Sore ini, Bara pulang lebih awal daripada hari biasanya. Senyum sumringah Ajeng langsung menyapanya sore ini. Sosok mama yang merupakan orang tua tunggal bagi Bara, dan sudah semestinya wajib Bara bahagiakan tampak begitu cantik. Wanita paruh baya itu tengah menyiram tanaman di depan rumah menggunakan selang, sedangkan Fasya membantu mencabuti rumput-rumput yang mengganggu tanaman.
Seusai mengucap salam, Bara masih enggan masuk ke dalam rumah. Ia sangat senang menyaksikan pemandangan ibu dan adik perempuannya yang tengah melakukan kegiatan sore mereka itu. "Mas, Mbak Leta kalau tidur udah kayak kebo! Suuusaaahh banget dibanguninnya. Padahal mau Fasya ajak kerja bakti cabutin rumput." Suara cempreng Fasya membuat Bara tersentak.
Belum selesai sampai di situ saja. Fasya kembali melanjutkan ocehannya, "Fasya capek! Mbak Leta susah diajak kerja sama kalau urusan rumah."
"Mungkin Mbak Leta kecapekan, Fasya. Makanya susah bangunnya. Mbak Leta 'kan kerja."
"Yaa-yaa-yaaaa.." jawab Fasya dengan mata memutar. Sepertinya gadis itu sudah eneg. Kakak laki-lakinya secinta itu pada kakak iparnya sampai-sampai selalu bersikap slow menghadapi ocehan, kritikan, omelan, sampai keluhan orang-orang rumah.
Tetapi, di sini Fasya benar-benar tidak bermaksud membenci kakak iparnya. Tidak sama sekali. Fasya sangat menyayangi Leta. Tetapi terkadang juga Fasya merasa sebal seperti sekarang ini.
"Sabar, Fasya. Yaa nanti biar Mas yang bantuin kamu beresin rumput-rumput liar ini. Kamu lupa kalau Mas juga jago pegang pacul?"
"Cuman pegang aja 'kan? Cih.." cibir Fasya yang justru membuat Bara tertawa. Sepertinya ada sesuatu di dalam diri Fasya yang membuatnya terus meledakkan emosinya seperti sekarang ini.
Bara yang penasaran pun bertanya, "Kamu lagi PMS, ya, Sya? Bawaannya nge-GASS terus."
"Iya! Sakit, nihh, perutku."
"Ya udah. Nanti malam kita beli soto ayam langganan--"
"DEAL! Aku nggak ngambek lagi karena Mbak Leta," potong Fasya dengan menunjukkan senyum meringis.
Ajeng yang sejak tadi fokus menyiram tanaman dengan selang, diam-diam turut menyimak perbincangan dua anaknya. Tetapi enggan menimbrung.
Bagi Bara, keluhan Fasya memang sudah biasa Bara dengar. Tidak hanya satu dua kali. Maka dari itu, bagi Bara hal ini sudah biasa. Tinggal menunggu keluhan yang keluar dari bibir mamanya saja.
Tetapi, saat Ajeng justru cuek. Bara yang merasa aneh. Apakah saat ini Ajeng tengah marah? Tetapi beberapa saat yang lalu wanita paruh baya itu masih tersenyum lebar pada Bara.
Bara mendekat pada mamanya. "Ma.." panggil Bara yang lantas mengusap bahu kanan Ajeng.
"Mama kenapa? Kok diam aja?"
"Emangnya kamu mau dengar Mama ngeluh soal istrimu?"
"Y--yaa nggak gitu, Ma. Bara justru khawatir kalau Mama diam aja," jujur Bara yang lantas mendapati senyum Ajeng terukir semakin lebar.
Ajeng mematikan kran yang terhubung pada selangnya. Ia berdiri menghadap Bara sembari melipat kedua tangannya di depan d**a. "Kalau Mama nggak ngomel, itu tandanya Leta nggak buat salah."
Diam-diam Bara melirik Fasya. Adiknya itu menunjukkan ekspresi yang tidak santai, tetapi tetap berusaha fokus mencabuti rumput di depannya. Seperti tidak mau ikut menyahuti perbincangan kakak dan mamanya.
"Tadi kata Fasya. Leta susah dibangunin sampai kalian cuman kerja bakti berdua."
"Iya, Leta susah dibangunin. Tapi Mama tahu, kok. Leta lagi capek, Bara. Tadi siang dia sempat ngeluh sama Mama. Mama juga tadi buatin dia air lemon, biar badannya fresh," tutur Ajeng dengan nada bicara normal. Tidak ada kekesalan sedikitpun yang dapat Bara tangkap. Bara justru merasa mamanya begitu perhatian dan sangat mengerti akan kondisi Leta.
Adakalanya memang mamanya itu menunjukkan kasih sayang lembutnya pada Leta. Tetapi adapula saat dimana mamanya itu menunjukkan sisi kerasnya saat berusaha mendidik Leta untuk menjadi istri idaman yang sesungguhnya.
Yaa, begitulah orang tua. Selalu mempunyai kebaikan yang mesti ditanamkan pada pada anaknya.
Bara dengan senyum manisnya menggangguk-angguk mengerti dengan penuturan Ajeng barusan. "Terima kasih, ya, Ma. Bara tahu, kok, kalau Mama sebenarnya sayang banget sama istri Bara. Maaf kalau Leta belum bisa jadi yang terbaik menurut versi Mama. Tapi menurut Bara, Leta sudah sangat baik menjalani perannya sebagai istri."
"Bucin.."
"Aisssshh, diam kamu, Sya. Sekolah yang benar. Awas pacaran!"
"Yaaa-yaaa-yaaa."
Bara berharap mendengar tanggapan yang keluar langsung dari bibir mamanya setelah ia mengungkapkan isi hatinya barusan. Tetapi sayangnya, tidak secepat itu Bara bisa mendengar tanggapan Ajeng.
Ajeng justru memanggil putrinya, "Sya?"
"Ya, Ma?" Fasya sudah deg-deg-an. Sepertinya Ajeng akan marah karena barusan Fasya tidak bisa mengerem mulutnya untuk menimbrung obrolan kedua orang yang lebih tua darinya itu.
Ajeng menunjukkan senyum jahilnya, "Masmu itu tingkatannya lebih dari bucin!"
"Ma!?" kesal Bara.
Giliran Fasya yang puas tertawa di atas penderitaan kakaknya. "Hahahahahahah!! Mas Bara itu...GOD LEVEL BUCIN!" Sebelum dipiting oleh kakaknya, Fasya sudah lebih dulu ngacir.
"Dasar bocah SMA! Awas aja kalau minta bantuan Mas buat ngerjain PR Bahasa Inggris!" ancam Bara yang menurut Fasya bukan apa-apa.
Seusai mencuci tangannya hingga bersih, masih dijarak yang berjauhan dengan Bara. Fasya menjulurkan lidahnya. Ia berteriak dengan penuh percaya diri, "Kan masih ada Mbak Leta! Mbak Leta mah soal Bahasa Inggris, kecil........"
Fasya pun berlari kecil dan menghilang di balik pintu utama. Meninggalkan Bara yang sepertinya kepalanya sudah mau meledak. Adiknya memang menyebalkan. Selalu saja menguji kesabarannya.
Ajeng yang masih setia berdiri di tempatnya, sudah hendak beranjak. Tetapi Bara tahan. "Mama nggak mau bilang apa, kek, gitu?"
"Apa? Kamu mau Mama bilang apa? Mau Mama puji-puji kalau kamu suami terbaik?"
"Y--yaa bukan begitu, Ma.." Bara sempat menengadahkan kepalanya, meraup udara sebanyak-banyaknya. Terutama guna meredakan emosinya karena digoda oleh dua orang wanita kesayangannya.
"Bara?"
"Ya, Ma?" Bara kembali menatap Ajeng. Ia tak tahu, lerka
"Leta itu seberuntung-beruntungnya wanita di dunia ini. Dia pasti bahagia banget punya kamu. Kamu itu sosok pria yang pengertian, sabar, dan selalu tulus menyayangi dia. Kamu sosok suami idaman yang selalu dipinta ribuan tangan yang menengadah pada Tuhan, Bara."
"Bara juga bahagia dan beruntung karena mempunyai Leta, Ma. Kami sama-sama saling merasa bahagia dan beruntung."
"Oh ya, satu lagi. Kamu jangan ke-GR-an. Mama mengatakan seperti itu tadi, karena memang sesuai dengan kenyataan dan pandangan Mama selama kamu menjalani pernikahan dengan Leta. Bukan karena mentang-mentang kamu anak Mama, terus kamu Mama puji-puji sampai langit. Nggak, Bara. Yang barusan tadi itu Mama ungkapkan dari sudut pandang Mama sebagai seorang wanita yang pernah bersuami. Sikap kamu, dan segala hal yang ada didiri kamu, terkadang mengingatkan Mama pada almarhum Papa kamu."
Bara tak mengatakan apapun kali ini, ia hanya menyunggingkan senyum gelinya. Mana mungkin Bara langsung besar kepala. Selama ini, ia sudah cukup hafal dengan bagaimana sikap Ajeng kepada putra-putrinya. Wanita itu selalu mempunyai jutaan rangkaian kata yang tak pernah habis terucap. Serta, tak pernah bosan terdengar.
"Makasih, ya, Ma. Mama harus sabar dan penuh pengertian kalau ngadepin istriku."
"Kamu juga. Nggak usah nasihatin Mama. Simpan nasihat itu untuk diri kamu sendiri.."
"..yang sabar ngadepin Leta. Kalau kamu mau sehidup-semati sama dia," lanjut Ajeng yang kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Dengan diikuti oleh Bara tentunya.
Bara merangkul mamanya dari samping. Menunjukkan senyumnya yang masih sehangat mentari, padahal ini sudah menjelang petang hari. "Bara akan selalu sabar ngadepin Leta. Karena Bara sayang Leta, Ma."
"Bosan Mama dengarnya. Hihhh."
Bara tertawa keras, karena inilah saat-saat yang dinantinya. Saat mamanya gemas!
"Pengantin baru yaa masih anget-angetnya, Bara! Coba nanti kalau udah lima tahunan."
"Ya tetap harus anget, dong, Ma!"
***
Leta terusik saat ada jemari yang menggerayangi hidung dan bibirnya. Mungkinkah ini ulah hewan kecil seperti nyamuk atau lalat? Sepertinya tidak mungkin.
Mencoba menajamkan indra penciumannya, Leta akhirnya bisa mendeteksinya dengan tepat. Bau itu..bau parfum khas suaminya. Perlahan namun pasti, meskipun sangat enggan. Leta membuka matanya. Ia sungguh lelah dan mengantuk. Tetapi juga merindukan wajah tampan suaminya.
Ahh, Bara memang tidak pernah jelek sejak dahulu.
Apalagi kini saat Bara sudah berstatus sebagai suaminya. Leta's mine.
"Mas Bara.." panggil Leta dengan nada merengek. Ia bahkan langsung menyingkirkan guling yang dipeluknya sejak tidur tadi. Menggantinya dengan tubuh sang suami.
Leta menghirup wangi parfum dan wangi alami badan Bara.
Sontak Bara langsung merenggangkan pelukan Leta. "Aku belum mandi, Sayang. Masih pakai pakaian kantor. Bau. Banyak kumannya."
"Ihh, biarin aja. Tetap wangi. Wangiii banget. Emmhh.." Leta kembali mengeratkan pelukan yang sempat direnggangkan oleh Bara. Kini wajahnya sudah bersembunyi di d**a Bara. Leta merasa sangat nyaman. Rasanya enggan untuk bangun dan meninggalkan kasur.
Teringat akan sesuatu. Leta lantas bertanya, "Ini jam berapa, Mas?"
"Jam lima lebih sepuluh menit."
"APA!!?"
Bara ikut tercengang karena mendengar teriakan istrinya barusan.
"Kok kamu baru bangunin aku, sih!? Pasti Mama bakalan ngomel-ngomel! Biasanya 'kan kalau sore--"
"Sayang, Mama nggak bakalan ngomelin kamu. Percaya sama aku," tegas Bara memotong ucapan Leta yang super panik. Wanitanya itu kini sudah mengubah posisinya menjadi duduk manis di atas ranjang.
"Aku juga pengennya gitu--percaya sama kamu. Tapi, itu mustahil!" Leta terburu-buru. Ia menggelung rambutnya secara asal. Hendak beranjak meninggalkan kasur, tapi Bara lebih cepar menahan pergerakan Leta. Pria itu menarik pergelangan tangan istrinya, sampai tubuh istrinya jatuh kembali ke ranjang.
"Hei, kenapa panik banget sih?"
"Gimana nggak panik!? Ini tuh udah sore banget, Mas. Dan aku belum mandi, Mama pasti lagi sibuk nyiapin makan malam. Ya 'kan?"
Bara menggeleng. "Kita makan malam di luar nanti. Udah kamu tenang aja.." kata Bara mencoba menenangkan Leta.
"Ha? Gimana?"
"Iya. Aku, kamu dan Fasya. Makan soto ayam langganan kita."
"Mama?"
"Mama nggak mau ikut. Minta dibungkusin soto ayam dan kepala ayam kampung katanya."
Leta paham. Kelegaan dalam dirinya mulai terasa kini. Syukurlahh..sore ini ia masih aman.
Mata sepasang pengantin baru itu saling menatap satu sama lain. Entah, ada bisikan darimana? Wajah mereka berdua semakin dekat. Pandangan mereka berdua sama-sama turun pada bibir pasangan mereka.
Tetapi..
Tokkk...tokkk..tokk...
Suara ketukan pintu membuat bibir mereka belum sempat menempel. Terdengar decakan dari bibir mereka masing-masing.
"LETAA!! Kamu belum bangun!?"
Merasa kesal, tapi tertahan saat mengetahui siapa si pengetuk pintu. Yang tanpa sengaja berhasil membatalkan Bara dan Leta yang hendak berperang bibir.
Ambyarrrrrr semuanya!
***