Tindakan Melani
Entah untuk yang ke berapa kalinya Melani harus meladeni pria tampan yang bersimbah air mata ini berlutut di hadapannya.
"Bangunlah, jika kau tetap seperti ini, aku akan mengusir mu, " ancam Melani yang langsung membuat laki-laki itu menegakkan punggungnya dan berdiri lalu duduk di kursi yang disodorkan Melani.
Melani menyodorkan air mineral ke hadapan pemuda yang bernama Arkana, lalu mengamatinya dengan seksama.
Arkana meraih air minuman di botol mini itu lalu menenggaknya sampai habis. Dia menatap dokter yang terlihat manis ini dengan sayu, harapan satu-satunya hanya dokter Melani, dia tak sanggup melihat penderitaan ibunya yang hanya dibantu dengan beberapa selang kehidupan. Jika selang-selang itu dicabut maka akan berakhirlah hidup ibunya, namun dia tak ingin menyaksikan ibunya pergi dengan rasa sakit. Dia ingin ibunya pergi dengan damai tanpa merasakan sakit apapun. Hal inilah yang membuatnya bersimpuh untuk ketiga kalinya, meminta dokter Melani melakukan tindakan Euthanasia.
"Harapanku satu-satunya hanya padamu dokter, tolong katakan berapa aku harus membayar mu untuk melakukannya, " pinta Arkana dengan pilu.
"Dengar tuan Arkana, tugas seorang dokter adalah menyelamatkan nyawa pasien dan bukan membunuhnya, " Melani yang sedang berdiri di dekat jendela menatap keluar, di sana dia menyaksikan beberapa pasien yang sedang berjemur didampingi keluarganya.
"Bukankah seorang dokter tak bisa membiarkan pasien mengerang kesakitan menahan penderitaan dalam waktu yang lama, " Arkana tak mau kalah.
Melani menatapnya dengan sinis, "Teori darimana yang kau dapatkan sehingga mengatakan hal itu. Kita berada pada negara hukum, belum ada regulasi yang membenarkan praktek Euthanasia di negara ini. Tindakan ini hanya berlaku di beberapa negara tapi bukan di negara kita, jangan pernah mendahului takdir. Kita tidak tau rencana Tuhan, siapa tau ibumu masih berumur panjang."
Arkana menatap Melani tak berkedip, "Jika begitu apa yang bisa kau lakukan untuk menyembuhkan ibuku ?"
"Bukankah sekarang ibumu sedang menjalani terapi? Kenapa kau sangat tidak sabar, atau jangan-jangan kau memang berniat ingin membunuhnya."
Arkana terkejut dengan pernyataan dokter onkologi ini, raut wajahnya berubah, rahangnya mengeras, tatapannya tajam seakan hendak menguliti tubuh dokter yang berparas ayu, bibir tipis dan mata yang terus bersinar cerah, kulit putih mulus ini. Dia menghela nafasnya dengan kasar.
"Jangan pernah berpikiran buruk tentangku dokter, kau tak tau siapa aku. Dan satu hal lagi, jika aku ingin membunuh ibuku, aku tak perlu meminta bantuanmu," Arkana segera berdiri meninggalkan ruangan itu.
Melani terpaku di tempatnya, jika dilihat sekilas laki-laki itu berpenampilan menarik, matanya penuh dengan keteguhan namun nampak angkuh. Untuk type seperti dia rasanya tak mungkin ingin menghabisi nyawa ibunya.
Melani melirik jam tangan, sudah saatnya melakukan kunjungan terhadap pasien. Setelah meraih peralatan medisnya dia menyusuri koridor, dia sengaja melewati ruangan Ibu Setiawati yang anaknya baru saja meninggalkan ruangannya. Dia ingin menemui pasien itu secara khusus, makanya dia mempercepat kunjungannya ke beberapa pasien lain.
Setelah memastikan semua pasien tak ada yang terlewati, kini Melani memasuki ruangan dimana Ibu Setiawati di rawat. Melani meminta catatan medis dari perawat yang mengikutinya dan menyuruh perawat itu pergi meninggalkannya.
Melani menatap kamera CCTV yang berada di sudut ruangan, lalu menghampiri pasien yang terbujur kaku itu. Nafas yang teratur dengan denyut nadi normal, Melani yakin ibu ini akan berumur panjang.
"Ibu, berjuanglah untuk hidup. Aku yakin kau tak ingin pergi dari dunia ini, bantu aku untuk membuktikan pada dunia, bahwa pasien yang divonis tidak akan bertahan hidup lebih lama, masih bisa berumur panjang. Tak tahu kenapa aku memiliki keyakinan yang sangat besar untuk itu, dulu ibuku pernah menderita penyakit yang sama sepertimu, aku berusaha meracik obat dari beberapa tumbuhan untuk menolongnya, tapi sayang ketika obat itu berhasil ku buat, ibuku telah pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya."
Melani menggenggam tangan dingin pasien itu, air matanya jatuh menetes di pipi. Dia tak tahu jika seseorang memperhatikan semua tindakannya. Arkana berdiri tepat di belakangnya dengan tangan menyilang di d**a.
"Ibu, ini bukan obat dari rumah sakit, aku takut memberikannya padamu, tapi melihat raut putus asa yang terpampang di wajah anakmu membuatku ingin menolong mu dengan caraku. Tapi aku takut gagal, tolong berjuanglah bu."
Setelah berkata demikian, Melani merogoh sakunya, dikeluarkannya bubuk obat racikannya, di bukanya perlahan kain yang menutupi p******a pasien, dilihatnya luka itu sangat basah. Dibukanya penutup obat yang dibawanya, lalu di ditaburkannya obat itu secara merata ke seluruh permukaan p******a sampai tak terlihat lagi lukanya.
Ditutupnya kembali obat di tube kecil itu lalu dimasukannya kedalam sakunya. Melani memperbaiki pakaian pasien, lalu berbalik hendak meninggalkan ruangan itu.
Langkahnya terhenti tatkala sosok tampan mencegah langkahnya.
"Jangan pergi dulu dokter, serahkan bubuk obat itu padaku, aku yang akan melakukannya, setidaknya jika obatmu gagal kau tidak akan disalahkan untuk itu, " Arkana mengulurkan tangannya.
Melani menatap Arkana dengan ragu, dia sedang menimbang-nimbang, jika obat ini disalah gunakan maka karirnya bisa saja berhenti sampai disini. Untuk memperoleh gelar dokter onkologi tidaklah mudah baginya, ayahnya hanyalah seorang buruh tani dan ibunya hanyalah penjual nasi kuning, sebagai anak satu satunya, hidup tak berkecukupan, terkadang makan sehari sekali. Diusia empat belas tahun dia lulus SMA karena dia sempat dua kali loncat kelas karena tergolong cerdas. Dengan tekad yang kuat dan demi ibunya dia mampu berdiri sebagai dokter sampai saat ini. Untuk sampai pada profesi ini dilaluinya selama dua belas tahun.
Terbayang kembali bagaimana ibunya menderita penyakit kanker p******a, bermula dari benjolan kecil di p******a sebelah kiri, saat itu dia yang baru saja lulus SMA menyarankan pada ibunya untuk menjalani operasi tapi ibunya menolak, uang hasil penjualan nasi kuning disimpan ibunya untuk biaya kuliahnya.
Tentulah untuk masuk kuliah kedokteran memerlukan biaya yang tak sedikit, dengan tekad yang kuat Melani masuk melalui jalur beasiswa mahasiswa miskin, diapun berhasil mendapatkannya.
Ibunya menyembunyikan penyakitnya selama bertahun-tahun, sampai ketika Melani melanjutkan kuliah spesialis onkologi dengan biaya pemerintah, ibunya pingsan dan dilarikan ke rumah sakit. Saat itu penyakit ibunya sudah masuk stadium dua.
Melani terkejut tatkala mendengar hal itu, Melani terus membujuk ibunya untuk melakukan operasi pengangkatan p******a tapi ibunya menolak.
"Ibu tidak apa-apa nak, ibu sudah meminum ramuan tradisional yang di berikan bibimu. Percayalah ibu baik-baik saja."
Saat itu Melani memeriksa p******a ibunya, terdapat luka kecil tapi sudah mengering. Lalu benjolan yang dulu di sebelah kiri tak ada lagi. Melani meminta ibunya menjalani pemeriksaan MRI untuk mengetahui sejauh mana penyakit yang di derita ibunya, namun lagi-lagi ibunya menolak.
Sampai ketika dia dinyatakan sebagai dokter spesialis onkologi termuda, kanker p******a ibunya sudah memasuki stadium IV dan akhirnya ibunya menghembuskan nafas terakhir di pangkuannya.
Penyesalan terdalam sebagai dokter onkologi namun tak berhasil menyembuhkan ibunya. Akhirnya dia pasrah, dokter juga manusia, Allah jualah yang menyembuhkan segala penyakit dan Allah jualah yang berhak mengambil hidup manusia.
Sejak saat itu selain mendalami ilmu kedokteran diapun mendalami ilmu agama, jika kedua ilmu ini seiring sejalan maka semuanya akan baik-baik saja. Tidak ada penyakit yang tak ada obatnya kecuali kematian.
"Apa yang kau pikirkan dokter, berikan padaku bubuk obat itu."
Melani tersentak dari lamunannya, ditatapnya pria tampan ini dari ujung rambut sampai kaki, tinggi atletis dengan tonjolan besar di depan resleting celananya. Saat melihat tonjolan itu wajahnya memerah dan matanya membulat. Gila, terbungkus saja segitu besarnya apalagi jika.....
Pikirannya mulai ngelantur, dia hanyalah manusia biasa, apalagi saat ini dia tak punya kekasih. Teman-temannya menganggapnya tidak normal. Tapi mereka salah, dia wanita yang sangat normal, terbukti melihat tonjolan besar milik Arkana membuatnya harus menelan ludah.
"Dokter, apa yang kau lihat? Bukankah aku minta obat itu?" Arkana menyadari tatapan dokter muda ini, dia lalu tersenyum sinis dan membetulkan celananya sambil mengusap-usap pelan tonjolan itu membuat Melani merona.
Melani tersipu malu, tanpa banyak bicara dia menyodorkan obat itu ke tangan Arkana dan segera berlalu dengan wajah memerah menahan malu.