasya mau nanya sama Mama. Tadi 'kan Mama bilang kalau Mbak Leta itu bukan menantu idaman Mama. Alasannya kenapa, Ma?" Deg. Jantung Leta bak diremas bersama dengan hatinya. Sakit sekali. Jadi, Leta bukan menantu idaman Ajeng? Seharusnya Leta sudah paham sejak menikah dengan Bara, sikap Ajeng memang sedikit keras padanya. Ajeng menginginkan sosok menantu yang sempurna. Terutama dalam urusan rumah. Leta masih mencoba biasa saja. Toh, sinyal-sinyal seperti ini sudah lama ia sering dapati. Mengapa sekarang harus terkejut? Berbeda halnya dengan Bara. Saat mendengar hal tersebut, Bara sedikit terpancing emosi. Ia hendak melangkah maju dan menghampiri mamanya, serta Fasya. Tetapi Leta tahan. "Mas, aku nggak apa-apa." Leta memamerkan senyum lebarnya. "Aku nggak nanya," jawab singkat Bara. Dalam hati, Bara sudah menebak bahwa Leta akan berkata seperti itu. Bara jauh lebih tahu semuanya. Dari matanya Leta, Bara melihat dengan jelas..betapa sedihnya Leta. Meskipun tak ada air mata, atau tangis. Bara yakin bahwa istrinya sangat sedih karena mendengar perbincangan antara Adik Bara dan Mama Bara barusan. "Bukannya alasannya sudah jelas, Sya. Kenapa kamu tanya Mama lagi? Leta memang bukan menantu idaman Mama--" Tak ingin lagi mendengar ungkapan-ungkapan menyakitkan lainnya yang keluar dari bibir orang-orang tersayang Bara. Bara pun kembali menggenggam tangan Leta. Mengajaknya berjalan menghampiri dua orang tersebut. Pegangan mereka memang terlepas sejak mendengar obrolan antara mama dan Fasya tadi. Tapi kini, sudah kembali tertaut. Gandengan Bara pada Leta, serta langkah pasti Bara..membuat Leta yakin bahwa dirinya tidak pernah salah memilih sosok suami. Bara selalu ada di sampingnya, memastikan semuanya baik-baik saja. Yaaa meskipun saat ini Leta begitu sedih. "Mama? Fasya?" sapa Bara seperti biasanya. Seolah-olah ia menunjukkan bahwa telinganya tak berfungsi mendengar obrolan mereka berdua. Jujur, Bara dalam hatinya juga menyimpan kekesalan. Tetapi apa yang bisa ia lakukan selain menggenggam erat tangan Leta? Sungguh, Istri Bara yang malang.. "Nahh, ini yang kamu tunggu sudah datang, Sya. Sudah sana, kalian pergi ke kedai soto ayam langganan kita." "Mas Bara sama Mbak Leta lama banget. Masih ngapain, sih?" Bara seketika mengubah ekspresinya menjadi senyum nakal, "biasalah, Sya. Mas dan Mbak Leta 'kan terhitung masih pengantin baru." "Selalu ituuu aja alasannya. Bosan Fasya dengarnya, Mas, Mbak." Leta menunjukkan tawa kecilnya. Tentu saja itu sebuah bentuk pura-pura bahagia darinya. "Maaf, ya, Sya. Ya sudah ayo berangkat! Mama beneran nggak mau ikut?" "Iya, Mama nggak ikut, Leta. Mama mau dibungkusin aja.." "Oke, Ma. Kami berangkat dulu, ya, Ma." Leta melepaskan paksa genggaman tangan Bara. Kemudian mendekat pada Ajeng yang tengah duduk manis dengan sebuah majalah di tangannya. Dengan sopan, Leta mencium tangan mama mertuanya. Seperti seseorang yang berpamitan pada umumnya. Melihat hal itu, Bara merasa miris. Bisa-bisanya mamanya menyatakan bahwa Leta bukan menantu idaman. Lalu, modelan yang seperti apa yang termasuk kategori idaman menurut mamanya? Ahh, sudahlah. Bara sudah sangat lapar. Ingin segera pergi ke kedai soto ayam langganannya dan mengenyangkan urusan perutnya terlebih dulu. Barulah setelahnya ia akan berpikir dan mencari penyelesaian terhadap masalah antara menantu dan mama mertuanya itu. Kasihan Leta jika harus terus-terusan makan hati. Tujuan Bara menikahi Leta hanya untuk membahagiakannya. Bukan menyengsarakannya. *** Meskipun letak rumah dan kedai soto ayam langganan mereka tidak begitu jauh, tetapi menaiki mobil merupakan solusi yang tepat. Mengingat hari sudah petang, dan juga hawa dingin yang menembus kulit. Tak sampai setengah jam, mereka sudah sampai di tempat tujuan. Soto ayam yang masih mengebulkan asapnya dari panci besar itu, menjadi pemandangan menyenangkan mereka bertiga. Saat ketiganya turun, mereka langsung disambut pula dengan aroma soto ayam yang begitu sedap. Fasya yang sudah lapar, hanya bisa menelan ludahnya. Pasti sangat nikmat perpaduan nasi hangat dengan guyuran kuah soto, suwiran ayam, krupuk udah. Hmmm.... "Mbak Leta, Fasya laparrr banget.." rengek Fasya sembari mengusap perut ratanya itu. Leta terkekeh pelan, setidaknya ada hiburan lain saat ini. Tepat saat dirinya menyaksikan raut wajah Fasya yang menggemaskan saat lapar. Gadis SMA itu memang paling tidak bisa menahan lapar, kecuali saat berpuasa. "Yuk, cari tempat duduk! Kita duduk manis aja, urusan pesan-memesan biar Mas Bara." "Setuju! Kaum wanita mah cukup duduk manis. Bye, Mas Bara...." Fasya pun menguasai Leta dengan menggandeng lengan kakak iparnya. Kemudian memisahkan pasangan pengantin itu. Bara yang menyerukan nama Leta lirih di belakang sana, terabaikan begitu saja. Dari kejauhan Leta bisa melihat raut wajah masam suaminya. Pasti itu karena Leta meninggalkannya memesan sendiri. Xixixi.. "Maaf, Sayang." Gerakan bibir Leta yang terbaca oleh Bara. Berbeda halnya dengan Fasya yang justru tertawa bahagia. Gadis itu menunjukkan raut wajah mengejek pada sang kakak. Senang sekali sepertinya jika melihat Bara sengsara. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN