Nasi hangat dengan guyuran kuah soto berkaldu, bercampur suiran ayam. Masih merasa kurang nendang atau kurang puas. Bara juga memesan sepiring ayam kampung yang dibagi menjadi beberapa potong, yang Bara pastikan akan mampu dihabiskan oleh dirinya dan dua perempuan di meja ini. Krupuk udang dan sambal pun tidak ketinggalan.
Lengkap sudah kenikmatan di sela-sela malam yang dingin ini.
"Alhamdulillah, kenyangggg.." Fasya sudah menghabiskan makanannya. Es teh manis di depannya pun menjadi pencuci mulutnya, sekaligus penutup. Sesederhana ini makan malam mereka bertiga.
Bara yang menyaksikan ekspresi puas adiknya pun turut bahagia. Perut si bontot sudah terisi penuh. Semoga dia jinak dan tidak semenyebalkan sebelumnya. Mengalihkan tatapannya dari Fasya yang sudah sibuk sendiri dengan ponselnya, Bara pun melirik ke samping sesekali. Ternyata Leta juga sudah hampir menghabiskan makan malamnya.
Leta terlihat sedang mengambil tisu. Untuk mengelap bibirnya sendiri, dan juga dengan perhatian mengelap sisa kuah soto di sudut bibir sang suami.
Fasya yang diam-diam melirik pasangan pengantin baru itu pun berdehem sedikit keras. "Ada orang, nih!"
"Lap lagi, dong, Sayang. Yang sebelah kiri belum," pinta Bara yang membalas perbuatan jahil Fasya sebelumnya. Bara tentu bisa jauh lebih menyebalkan daripada Fasya. Ia 'kan seorang kakak, tingkahnya sudah pasti jauh lebih banyak daripada adiknya.
Fasya? Bukan apa-apa jika melawan atau mengibarkan bendera perang dengan Bara. Hahaha...
"Mas, Mbak, ada Fasya lohh di sini.."
"Iya, Mbak tau, kok. Lagipula, Mbak sama Masmu 'kan nggak ngapa-ngapain. Mbak cuman bantuin Masmu. Nihh..kalau makan belepotan! Kayak anak kecil."
"Hahahha! Mas Bara dikatain 'anak kecil' sama istri sendiri." Fasya tertawa puas. Bara pun juga. Tidak ada rasa kesal dalam hatinya, justru ia bahagia karena suasana yang tadinya hening kini menjadi hangat.
Hening saat makan memang wajar, dan sudah seharusnya seperti itu. Tetapi setelah makan, menciptakan suasana hangat dan nyaman..itu yang Bara inginkan. Setidaknya, Fasya tidak mencoba mencampuri urusan orang dewasa. Ia sedikit banyaknya juga mampu menghibur kesenduan Leta. Leta tampak bahagia jika Fasya bahagia. Karena tawa Fasya biasanya menular kepada orang-orang di sekitarnya.
Usai bergurau singkat, Leta teringat akan sesuatu. "Mas, pesanan Mama sudah?"
"Oh, iya! Lupa, Sayang." Bara menepuk dahinya. Ia pun mengeluarkan dompetnya, lantas memberikannya pada sang istri.
Leta tersenyum manis, tulus sekali. Ia mengambil dompet yang suaminya berikan padanya. "Ya sudah, Mas lanjutin aja makannya. Biar aku yang ke kasir, bayar ini sekalian bungkus pesanan Mama."
"Iya, Sayang. Makasih, ya.."
"Sama-sama, Mas Bara."
Fasya yang sejak tadi menyaksikan obrolan romantis pasangan pengantin baru itu hanya menggerak-gerakan bibirnya ke kanan-kiri, ke depan-belakang, hmmm..sepertinya jiwa-jiwa jomlonya meronta-ronta.
Ada sisa krupuk udang di depan Bara. Dengan jahilnya, krupuk udang garing itu Bara lempar pada sang adik. "Makanya, cari pacar!"
"Mas Bara!?"
"Kamu pasti iri?"
"Nggak! Dih, ngapain iri?"
"Cari pacar sana! Tenang, Mas bisa kok jaga rahasia kamu. Mama nggak bakalan tau."
"Mmmm..nggak minat." Fasya mencoba menolak tegas saran dari sang kakak. Walau sebenarnya ia juga sedang di dekati oleh kakak kelas akhir-akhir ini. Memang masa-masa terserunya adalah saat ini, saat dirinya berada di kelas 2 SMA.
Leta kembali lagi pada kakak-beradik yang sepertinya baru saja memperbincangkan sesuatu. Karena penasaran, Leta bertanya, "Habis ngobrolin apa?"
"Wajahmu kenapa, Sya? Merah gitu.."
"Huh? Eeummm..i--ini, karena dingin! Yaa, karena dingin Mbak Leta. Sudah selesai 'kan makannya? Yuk, pulang! Mama pasti nunggu Soto Ayam pesanannya."
"Halahh, mengalihkan pembicaraan." Cibiran Bara membuat Leta mengerutkan keningnya. Tanpa bersuara, Leta menunjukkan ekspresi bertanyanya.
Bara kemudian menjelaskan singkat, "Fasya sepertinya sedang dekat dengan cowok, Sayang. Dari tadi Mas perhatikan dia senyum-senyum lihat HP-nya. Kalau Mas, sih, kasih izin dia buat pacaran. Mas jamin, aman."
"Emangnya Mama ngebolehin?" Leta tampak serius jika menyangkut mama mertuanya. Mau bagaimana pun, Leta tahu sikap tegas Ajeng selama ini. Karena sebelum menjadi Istri Bara, Leta sudah menjadi Sahabat Bara.
Fasya bangkit dari duduknya. "Nggak tau, Mbak. Ahh, udahlah! Jangan bahas masalah ini. Aku duluan ke mobil, ya, Mbak, Mas.." Fasya pun melenggang begitu saja. Meninggalkan kakak dan kakak iparnya di belakang.
Bara juga sudah selesai makan sebenarnya. Ia hanya membiarkan Fasya berjalan lebih dulu di depan sana. Dengan tujuan, agar dirinya bisa bergandengan mesra dengan sang istri. Sebelum itu, Bara mengambil alih kresek hitam berisikan pesanan sang mama. Lalu, menggandeng tangan Leta.
"Mas, kayaknya apa yang kamu omongin bener deh.."
"Soal apa?"
"Fasya."
"Biasalah. Kisah-kasih di sekolah. Anak SMA 'kan emang banyak kisah asmaranya. Asalkan nggak merusak masa depan Fasya, Mas selalu izinkan. Biar dia juga semangat belajarnya. Tapi, Mas harus tau dulu siapa cowok itu. Mas juga bakalan jadi pengawas kalau Fasya beneran pacaran."
Leta menelan salivanya sendiri. Bergidik ngeri mendengar Bara akan menjadi pengawas. "Harus, ya, jadi pengawas?"
"Harus. Mas nggak mau kecolongan."
Sebenarnya, Leta tahu maksud Bara baik. Memang pada umumnya seorang kakak yang peduli dengan adiknya, akan bersikap tegas seperti itu bukan? Terlebih..dari keempat bersaudara, hanya Bara yang merupakan anak laki-laki. Sudah sepatutnya Bara menjadi satpam. Mungkin dahulu dua Kakak Bara juga sudah lebih dulu merasakan apa yang sebentar lagi akan Fasya rasakan. Maka dari itu, Leta cukup menjadi penonton saja.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Leta berkelana kemana-mana. Di bangku belakang, Leta sudah tidak bersuara. Ia asyik sendiri dengan ponselnya, entahlah..biar saja. Anak remaja.
Bara fokus menyetir. Sesekali juga melirik Leta yang duduk manis tanpa mengeluarkan sepatah katapun itu. Jendela di sebelah Leta memang sedikit terbuka, membuat hawa dingin masuk dan membuat anak rambut Leta beterbangan. Bara membiarkan istrinya menikmati keheningan ini. Mungkin Leta sedang memikirkan sesuatu yang enggan dibaginya pada Bara. Bara bisa memahami itu. Pasti lagi-lagi karena secuplik perbincangan mamanya dengan Fasya tadi sebelum pergi ke kedai soto ayam.
Terdengar helaan napas Bara, Leta lantas menoleh. "Kamu kenapa, Mas? Capek, ya?"
Bara gelagapan. Kini ia tanpa sengaja sudah berhasil membuat istrinya beralih perhatian. "Hmmm, i--iya Sayang. Biasalah.."
Tak lama setelahnya, mobil pun sampai di kediaman mereka. Fasya langsung turun dari dalam mobil Bara setelah terparkir di garasi rumah. Meninggalkan sepasang suami-istri di sana. Pesanan mama sudah dibawa Fasya, si bontot itu tidak mau membuat mamanya menunggu lama. Pasti mama juga lapar dan ingin segera menyantap makanan ini.
Setelah memastikan mesin mobil mati, dan mobil terparkir di posisi amannya. Bara pun turun, diikuti dengan Leta. Tetapi nahas, ketika Leta turun dari mobil..kakinya keseleo karena salah mengambil pijakan. Hingga membuat wanita itu jatuh tersungkur, sampai lututnya tergores dan berdarah.
Karena menimbulkan suara yang cukup kencang. Bara yang khawatir pun langsung berlari mengitari mobil. Mendapati pemandangan Leta yang tersungkur, Bara dengan cepat segera menghampiri sang istri.
"Sayang, hati-hati. Kenapa bisa sampai jatuh, sih!?"
"Awwshhh..i--iya maaf. Ini tadi aku salah ambil pijakan."
"Hati-hati, Leta. Kamu bikin Mas khawatir. Sini Mas bantu berdiri." Bara pun perlahan membantu Leta berdiri. Tapi sialnya Leta tak mampu. Ia mengeluhkan sakit pada kakinya. "Biar Mas gendong. Kamu keseleo, Leta," putus Bara.
Bara pun langsung menggendong Leta ala bridal style. Membawanya masuk ke dalam rumah. Leta mengalungkan tangannya pada leher Bara. Menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Bara. Ia menangis di sana.
Ini bukan tentang sakit pada kaki atau lututnya. Bukan. Tapi pada saat pikirannya kembali teringat perkataan mama mertuanya tadi. Tentang dirinya yang memang bukan menantu idaman.
Perkataan Ajeng ternyata masih terus berputar-putar di kepala Leta. Sampai menyebabkan Leta melamun, sehingga salah pijakan saat turun dari mobil.
Saat Bara menggendong Leta, melewati mama dan adiknya. Mama Bara terlihat begitu terkejut dan khawatir. "Leta kenapa, Bara!?"
"Jatuh pas turun dari mobil, Ma."
"Kok bisa!?"
"Namanya juga jatuh, Ma.."
"Sya, ambilin kotak P3K!" titah Ajeng pada Fasya. Bahkan Ajeng belum sempat menyentuh makanan yang dibawakan dari kedai soto ayam itu. Membiarkannya begitu saja karena khawatir dengan menantunya.
Bara pun menurunkan Leta di ranjang mereka. Dengan perlahan, Bara melepaskan sepatu sandal Leta. Terdengar ringisan kecil saat Bara melepaskan sepatu sandal di kaki kanan Leta. Bara yakin, pasti keseleo itu ada di bagian sana.
Mama dan Fasya turut masuk ke dalam kamar. Fasya meletakkan kotak P3K di sana. Gadis itu menatap wajah kakak iparnya dengan tatapan kasihan. Tetapi, Fasya tak habis pikir. Tumben sekali Leta sampai menangis. Biasanya juga saat terjatuh, saat apapun itu..bahkan saat diomeli Ajeng, Leta masih bisa haha-hihi. Aneh.
"Kamu kenapa lihatin Mbakmu sampai segitunya? Bantuin Masmu buat bersihin luka Mbakmu, Fasya.." tegur Ajeng saat mendapati Fasya berdiam diri. Dengan segera, Fasya melaksanakan apa yang Ajeng perintahkan kepadanya.
"Lain kali hati-hati, Leta. Kamu bikin semua orang khawatir. Kalau mau turun dari mobil, lihat ke bawah, pegangan dulu sama--"
"Ma..udah, ya? Leta masih kesakitan."
Ajeng pun diam. Ia beranjak meninggalkan kamar Bara dan Leta. Membuat semua orang di sana berpikir dirinya marah atau tersinggung karena Bara memotong ucapannya.
Leta yang masih menangis lirih pun, sebisa mungkin menghentikan tangisnya. Ia mengatur pernapasannya. Mencoba menahan rasa sakit di kaki serta hatinya.
"Mas, kamu nggak seharusnya memotong ucapan Mama. Mama pasti marah. Kamu minta maaf, gih, sama Mama. Aku nggak mau kamu marahan sama Mama," kata Leta dengan begitu jelas. Meminta Bara untuk menyusul mamanya.
Sementara Fasya yang merasakan hawa-hawa ketegangan pun, mencoba mencipta suasana tenang. Kekhawatiran yang masih jelas terpancar dari mata Bara, membuar Fasya harus bisa menengahi situasi ini. "Iya, Mas. Fasya setuju sama ucapan Mbak Leta. Mas samperin Mama dulu, gih. Biar Fasya yang nemenin dan urus Mbak Leta. Mas Bara tenang aja! Adik Mas Bara yang paling cantik ini bisa diandalkan, kok." Tak lupa Fasya menaburkan sedikit candaan agar tidak terlampaui tegang.
"Ya sudah. Kamu tunggu di sini, ya, Sayang. Semua pasti akan baik-baik aja."
"Iya, Mas.." Leta mengukir senyum manisnya. Akhirnya, panggilan 'Sayang' kembali terdengar oleh kedua telinga Leta setelah tadi sempat lenyap. Bara memang seperti itu, ketika setengah marah atau sedang marah, maka pria itu akan memanggil namanya. Tanpa embel-embel 'Sayang'.
Tergantung tingkat kemarahan Bara, sih..
"Sya, jagain Mbak Ipar kamu. Awas kalau kamu sibuk sendiri main HP. Mas tarik izin Mas tentang--"
"Sssstttt, udah! Sana susulin Mama. Cepetan, Mas Bara........" Fasya mendorong-dorong kakaknya agar segera menyusul mama. Sebelum semuanya menjadi semakin runyam, dan sulit dikendalikan.
***