Benarkah Ini Nyata?

1044 Kata
            Adit beserta nyak dan Adhim asyik melahap sate yang terbilang makanan mewah bagi mereka. Adit terharu melihat nyak dan juga si bungsu makan dengan lahap, Adit sudah cukup senang melihat mereka berdua makan dengan lahap dan ia hanya menyicipi sate itu sedikit saja. Usai makanan di atas piring tersebut tandas setelah sebelumnya menyisihkan dua tusuk sate untuk bapak walaupun tak banyak kami berusah untuk selalu membagi apapun yang kami miliki agar satu keluarga bisa merasakan semuanya, apalagi perihal makanan, Nyak mulai membereskan sisa makanan tadi.             “Lu nemu sate di mana dit, rasanya tadi nyak liat nggak ada bebawaan apaan tadi pas pulang sekolah” tanya Nyak ke Adit yang membuat Adit kalang kabut menjawabnya.             “Emm, anu nyak. Tadi Adit di kasih teman Adit yang lagi ulang tahun nyak, anak orang kaya yang rumahnya gedong nyak. Makanya kami-kami di traktirin sate sekelasan nyak” jawab Adit sekenanya.             “Oh gitu, alhamdulillah deh. Nyak kirain aja kagak halal tu sate” ucap nyak sambil nyengir. Adit hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal  karena sebuah ketidaksengajaan yang ia pikirkan. Tak menyangka bila apa yang ia inginkan tahu-tahu menjadi kenyataan.             Adit masih bertanya-tanya dalam hati apakah benar nyata apa yang telah ia alami. Sepele memang tapi rasa percaya tak percaya, bagaimana mungkin makanan sederhana yang awalnya berisi tumis kangkunng, sedikit gorengan berupa tahu dan tempe. Ia belum dapat menerka mengapa ini semua terjadi, ia pikir ini hanya khayalan semata tapi bila memang khayalan harusnya sate yang tampak di pandangan tak bisa di makan, atau kalau bisa di makan mungkin hanya dirinya yang merasakan namun ternyata nyak dan si bungsu pun bisa ikut merasakan nikmatnya menu sate yang terhidang di hadapan mereka dengan lahap dan penuh suka cita. Tentu saja,hal itu membuat Adit terharu, merasa sangat senang melihat nyak dan adiknya makan dengan lahap walaupun sepiring berdua, tak lupa menyisakan juga untuk bapak yang sedang bekerja menafkahi mereka semua.             Usai membereskan sisa makan tadi, Adit kembali ke kamar tak lupa membawa sumpit yang tadi ia gunakan beberapa kali walau sebenarnya ia justru belum terlalu lihai menggunakannya. Ucap syukur tak berhenti Adit dengungkan, atas rezeki makanan nikmat yang jarang-jarang ia bisa nikmati beserta keluarga kecilnya itu. Saatnya beristirahat sejenak sebelum waktu senja menghampiri. Adit merebahkan diri setelag selesai menunaikan shalat ashar. Tak lama ia pun terlelap. Ternyata Adit bermimpi, tak di nyana mimpinya pun berkisah tentang kejadian yang barusan saja dia alami.             “Wahai cucuku” ujar sang kakek di dalam mimpinya itu. Awalnya suara yang terdengar tersebut tak menampakkan siapakah gerangan yang mengucapkannya, namun lambat laun muncullah seorang kakek yang sama persis dengan yang ia temui sepulang sekolah tadi.             “Jagalah dengan baik sumpit yang sekarang ada padamu, jangan sampai jatuh ke tangan orang yang tak bertanggung jawab karena ada banyak orang yang ingin memilikinya. Berjanjilah, kalau kamu akan menjaganya dengan baik. Pergunakan sumpit itu untuk hal-hal yang bermanfaat, suatu saat kamu akan mengerti bahwa sumpit yang ada padamu sekarang sangatlah berharga”.             Adit terdiam dan hanya menganggukkan kepala tanda bahwa ia paham apa yang dimaksud oleh sang kakek. Tak lama kakek tersebut hilang setelah sebelumnya menyunggingkan senyum lebar kea rah Adit yang masih berdiri terpaku di hadapan sang kakek.  Seiring gumpalan asap yang semakin menjauh dan membumbung tinggi, maka bayangan kakek misterius tersebut seakan ikut hilang dan tergerus dari pandangan.             “Bang, bangun. Udeh jam enam tu, kagak shalat magrib berjamaah di mushola emangnya bang?” Adhim membangunkan Adit dengan menggerak-gerakkan badan Adit ke kiri dan ke kanan. Adhim sendiri mengikuti anjuran nyak untuk membangunkan si abang yang tengah asyik terlelap Adhim yang masih asyik tertidur sempat tak merespon selama beberapa saat hingga akhirnya ia pun terbangun dengan sedikit perjuangan dari nyak bala bantuan yang tiba-tiba datang dan menggantikan Adhim membangunkan Adit.             “Dit, bangunnn. Udeh mau magrib ni, belum mandi juga kan. Buruaannnn, noh Adit dah siap-siap” ujar nyak sambil menunjuk kea rah Adhim yang telah berpakaian rapi dengan menggunakan sarung yang mulai memudar warnanya.             “Emmm, ia nyak. Nih Adit bangun kok nyak” balas Adit sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Berudaha menyinkronkan mata dan badan agar bisa segera bangun dari tempat tidur. Ahh, hanya mimpi rupanya, batin Adit dalam hati. Mimpi yang ia alamai barusan itu seakan benar-benar nyata Tampak jelas sekali, bahkan Adit ingat sekali kata-kata yang diucapkan oleh kakek yang ia temui siang tadi. Aku harus bertemu kakek itu lagi besok hari, begitu batin Adit di dalam hati. Semoga saja ketemu, karena ada beberapa hal yang nampaknya ingin Adit tanyakan kepada kakek misterius tersebut.             Adzan magrib pun berkumandang, matahari pun mulai turun ke peraduan. Langit senja yang teramat indah berwarna oranye kemerahan yang semakin menampakkan kuasa Sang Pencipta. Adit dan Adhim beserta bapak bergegas ke mushola dekat rumah. Bapak Adit baru saja tiba ke rumah, jadi harus tergesa-gesa juga supaya bisa shalat magrib berjamaah. Sudah menjadi rutinitas, setidaknya setelah selesai berkegitan, masing-masing lelaki di rumah ini sama-samam menunaikan shalat magrib berjamaah. Nyak dan bapak pun mengajarkan setelah selesai shalat berjamaah nanti akan dilanjutkan dengan tadarus Al-Quran.             Akhirnya mereka bertiga telah sampai di rumah ketika mendapati nyak sudah lebih dulu mengaji, tak lama mereka bertiga pun mengaji secara bersisian. Usai mengaji, nyak menghidangkan makanan yang telah disipakan. Menu sederhana, ada telur dadar dan tumis daun ubi yang kebetulan menjadi salah satu penghuni kebun kecil di belakang rumah. Tak lupa, menu sate yang telah disisihkan untuk di santap oleh sang kepala keluarga.             “Waaahh, enak bener nih lauknye. Ada sate segala. Dapet di mana nih” tanya bapak kearah nyak. Nyak kemudian menjelaskan perihal adanya menu yang cukup mewah tersebut. Tak lupa nyak menyuruh bapak untuk menghabiskannya karena mereka bertiga telah menyicipi.             “Enak banget ye nyak, rasanya beda kayak sate yang kadang aye beliin yak” ujar bapak yang membuat kami terkekeh geli karena lelucon bapak. Makasih loh Dit, kalo bisa sering-sering aje temen lu beliin makanan enak kayak gini” celoteh bapak yang lagi-lagi membuat kami semua tertawa terbahak-bahak.             Adit merasa terharu, kali ini ia tak membawa sumpit yang tadi di belinya. Ia makan seperti biasa, aneh nanti bila kelihatan nyak, bapak serta adiknya bila melihat Adhim makan dengan menu sederhana tapi gaya-gayaan makan menggunakan sumpit. Rasa penasaran masih ia pendam, apakah mungkin semuanya hanya kebetulan saja ataukah memang sumpit itu sakti seperti yang kakek misterius ucapkan di mimpinya tadi sore.                                         
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN