Good In Goodbye (2)

1009 Kata
"Baiklah. Aku sudah selesai, ayo kita pergi," ucap Dany sambil mengangkat sebuah koper berwarna biru di tangan kanannya. Koper tersebut berukuran dua puluh inchi. Namun, isi di dalamnya tak sepenuh ukuran koper tersebut. "Kau sudah mengambil semua barangmu?" tanya Laura kemudian. "Hmm, sudah semua." "Sayang, sepertinya rumah ini berharga bagimu. Setelah menikah ... apa kita akan tinggal di rumah ini?" "Tidak. Mungkin ... ini terakhir kalinya aku mengunjungi rumah ini. Kita tidak akan tinggal disini." "Mengapa begitu?" "Kau lihat sendiri. Rumah ini di pinggir kota, dan harus menggunakan kereta untuk menuju kesini," "Tapi bukannya bisa mengendarai mobil?" Dany menggeleng, "Aku tak ingin membuatmu repot. Kau terbiasa tinggal di kota besar. Pasti tidak akan mudah bagimu untuk tinggal disini," "Kalau begitu, rumah ini dijual saja," mendengar perkataan Laura Dany terdiam. Tak pernah terpikir olehnya untuk menjual rumah dimana kenangannya bersama Hana tercipta. "Laura, ini rumah masa kecilku, aku tidak bisa menjualnya." "Tapi ..." "Rumah ini akan tetap seperti ini. Tidak untuk dijual," "Kenapa? kau berkata tak akan menempati rumah ini. Tapi kenapa tidak dijual. Lebih baik jual saja, hasilnya lumayan." "Rumah ini!" Dany mengepalkan tangannya erat. Dia hampir saja meledak karena desakan Laura untuk menjual rumah yang begitu berarti baginya, "Sekali lagi aku katakan. Rumah ini tidak dijual. Aku harus ke kamar sebentar. Kau tunggu disini, sebentar lagi kita pulang." "Mau ke kamar? aku ikut," "Maaf Laura, bisa kau tunggu disini sebentar? aku tak akan lama," Dany meredam amarahnya. Dia tersenyum, menaruk kembali koper yang telah dia angkat, dan berlalu masuk ke kamarnya. Tepatnya, ke kamar yang biasa menjadi tempat Hana tidur. Dany membuka pintu kamar perlahan. Dia kemudian menyapu pandangannya ke setiap sudut kamar itu. Sejak Hana pergi, kamar itu semakin kosong dan sepi. Ranjang yang seperti tidak bertuan lagi, lemari yang kosong, bekas tempelan di dinding, dan meja rias yang dulunya memuat berbagai macam riasan, kini hanya diisi oleh Lulu, boneka tomat milik Hana. Dany merasa sesak. Dia mendekati boneka tersebut perlahan. Menatap sendu, dengan mata yang penuh kerinduan. "Hai, Lulu. Kau merindukan ibumu? hmmm, sama. Aku juga merindukannya. Kau tak keberatan ditinggal disini, kan? maaf aku tak bisa membawamu. Sebenarnya aku merasa aneh, kenapa harus kau yang ditinggalkan ibumu disini?" Dany menepuk kepala boneka yang berwarna merah itu dengan lembut, "Mungkin karena kau mirip ibumu. Pipi yang gembul. Jari yang imut, mata yang bersinar ...." Dany terdiam sejenak. Tenggorokannya serasa tercekat. Matanya mulai berkaca-kaca, dan dengan waktu sekejab, sebulir air mata jatuh dari sudut matanya. "Kau tahu, ibumu ... hiks, d-dia sudah punya pendamping. Lalu ada seorang anak yang lucu bersamanya. Menurutmu, ibumu masih mengingatmu atau tidak? apa kita berdua terlupakan begitu saja?" Dany memeluk Lulu dengan erat. Tangisnya tertahan, dia hanya bisa terisak pelan, karena tidak ingin Laura mendengar tangisnya. Dany kemudian berjongkok, lalu meraih koper yang berada di bawah tempat tidur. Dia membuka koper tersebut, menatap satu persatu barang milik Hana di dalamnya. "Maaf, kalian semua harus tinggal disini. Aku tak bisa datang lagi untuk melihat kalian, selamat tinggal." Dany menutup koper tersebut dan kembali memasukkan koper itu ke bawah tempat tidur. Dany berdiri, dia menarik nafas panjang, lalu menatap Lulu sekali lagi, sebelum akhirnya keluar meninggalkan kamar sunyi yang kini memang benar-benar ditinggalkan. *** "Max, berapa lama kita harus tinggal di pinggir kota ini? apa tak bisa secepatnya kembali ke kota saja?" Hana duduk di sofa sambil menatap suaminya yang sibuk memainkan ponsel. "Kenapa? kau sudah tak betah? Sayang, bukankah kau yang ingin mengunjungi ibu selama sebulan? karena kau merindukan tempat ini. Kau mengatakan, daerah ini adalah tempatmu pernah menghabiskan waktu, kan? kau pernah tinggal disini untuk waktu yang lama." "Memang benar. Tapi, sepertinya satu bulan terlalu lama. Bukankah Lily harus sekolah." "Lily bahkan belum mendaftar sekolah. Kau pernah bilang ingin menyekolahkan Lily disini." "Memang benar. Tapi ...." Hana terdiam, "Tapi ternyata tak mudah. Aku selalu menatap rumah Dany setiap kali berjalan." "Sayang, ada apa?" "Tak apa. Baiklah, kita disini selama sebulan." "Hmm, ibuku juga ingin bermain dengan cucunya. Sejak kita menikah, baru kali ini kita mengunjungi ibu dan tinggal disini. Biasanya, Ibu yang selalu mengunjungi kita, karena tak enak melihatmu harus ke pinggir kota." "Ibumu terlalu tak enakan. Padahal dia tahu, aku pernah tinggal disini, aku suka naik kereta. Aku bahkan hapal semua tempat yang ada disini." "Kau tahu bagaimana ibu, dia bahkan mengirimku keluar kota karena ingin aku mendapat pendidikan yang lebih baik." "Hmm, kenapa aku harus menikahimu? kampung halamanmu disini, dan itu membuatku kembali kesini lagi. Padahal aku sudah nyaman tinggal di kota." "Benarkah? kau lebih nyaman di kota? hahaha, istriku memang pintar berbohong." "Iya, aku berbohong. Aku lebih suka disini. Karena ..." "Karena kau hapal setiap sudut tempat ini. Hingga seperti ketua geng yang menandai wilayah kekuasaan, kan?" "Hei, kau ingin dihajar oleh ketua geng ini?" Hana menatap Max dengan jengkel. Max tertawa terbahak-bahak. Dia sangat suka menggoda istrinya yang mudah marah tersebut. "Hah, sebenarnya akulah yang keberatan. Karena kau aku kembali ke tempat ini. Aku tak kenal sama sekali dengan tempat ini. Jadi aku bingung. Untuk itu, kau tak boleh membiarkanku pergi sendiri. Temani aku saat ingin berkeliling. Karena aku hanya hapal jalan menuju kota." "Mengapa aku harus menemanimu? berkeliling saja, dan tersesatlah. Aku bisa mencari laki-laki yang lebih tampan saat kau tak kembali." "Wah! kau memang selalu jahat kalau bicara. Akh, hatiku sakit sekali," Hana tersenyum, lalu berbaring dengan kaji Max sebagai bantalnya, "Sayangnya. Di pinggir kota ini, hanya dua orang yang tampan," ucapnya kemudian. "Hah, benarkah? siapa?" "Suamiku dan ..." "Dan siapa?" "Ayah mertuaku, hahaha." "Kau ini," Max mengecup dahi Hana, lalu mengelus kepala Hana dnegan lembut, hingga Hana memejamkan matanya. "Max, sepertinya aku harus belanja. Lemari pendingin kita kosong, karena ibu sibuk bermain dengan cucunya," ucap Hana sambil menguap. "Baiklah, aku akan mengantarmu nanti." "Tak perlu. Kau di rumah saja. Tugasmu mencuci piring dan membersihkan kamar mandi." "Baiklah, kini aku menjadi penyedia jasa pembersih." "Kau tidak mau?" "T-Tentu saja mau. Ya ampun, aku tak akan menolak apapun permintaan istriku." "Wah, ternyata suamiku bertambah tampan setiap harinya." "Wah, ternyata istriku pintar merayu," Max dan Hana tertawa dan bercanda satu sana lain. Hingga Hana kelelahan dan tertidur pulas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN