Cahaya matahari menerpa wajah gadis cantik ini, dia enggan untuk bangun dan malah menarik selimut menutupi wajahnya dari terpaan matahari.
Terhitung mulai hari ini dia tak lagi susah-susah bangun pagi untuk pergi ke Rumah Sakit. Pesangon yang diberikan Direktur kemarin sepertinya cukup untuk kebutuhannya selama sebulan sambil mencari pekerjaan baru.
Tepatnya tiga tahun yang lalu dia harus kehilangan orang tua yang disayanginya. Seminggu setelah kepergian ibunya, ayahnya pun menyusul tanpa sebab. Mungkin mereka sudah ditakdirkan sehidup semati.
Melani kini sebatang kara, untunglah gajinya di Rumah Sakit bisa memenuhi semua kebutuhannya, bahkan dengan gajinya dia mampu membeli sebuah apartemen dan motor matic.
Sesaat Melani menggeliat, melempar selimut yang menutupi tubuhnya, duduk dengan memutar mutar kepalanya.
Hufft...! Apa yang harus kulakukan pagi ini? Tanyanya dalam hati.
Melani memakai sandal jepitnya menuju ke kamar mandi, tidak biasanya dia bangun kesiangan seperti ini, menggosok gigi lalu mencuci wajahnya dengan sabun pembersih wajah. Menatap wajahnya di cermin sesaat, ada sedikit kerutan di sudut matanya.
Hah? Berapa umurnya sekarang? Gila dia baru ingat, kini dia sudah berusia dua puluh tujuh tahun sebulan lagi dua puluh delapan. Melani baru sadar, ternyata hidup melajang itu malah membuat wajah semakin tua. Maklum tak ada pelampiasan...hehe...Melani terkekeh dengan pikirannya sendiri.
Sampai pada usia ini dia tak memiliki kekasih, tak ada yang menyukainya pikirnya. Dulu dia ingat seorang pria teman kuliahnya berusaha mendekatinya, namun entah mengapa pria itu mundur perlahan tanpa kata. Dia baru tahu alasannya setelah lulus kuliah. Pria itu mendengar candaannya bersama teman wanitanya.
"Ihhh...aku gemas padamu, terima kasih, aku mencintaimu sayang," itu celoteh Kinanti teman wanitanya saat Melani membantunya menyelesaikan skripsinya.
Mereka mengira dia pecinta sesama jenis. Melani geleng-geleng kepala, dia masih normal, buktinya saat melihat tonjolan besar di balik celana Arkana saat itu, membuatnya panas dingin.
Melani teringat Arkana, semoga saja pria tampan itu mengikuti sarannya.
Keluar dari kamar mandi dengan tangan memegang handuk kecil yang dia gunakan menyeka wajahnya yang basah, lalu menjemur handuk kecil di balkon.
Hari ini gadis cantik itu hanya akan sarapan dengan roti yang dioles selai nenas dan segelas s**u kedelai.
Sambil mengunyah roti matanya mengamati sekeliling apartemennya yang baru bisa dilunasinya sebulan yang lalu. Dinding bercat putih dengan dua kamar tidur, ruang makan dan ruang duduk berada di samping dapur kecil yang ada di belakang konter. Apartemen ini memliki dua jendela yang berada di lengkungan atap dan sebuah lagi terletak dikamar utama, yang menyajikan pemandangan kota. Pemandangan kota sangat indah jika di saksikan pada malam hari. Dia bersyukur, sebelum di berhentikan dia sudah melunasi apartemen ini.
Kehilangan pekerjaan hanya karena masalah sepele terlalu menyakitkan baginya, Melani sendiri tidak menyangka berurusan dengan keluarga pasien bisa berbuntut pemecatan dirinya. Dia bahkan tak tahu siapa tuan Farhan itu, apa profesinya dimana tinggalnya. Yang dia tahu hanya bagaimana pasien yang terbujur kaku di bawah tanggung jawabnya itu harus sembuh. Setelah menghabiskan sarapannya, Melani kembali membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Tak ada yang bisa dia lakukan hari ini, terlalu enggan rasanya melanjutkan pekerjaannya meracik obat hasil olahannya sendiri.
Seseorang menekan bel apartemennya, dengan perasaan enggan Melani membuka pintu.
"Kinanti, kapan datang ?!" seru Melani tatkala melihat teman kuliahnya semasa S1 sedang berdiri didepan pintu apartemennya.
Melani menarik tangan Kinanti, dan mengajaknya masuk lalu menutup pintu. Kedua sahabat itu duduk di kursi ruang makan.
"Ayo sarapan dulu, kemana saja, sudah lama aku tak mendengar kabarmu," Melani mengoleskan roti selai untuk Kinanti dan satu lagi untuk dirinya sendiri. Rasanya tak etis jika membiarkan tamu makan sendiri.
"Bagaimana pekerjaanmu?" Disela-sela mengunyah roti, Kinanti bertanya.
"PHK, kamu sendiri gimana, sudah nikah belum? Kesini dalam rangka apa?" Melani mencerca Kinanti dengan beberapa pertanyaan.
"Jangan tanya soal nikah, kau sendiri belum nikah. Gimana kalau kita berdua janjian nikahnya?"
"Hahaha..pacar aja gak punya gimana mau nikah."
Kinanti tau jika Melani itu sangat jujur, walau cantik tapi dia percaya jika sahabatnya ini tak punya pacar. Empat tahun bersama dibangku kuliah tak pernah sekalipun dia melihat Melani berdua dengan seorang pria, bahkan orang-orang mengira dia dan Melani terjalin cinta sesama jenis.
"Iya..iya, urusan jodoh itu serahin sama yang di atas, tapi ntar dulu, katamu kau di PHK, jadi sekarang kau nganggur ?"
Lalu meluncurlah cerita Melani soal pemutusan hubungan kerja yang diterimanya, bermula dari seorang pasien yang mengidap penyakit kanker p******a stadium IV, anaknya minta dia melakukan Euthanasia, lalu suaminya memintanya pulang paksa. Dan berujung pada pemutusan kontrak, sungguh tidak adil semua ini untuk dirinya, tapi apa boleh buat, dia hanyalah pekerja yang mengais rezeki untuk memenuhi kebutuhannya. Walaupun begitu dia berharap semua pasien yang ditanganinya sembuh total.
Kinanti tau jika Melani hidup sebatang kara, makanya dia prihatin dan mengajak Melani ke kotanya.
"Di Rumah Sakit tempatku bekerja sepertinya membutuhkan dokter onkologi. Kamu bisa mengajukan surat lamaran melalui email, jangan lupa lampirkan daftar riwayat hidup dan pengalaman kerja, dokumen aslinya biar aku saja yang bawa. Besok aku akan kembali ke kota M."
"Aduh terima kasih, Tuhan itu ternyata tidak membiarkan hambanya menderita, kau dikirimkan Tuhan untuk menolongku, " Melani memeluk Kinanti dengan erat.
"Eit..peluknya jangan lama-lama, ntar dugaan orang tentang kita bisa jadi benar hahahaha."
"Ah kau ada-ada saja, masa jeruk makan jeruk."
Setelah ber basa basi cukup lama, Kinanti pamit pulang dengan tak lupa meninggalkan alamat email pada Melani.
Melani tak membuang-buang waktunya, dia segera membuat surat lamaran dan mempersiapkan beberapa dokumen yang menurut Kinanti sebelum ke bandara, dia akan mampir untuk mengambilnya.
Jika dulu Melani membuat surat lamaran sekedar formalitas bekerja di Rumah Sakit, namun kini dia harus benar-benar menulisnya dengan sepenuh hati dan teriring doa kiranya lamarannya diterima.
Tak masalah dia harus pindah kota, toh sekali-sekali dia akan tetap kembali ke apartemennya. Jika dia diterima bekerja di kota M maka dia hanya akan menyewa apartemen saja, tak pernah terlintas dibenaknya untuk tinggal selama-lamanya di sana.
Menyandang gelar dokter spesialis termuda namun tak bekerja sama saja bohong, lalu untuk apa ilmu yang dia dapatkan jika dia hanya menjadi pengangguran. Setidaknya perjuangan kedua orang tuanya yang hanya buruh tani membuahkan hasil. Banyak orang diluar sana yang punya nasib yang sama dengannya, bahkan mungkin banyak wanita hanya menyandang gelar sarjana tanpa bekerja dan ujung-ujungnya menjadi ibu rumah tangga.
Melani tak mengesampingkan jika dia juga punya keinginan suatu saat menikah dan punya anak, tapi bukan berarti dia tak bisa memberikan manfaat untuk orang lain dengan ilmunya. Dia ingin mengembangkan obat racikannya sendiri yang dia rencanakan obat itu akan diberikan cuma-cuma kepada pasien kanker kategori miskin.