Mimpi yang Berulang

1067 Kata
            Adit bersiap untuk tidur, padahal waktu masih menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Ia masuk ke kamar, ketika Nyak, Bapak dan Adhim sedang menonton televisi berukuran sedang yang masih menggunakan tabung besar di belakangnya. Berbeda sekali dengan tivi kebanyakan yang sudah semakin tipis dan canggih, apalah daya di keluarga kami masih bisa makan dengan layak saja sudah sangat bersyukur apalagi hanya memikirkan kebutuhan tersier bagi keluarga mereka tentulah bukan hal yang penting dan masih bisa di jadikan nomor ke sekian-sekian yang paling penting kebutuhan primer terpenuhi, itu saja sudah sangat bersyukur.             Nyak, Adhim dan Bapak masih berada di depan tivi. Suara canda tawa terdengar sampai di telinga Adit yang masih berada di dalam kamar. Adit yang mulai beranjak dewasa, sebentar lagi ia akan tamat SMA. Beban keluarga harus mulai ikut ia panggul untuk bisa sedikit meringankan beban Bapak sebagai kepala keluarga.             “Bang, Adhim pengen banget ketemu Bang Tora, kapten sepak bola kampung sebelah yang terkenal itu bang” ujar Adhim yang ternyata sudah berada di dekat Adit yang sedang asyik rebahan di dalam kamar kecil tempat di mana terdapat dua kasur yang berdempetan untuknya dan untuk Adhim.             “Lahh, tumbenan lu pengen yang kagak biasanya. Ada apaan?”             “Yee, abang. Adhim kan juga pengen kayak si Abdul anak Pak RT bang. Bisa foto bareng sama Bang Tora, mana Bang Tora katenye mau direkrut grup sepak bola terkenal lagi bang” ujar Adhim berapi-api. Adit mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti walaupun keinginan Adhim seakan sulit untuk ia bantu kabulkan.             “Oh gitu, okelah nanti abang cari cara biar Adhim bisa ketemu sama Bang Tora ya. Sabar tapi ya, kagak bisa cepet-cepet” Entah mengapa kata-kata tersebut terlontar dengan mantap begitu saja. Setelah diucapkan barulah Adit sadar bahwa konsekuensi atas ucapan yang ia lontarkan ke adik satu-satunya tersebut sungguh membuat sang adik terlalu berharap.Adit menatap adiknya yang tampak berbinar-binar setelah Adit mengatakan bahwa ia akan memikirkan cara untuk mempertemukan Adhim ke Bang Tora. Padahal Adit sendiri sama sekali belum pernah bertemu sama sekali, hanya sekadar mendengar teman-teman sebayanya yang membicarakan Bang Tora. Seorang pemain sepak bola yang cukup populer di kampung kami.             Adhim sumringah mendengar perkataan abangnya tersebut, walaupun akhirnya Adit yang harus berusaha untuk mewujudkan keinginan Adhim agar bisa menjadi kenyataan. Tak lama ia pun terlelap. Anggota keluarga yang lain pun sudah mulai mengarungi dunia mimpi. Lagi dan lagi Adit bermimpi. Mimpi yang sama seperti kemarin, kakek penjual sumpit itu kembali hadir dalam mimpi Adit. Menceritakan dan menegaskan hal yang sama perihal sumpit yang ada di bersama Adit untuk di jaga dan di gunakan dengan sebaik mungkin. Menjaga dari kemungkinan terburuk, ulah orang-orang jahat yang menginginkan sumpit itu untuk menajdi milik mereka.             Pukul dua malam ADit terbangun, ia ngos-ngosan dan sedikit berkeringat. Entahlah ia merasa sangat Lelah setelahnya, teringat di mimpinya tersebut ada adegan kejar-kejaran anatara dirinya dengan seorang lelaki paruh baya yang menginginkan sumpit unik tersebut. Adit tak mengerti mengapa tak hanya satu orang yang menginginkannya namun ada banyak orang yang menginginkannya juga hingga membuat Adit dikejar-kejar oleh mereka. Entah siapa sajakah mereka tersebut, yang pasti ada cukup banyak orang yang berusaha untuk mengambil sumpit dari tangan Adit. Tidur Adit menjadi tak begitu nyenyak, dan akhirnya ia pun terbangun. Pukul satu dini hari ia terbangun, dilihatnya Adhim yang masih tertidur dengan pulasnya.             “Duhh, mimpi kek gini lagi” gumam Adit sambil mengusap kepalnya. Keringat dingin mulai membasahi baju yang ia pakai. Deru napas yang awalnya memburu pun sedikit demi sedikit mulai teratur kembali. Perlahan-lahan rasa kantuk pun timbul dan menggelayut kembali. Berusaha memejamkan mata untuk segera bisa tertidur kembali dan akhirnya Adit pun terlelap tanpa terganggu dengan mimpi-mimpi yang telah ia alami sebelumnya.             “Dit, bangunnnn” teriak nyak dengan tenaga penuh. Dengan sigap nyak menarik selimut yang melingkupi badan Adit. Tampak sang adik, Adhim baru saja selesai mandi. Sang kakak masih asyik memeluk guling, mungkin faktor terbangun tengah malam itu lah yang membuat Adit masih tertidur pulas tanpa menyadari bahwa nyak sedang berusah untuk membangunkannya.             “Nyak, bentaran lagi deh, Adit masih ngantuk nyak. Emang udah jam berapaan nyak?” tanya Adit sambil mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih sangat berat untuk di buka dengan sempurna.             “Ini udeh jam enam lewat Dit. Belum sholat subuh juga kan ya. Ayooo buruan, telat ntar ke sekolah” perintah nyak dengan amarah yang tertahan. Bayangkan saja mulai subuh sudah banyak rutinitas yang harus ia kerjakan, mulai dari menyiapakan sarapan untuk mereka sekeluarga, membersihkan rumah dan kemudian menyiapkan printilan Adhim dan terkadang Adit juga. Seorang ibu rumah tangga yang juga merangkap membantu perekoniman keluarga dengan usaha sampingan sebagai penjahit tentu membuat nyak merasa lelah dan membuatnya menjadi lebih mudah marah. Wajarlah Namanya ibu rumah tangga merasakan kejenuhan mengurusi rutinitas yang terkadang itu-itu saja.             “Hahhh, beneran nyak. Aduhhh, mana jam pertama MTK Pak Yono lagi. Alamat dihukum lagi nih gue” tak lama Adit ngibrit ke kamar mandi untuk mandi. Nyak menghela napas lega, bangun juga tu anak. Sering banget bikin jengkel sin yak, padahal udah gede aja nih anak gue, masih aja suka nyusahin orang tua gumam nyak Adit dalam hati. Adit anak yang baik, walaupun terkadang suka bikin kesal nyak, berbuat iseng ke adiknya, namun sebenarnya Adit adalah anak yang penurut, penyayang dan juga anak yang berbakti.             Adit terburu-buru mandi, buru-buru shalat subuh yang jelas jauh dari kata khusyuk karena dikerjakan dengan tergesa-gesa. Nyak sudah menyiapkan bekal karena jelas tak mungkin Adit sempat sarapan.             “Nyak, Adit berangkat dulu, Assalamualaikum”, tak lupa ia mengecup punggung tangan nyak. Adhim sudah berangkat di antar bapak, tinggallah Adit sendiri yang berangkat karena memang ia berkendara sendiri ke sekolahnya. Nyak menasihati agar Adit hati-hati di jalan, tak usah tergesa-gesa karena berbahaya bila kebut-kebutan di jalan. Mau bagaimana lagi kalau tak di kebut bakalan akan lebih lambat sampai ke sekolah. Apalagi jam pertama adalah adalah mapel Matematika yang semua siswa sudah tahu kalau gurunya terkenal killer dan suka menghukum kalau siswa melakukan kesalahan.             “Pak, bukain pagar dong, baru telat bentaran aja udah di tutup nip agar” pinta Adit ke petugas keamanan sekolahnya tersebut.  Wajah memelas Adit hadirka karena bila bersikeras tentu malah justru tak diperbolehkan untuk masuk. Melihat Adit yang benar-benar fasih memasang tampang memelas, akhirnya ia diperbolehkan masuk. Sedikit berlari, Adit menuju ke kelas dan ketik sampai di depan pintu.Ia bersyukur karena dilihatnya Pak Yono belum masuk kelas. Tak lama setlah ia duduk di kursinya, ada suara deheman yang sungguh tak asing di telinganya. Jangan-jangan ini suara…                         
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN