Mata Dany bergetar. Begitu juga dengan tubuhnya yang serasa tak sanggup menanggung beban kehilangan Hana. Dany berlari keluar rumah, dengan tangan kirinya yang masih menggenggam erat surat dari Hana, dan tangan Kanannya yang sibuk berusaha menghubungi Hana lewat ponselnya. Dany berlari dan terus berlari, sambil berteriak memanggil Hana. Lima belas menit kemudian, Dany tiba di stasiun. Dia berkeliling dan berusaha keras untuk menemukan Hana. Walau dia tahu hal itu sia-sia. Hana telah pergi dan mungkin tidak akan kembali lagi.
Setelah satu jam lamanya Dany duduk seperti orang bodoh di kursi tunggu stasiun. Dia kemudian berjalan gontai menuju rumahnya. Dany melewati toserba yang berada tak jauh dari stasiun. Toserba yang selalu dikunjungi olehnya dan Hana. Dany menatap kursi kosong di depan toserba. Berharap Hana duduk disana, entah itu memakan mi instan atau sekedar minum minuman bersoda kesukaan wanita itu. Namun, harapan Dany kembali pupus. Dia putus asa dan akhirnya melangkahkan kaki kembali ke rumah.
Setibanya di rumah, Dany membuka kulkasnya untuk mengambil minum. Disana dia menemukan sebuah kue mungil, dan satu lagi surat pendek di sampingnya.
"Gingsul yang bodoh dan terlalu baik. Aku membuat kue ini untuk pertama dan terakhir kalinya. Semoga keberuntungan selalu menyertaimu." bunyi surat itu.
Dada Dany terasa sesak. Air matanya mulai jatuh. Tak pernah dia sangka bahwa dia akan kehilangan Hana seperti ini. Dany kehilangan arah. Tak ada yang bisa dia lakukan lagi selain menangis terisak.
"Hana ... tega-teganya ... kenapa kau meninggalkanku? hiks ... Hana, Hana Foster!"
Enam Tahun Kemudian
Enam tahun kemudian, di stasiun kereta bawah tanah yang sama. Dany berdiri di tempatnya pertama kali bertemu dengan Hana. Kursi tunggu itu tak pernah berubah, hanya Dany yang berubah, sekarang dia di dampingi seorang wanita cantik bernama Laura. Laura adalah tunangannya, mereka akan segera menikah. Namun, sebelum menikah Dany ingin kembali ke rumah lamanya untuk mengambil beberapa barang yang penting. Seorang gadis kecil berlari dari kejauhan dan duduk di kursi tunggu tempat dimana dulu dia dan Hana duduk. Kursi tunggu di sudut bawah tangga yang tak pernah di duduki seseorang. Dany yang penasaran lalu mendekati gadis kecil itu. Dia berjongkok sambil menatap wajah gadis kecil itu lekat. Mata yang indah dan bentuk wajah yang menawan. Gadis kecil itu mengingatkan Dany pada seseorang.
"Paman, kau ada perlu denganku?" ucap gadis kecil tersebut dengan suara yang menggemaskan.
"Adik kecil, siapa namamu?" Laura ikut menghampiri gadis kecil tersebut sambil tersenyum lembut.
"Lily Carter," ucap gadis itu dengan tegas.
"Wah, nama yang bagus. Boleh Bibi duduk disini? karena kursi tunggu yang lain sudah penuh," ucap Laura lagi.
"Laura, tempat ini ...." Dany menatap Laura lalu terdiam sejenak, "Tempat ini milik Hana," batinnya kemudian.
"Kenapa, Dan?" tanya Laura penasaran.
"Ah, tidak apa-apa. Gadis kecil, apa kami berdua boleh duduk disini? seperti yang dikatakan, kursi tunggu yang lainnya penuh."
"Hmm, baiklah. Tak apa," ucap gadis kecil bernama Lily tersebut.
"Ya ampun, dia menggemaskan sekali. Laura kemudian duduk di samping Lily sambil menyilangkan kakinya
"Cantik, berapa usiamu," tanya Dany yang masih berjongkok di depan Lily.
"Empat tahun,"
"Wah, kau disini bersama siapa? kenapa duduk disini sendirian? ibumu dimana?" sambung Dany lagi.
"Ibu sedang ada urusan, dan aku disuruh menunggu disini."
"Kenapa disini? ah, karena kursi yang lain sudah penuh?"
Lily Carter gadis kecil dengan rambut hitam lebat itu menggeleng. "Bukan karena itu. Ibu menang memintaku untuk memilih kursi ini. Tidak boleh di tempat lain. Karena kata ibu orang baik hanya duduk di kursi ini."
Dany tersenyum mendengar penjelasan gadis dengan mata indah tersebut. "Benarkah? ibumu juga pasti orang baik."
"Hmm, tentu saja. Ibuku adalah yang terbaik di dunia."
"Lily!"
Tiba-tiba sebuah suara memanggil nama gadis kecil itu, sebuah suara yang sangat dikenal Dany. Dany terdiam sejenak. Dia ingin segera menoleh tapi rasa ragu dan gugup secara bersamaan menyelimutinya.
"Ibu!" gadis di depan Dany berlari dengan kaki mungilnya. Dany tak bisa menahan diri lagi, dia langsung menoleh ke arah suara yang memanggil Lily Carter. Tampak olehnya, Lily Carter menuju dan memeluk seorang wanita, dengan stelan jas panjang berwarna cream. Wanita itu tersenyum, senyum yang sangat dikenal Dany, senyum yang tak pernah bisa dia lupakan. Hana kembali, tapi kali ini Hana juga telah berubah. Dany sangat penasaran, malaikat kecil yang memanggilnya Ibu, apakah memang anak Hana?
"Lily, kau tidak nakal, kan?" suara Hana belum berubah walau sudah enam tahun Dany dan Hana terpisah. Dany masih mengingat jelas suara itu. Yang dulu selalu mengganggunya. Suara yang membuatnya sakit kepala, dan juga suara yang selalu dia rindukan.
"Lily tidak nakal, Lily duduk di kursi ujung sana seperti yang Ibu minta," ucap Lily sambil menunjuk ke arah Dany yang berdiri di depan kursi tunggu usang tersebut.
"Hana Foster," Dany memanggil Hana.
Hana terbelalak dan menutup mulutnya tak percaya, "Dany Brown? ya ampun, tak bisa kupercaya,"
Dany dan Hana saling menatap. Laura yang tadinya duduk di kursi tunggu berdiri di samping Dany. Dia tak tahu apa yang terjadi, namun Laura mendekati Dany, lalu menggenggam tangan Dany. Dany balas menggenggam tangan Laura erat. Melihat hal ini, Hana ikut menggenggam tangan Lily Carter sambil terus menatap Dany dan tersenyum lembut.
***
"Bagaimana kabarmu?" tanya Dany kepada Hana. Kini mereka duduk di toserba tempat dulu biasa mereka duduk apabipa turun dari kereta. Laura dan Lily sedang berada di dalam toserba untuk memilih makanan, membiarkan kedua teman lama itu berbicara satu sama lain.
"Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja, dan sekarang aku punya Lily,"
"Hmm, dia cantik sekali. Mirip denganmu,"
"Dia juga cantik," ucap Hana sambil menunjuk Laura dengan pandangannya.
"Ah, namanya Laura Still, kami akan menikah bulan depan,"
"Wah, Dany Brown sekarang sudah menjadi laki-laki sejati. Kau bangga padamu,"
Dany hanya tersenyum. Kini mereka berdua agak canggung dan diam selama beberapa menit.
"Sayang! kenapa tidak bilang jika mau naik kereta? benar-benar kebiasaan," seorang laki-laki dengan wajah tampan, dan juga tinggi menghampiri Hana dan Dany.
Hana otomatis berdiri, lalu merentangkan tangannya. Dengan cepat laki-laki itu menghambur, masuk ke pelukan Hana.
"Maaf, aku tak biasa mengabari apapun padamu," ucap Hana sambil mengusap kepala laki-laki itu.
"Hmm, dasar," sebuah kecupan mendarat di kening Hana, "Ayo kita pergi. Ibu sudah menunggu. Ibu merindukan Lily, dan aku ... rindu sekali padamu,"
"Lily, sudah selesai? ayah sudah menjemput!" Hana berseru. Lily yang baru saja keluar dari toserba berlari ke arah laki-laki yang ternyata adalah ayahnya tersebut.
"Gingsul ... ah, maksudku Dany. Aku pergi dulu. Semoga acaramu berjalan lancar."
Dany mengangguk pelan. Hana kemudian pergi meninggalkan Dany bersama suami dan anaknya. Kaki yang merupakan suami Hana melirik ke belakang sejenak.
"Sayang, itu siapa? temanmu?"
Hana menggeleng, "Saudaraku."
Laura duduk di samping Dany yang sejak tadi memandangi punggung Hana yang menjauh darinya.
"Bertemu teman lama ya?" ucap Laura kemudian.
Dany menggeleng, "Dia bukan sekedar teman lama. Dia sahabatku, saudariku yang cantik, dan sekarang sudah dewasa," Dany menarik nafas panjang, lalu menggenggam tangan Laura dengan erat.
Dany dan Hana telah punya kebahagiaan mereka sendiri, Hana dengan keluarga kecilnya dan Dany dengan tunangannya.
I Leave You Cause I Love You (End)