Diberhentikan

1253 Kata
Pagi ini Melani sangat berat membuka matanya, semalam dia membuat racikan obat untuk diminum ibu Setiawati. Jika obat bubuk berhasil membuat lukanya kering, maka harus diimbangi dengan obat oral. Untuk membuat obat ini dia harus menahan kantuk sekitar enam jam lamanya, dia baru bisa tertidur setelah terdengar suara ayam jantan berkokok. Jika bukan demi ibu yang membuatnya teringat mendiang ibunya, Melani tak akan repot-repot membuat tubuhnya pegal seperti pagi ini. Dengan mata yang masih merem melek, ia masuk kamar mandi yang berada di samping dapur apartemennya. Setelah menyelesaikan ritual mandinya Melani masuk kedalam kamar. Melani merapikan sebentar tempat tidurnya yang berantakan. Setelah rapi dan bersih, ia melangkah ke almari, mencari jas putihnya dan perlengkapan lainnya. Mencatut diri di depan cermin, mengaburkan mata panda nya dengan makeup tipis, lalu memoles bibir tipisnya dengan lipstik berwarna pink. Yakin semuanya telah rapi, Melani mengambil obat racikannya dan dimasukkannya ke dalam tas medis, setelah itu melangkah keluar, mengunci pintu apartemen dan turun ke basement melalui lift. Mengendarai motor hondanya, Melani memecah jalanan dengan hati-hati, selama ini dia tak pernah ngebut, walau harus terburu-buru dia tetap mematuhi peraturan lalu lintas, dan selalu mengalah jika ada yang menyalip motornya. Sesampainya di Rumah Sakit tempatnya bernaung mencari rezeki, Melani memarkirkan motornya, dan bergegas ke ruangannya. Waktu masih menunjukan pukul 7.30 pagi, artinya dia tidak terlambat, terhitung baru beberapa bulan berprofesi sebagai dokter spesialis, Melani tak pernah terlambat atau absen kecuali jika dia benar-benar berhalangan. Setengah jam lagi dia harus mengunjungi pasien yang dijadwalkan menjalani kemoterapi siang ini. Saat Melani menyiapkan beberapa peralatan medisnya seorang perawat memasuki ruangannya. "Pagi dok, saya mau melaporkan perkembangan nyonya Setiawati sesuai permintaan dokter, luka di payudaranya telah mengering, suhu tubuhnya berangsur-angsur normal, dan nafasnya teratur, tekanan darahnya juga normal." "Terima kasih, pagi ini kita lebih dulu mengunjungi beliau setelah itu kita ke pasien yang akan menjalani kemoterapi siang nanti, " titahnya. "Baik dok, tapi saya mau menyampaikan satu hal terkait nyonya Setiawati," Perawat menutup catatan medisnya dan menatap Melani. Melani yang memeriksa beberapa catatan medis pasien mendongak, "Ada apa ?" "Keluarga pasien minta keluar pagi ini." "Apa ? Ikut aku, " Melani tak mendengarkan penjelasan perawat lebih lanjut dan segera keluar berjalan tergesa-gesa menuju ruangan dimana Ibu Setiawati dirawat. Dengan sebelah tangan dimasukkan ke dalam saku jas putihnya, Melani memasuki ruangan pasien diikuti perawat yang tadi datang melapor. Nampak olehnya Arkana dan seorang pria paruh baya, jika dilihat dari perawakannya sepertinya pria ini ayah Arkana karena garis wajahnya terlihat mirip. Tapi dari raut wajahnya terlihat aura yang sangat kejam. Melani sempat bergidik ngeri tatkala tatapannya beradu dengan sang pemilik wajah kejam itu. "Kau dokter yang menangani istriku?" Benar dugaan Melani, laki-laki ini suami Ibu Setiawati. Jika dilihat sekilas suaminya ini tak punya perasaan, dingin tanpa ekspresi. Pantas saja Arkana sedikit angkuh karena ternyata menurun dari pria ini. Melani tak ingin tahu namanya, dengan melihat wajahnya saja Melani sudah yakin jika laki-laki ini suka mengintimidasi dan kejam. Bagaimana mungkin Arkana yang tampan itu bisa memiliki ayah seperti ini. Rutuknya dalam hati. "Aku bertanya padamu dokter, kenapa kau diam dan terus mengawasiku." Suara berat itu membuat Melani terkejut, perawat yang datang bersamanya pun sempat menggumamkan sesuatu namun tak didengarnya. "Iya pak, saya dokter yang menangani Ibu Setiawati, pagi ini saya akan melakukan pemeriksaan, " Melani menghampiri pasien dan mulai melakukan tugasnya. Dia tahu jika di belakangnya, pria paruh baya itu terus mengawasinya, hanya saja yang membuatnya heran mengapa Arkana diam saja dan tak mengeluarkan satu kata pun. "Lumayan ada kemajuan, lukanya sudah mulai mengering, harus ada beberapa obat yang perlu diminum pasien saat sadar. Mudah-mudahan sebentar lagi pasien akan siuman, " Melani merapikan kembali pakaian pasien. Lalu menginstruksikan beberapa hal dan dicatat oleh perawat. "Apa yang kau lakukan dokter ? Apa kau tidak lihat istriku terbujur kaku tak bergerak dan kau hanya terus mengobati lukanya dan memberikan instruksi sana sini, aku akan mengeluarkan istriku hari ini juga. Kalian itu kerjanya hanya menghabiskan uang saja namun tak ada hasilnya sama sekali, cabut semua peralatan medis yang tidak berguna ini." "Maaf pak, Rumah Sakit ini ada prosedurnya, jika anda ingin memulangkan pasien secara paksa maka anda harus menandatangani formulir yang sudah kami sediakan, " Melani menatap Arkana, dia berharap laki-laki itu mengatakan sesuatu tapi ternyata Arkana memilih diam bagai patung dan hanya duduk menyilangkan kakinya dan menatap Melani tak berkedip. "Persetan dengan prosedur, kalian terus menyiksa istriku, mungkin saja dia sudah tenang di alam sana tapi kalian terus menahannya hanya demi uang." Melani mulai gusar, sepertinya pria paruh baya ini harus diberi pelajaran. "Apanya yang kami tahan pak, tugas kami disini mengobati pasien, jika anda sangsi dengan pengobatan kami mengapa anda membawanya ke Rumah Sakit? Jika anda menginginkan isteri anda mati seharusnya anda tidak membawanya kesini." Arkana melihat kemarahan di wajah wanita cantik yang berbalut jas putih ini, dia tersenyum penuh arti. Ayahnya mendapat tandingan yang pantas. Arkana tertawa dalam hati. Dia ingin melihat sampai dimana keberanian wanita itu menghadapi ayahnya. "Hei dengar dokter, tanpa pasien kau tak akan punya uang. Jangan sok mengajari aku, sekarang lakukan perintahku, cabut semua peralatan medis itu dan kami akan keluar dari sini. Dan kau ingat dokter, catat namaku di dalam hatimu, aku Farhan Maulana, akan ku pastikan kau tidak lagi bekerja di rumah sakit ini." Setelah mengatakan itu tuan Farhan segera keluar dari ruangan entah kemana, Melani tak ingin tahu. Dia hanya berusaha menjelaskan sesuai prosedur. lalu dia segera menghampiri Arkana. "Aku lihat ayahmu bersikeras untuk memulangkan ibumu, jika aku jadi kamu aku akan menentangnya, tapi sudahlah bukan urusanku. Obat bubuknya tolong di taburkan terus ke luka beliau, dan ini obat oralnya, larutkan di dalam air dan usahakan beliau meminumnya sedikit demi sedikit," Melani menyodorkan obat yang diraciknya semalam. Arkana menerimanya dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia hendak mengucapkan terima kasih tapi bibirnya kelu. Sebelum Melani melangkah keluar, seorang dokter masuk keruangan itu dan mengatakan sesuatu yang membuat wajahnya sedikit membeku. "Dokter Melani, kau ditunggu direktur di ruangannya sekarang." Melani masih sempat melihat tatapan keterkejutan Arkana. Dia sendiri tak bisa mengartikan apa arti keterkejutan itu sampai dia bertemu direktur Rumah Sakit barulah dia sadar. "Dokter Melani, saat ini saya mengistirahatkan anda sementara. Jika Rumah Sakit membutuhkanmu maka kami akan menghubungimu kembali." Melani terkejut, apa salahnya? Hendak melayangkan protes tapi melihat keseriusan direktur dan sebuah amplop yang cukup tebal disodorkan padanya membuat Melani tak bisa berkata-kata dan hanya mengambil amplop itu lalu keluar. Sudut matanya masih sempat menangkap sosok tuan Farhan yang berdiri diujung koridor, melayangkan senyum penuh ejekan. Melani bertanya-tanya, siapa dia? Punya hubungan apa dengan Direktur Rumah Sakit ? Rumah Sakit yang mempekerjakannya beberapa bulan yang lalu, Rumah Sakit Kanker terbesar di kotanya, dia di kontrak bekerja di Rumah Sakit Swasta ini atas rekomendasi dari universitasnya. Dia termasuk salah seorang lulusan terbaik dokter Onkologi, sehingga pihak Universitas merekomendasikannya untuk bekerja di Rumah Sakit Kanker terbesar di kotanya. Dia dikontrak selama lima tahun dan akan diperpanjang lima tahun kemudian, namun kontraknya belum sampai setahun dia diberhentikan dengan tidak hormat tanpa alasan yang jelas. Melani tak bisa membantah karena dalam kontrak itu tertuang poin yang menerangkan jika perjanjian ini bisa berubah sewaktu-waktu. Melani membereskan semua peralatan medisnya, memastikan tak ada lagi yang tertinggal lalu menuju parkiran. Ternyata Arkana sedang menunggunya di sana. "Dokter, ini kartu namaku, jika sewaktu-waktu kau membutuhkan sesuatu harap hubungi aku." Melani menerima kartu nama itu, melihatnya sekilas dan memasukannya ke dalam tasnya. Dia masih sempat mengucapkan terima kasih dan menjalankan motornya perlahan menuju apartemennya. Arkana menyaksikan kepergian Melani dengan tatapan iba, dia tahu ayahnya telah membuat gadis itu kehilangan pekerjaannya. Saat ini Arkana tak bisa melawan ayahnya, demi ibunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN