Bab 7. Hadiah Permintaan Maaf

1768 Kata
"Ayo kita pulang!" Ajak Nadin dengan sangat cepat, mengambil tasnya di pangkuan Gina. Ia terlihat terburu-buru, berjalan dengan cepat keluar dari bangunan rumah sakit, meninggalkan adiknya yang kebingungan dengan tingkah lakunya. Dengan kebingungan yang masih melingkupinya, Gina mengikuti sang kakak dari belakang. Ia mencoba untuk menghempaskan pikiran negatif yang tiba-tiba masuk ke dalam pikirannya secara gak sengaja. "Apa yang mereka lakukan? Sudah lama, pas balik kak Nadin juga terlihat gugup seperti itu. Aish! Kenapa aku tak ikut saja dengan mereka!" Kesal Gina, membatin dalam hati. Ia menatap kakaknya curiga dari belakang, sampai ke halte depan rumah sakit. Sedangkan berbeda dengan satu pria yang tadi sempat balik lagi ke ruangannya untuk membuka jas suci miliknya. Tidak menunggu lama, berlari menyusul Nadin yang lebih dulu turun ke bawah. Suara kakinya yang berlari, bersahutan dengan lantai, terdengar sangat jelas memenuhi ruang lobi. Ketika ia melihat Gina yang hampir keluar dari rumah sakit, langsung memanggilnya dengan sangat cepat dan dengan suara yang besar. Ia membuat keributan dengan suara dan degupan jantungnya berdetak cepat. Sedikit penyesalan dalam diri ketika ia membuat Nadin merasa tak nyaman dengan perlakuannya di dalam lift sebelumnya. Namun sayang, penyesalannya belum mampu untuk mengubah perasaaan Nadin. Ia harus ekstra lagi. "Gina!" Gina sontak berbalik. Ia menyunggingkan senyumnya, menunggu Reno yang sedang berlari menghampirinya. Dari kejauhan, ia memperhatikan Reno yang berlari. Rasanya, tiap tapakan kaki membuat Gina meleleh. Terlebih rambut Reno yang jika ikutan menari indah seiring dengan berlarinya pria itu. "Kak Reno harus jadi milikku." Batin Gina. Reno berhenti tepat di depan Gina. Ia terengah-engah, berlari untuk jarak yang cukup jauh. Bayangkan, dari dalam ruang kerja Reno yang berada di lantai 3, ditambah lagi dia harus turun tangga dengan manual. Ia sudah menunggu lift, namun tenyata terbuka lama membuatnya mengambil keputusan untuk lewat tangga darurat saja. Kini, akibatnya, kakinya terasa berat dan lemas. Gina buru-buru mengambil tisu dari dalam tasnya. Memberikan kepada Reno yang langsung diambil oleh pria itu. Sempat mengucapkan terima kasih, namun matanya bergerak liar mencari keberadaan Nadin. "Itu dia!" Gumam Reno keceplosan, membuat Gina juga melakukan hal yang sama. Ia berbalik, melihat ke arah yang sama dengan yang dilihat oleh pria yang dikaguminya ini. Ketika melihat orang yang dimaksudnya itu adalah kakaknya, membuatnya sedikit kecewa, lagi. Pertama, ia merasa kecewa karena hanya kakaknya saja yang mendapatkan kontak Reno, sedangkan dia harus berusaha untuk membujuk kakaknya agar bisa mendapatkan kontaknya. Kedua, Reno mengajak kakaknya entah kemana sedangkan dia menunggu seperti anak yang tak punya orang tua, meski pada kenyataannya itu memang terjadi. Dan yang ketiga, saat ini, pria yang disukainya ini rela berlari sampai terengah-engah hanya untuk memastikan keberadaan kakaknya. Kecewa? Sudah pasti. Sakit? Jangan ditanya. Dia juga manusia yang punya perasaan. "O iya, kakak tadi manggil Gina buat apa?" Tanya Gina. Ia mengambil tisu yang tadi Reno gunakan untuk mengelap keringatnya, memasukannya ke dalam tasnya, bukan ke dalam bak sampah. Reno tidak merespon. Tatapannya masih mengarah ke arah Nadin yang sedang duduk di halte, menunggu. "Ayo aku antar pulang. Panggil kakakmu untuk masuk ke mobilku." Ujar Reno, sangat berlainan dengan apa yang ditanyakan oleh Gina. Lama merespon, Gina menahan rasa kecewanya, lagi. "Iya." Ujar Gina dengan suara yang lemah. Reno lebih dulu berjalan keluar. Sempat ada yang memanggilnya untuk membantunya menganalisis diagnosa pasien, namun ia menolak telak. Mengatakan dengan sangat jujur kalau dia akan mengantar Nadin beserta adiknya. "Aku sibuk, mau mengantar mereka dulu." Jawab Reno singkat, padat, dan sangat jelas sampai harus memberikan bekas kekecewaan pada dokter itu. *** "Ayo masuk!" Ajak Reno, beberapa kali ditolak oleh Nadin. Perempuan itu lebih memilih untuk naik angkutan umum, dibandingkan naik ke mobil mewah Reno. "Kalau kamu mau naik mobil, kamu aja, dek. Kakak mau pakai angkutan umum aja." Ucap Nadin, bicara pada adiknya. Ia tak menggubris ucapan Reno, sama sekali. Gina cemberut. Berlagak sedih. Ia menarik-narik tangan kakaknya agar mau pulang dengan mobil Reno. "Sekali ini aja, kak. Besok-besok kita pakai angkutan umum, deh. Gina janji!" Janji Gina. Nadin tetap menolak. Menggelengkan kepalanya. Hal ini membuat Reno sampai rela keluar dari mobil, mendekat ke halte dan berhenti di depan Nadin. "Naiklah. Biar lebih hemat dan lebih aman aja." Ajak Reno, lagi. Nadin mendongak. Ia menatap Reno, hanya sebentar. Bahkan tak sampai lima detik, kemudian menundukkan kepalanya. Ia menghela nafas, mengangguk. "Kedepannya, semoga kita tidak bertemu." Ucap Nadin. Ia lebih dulu beranjak ke mobil dibandingkan keduanya yang sudah melakukan tos selebrasi. Nadin duduk di kursi penumpang. Lagi-lagi Reno kecewa. Ia pikir Nadin akan duduk di kursi depan, mendampinginya. Terlebih, ia lebih tua dibandingkan dengan Gina, sehingga punya hak untuk melakukan hal itu. Namun pada kenyatannya, Gina lah yang duduk disampingnya. "Apes banget." Gumam Reno sangat pelan, kemudian mengemudikan mobilnya. Membelah kemacetan jalanan Jakarta yang tak ada habisnya, terlebih di hari-hari kerja. Sangat sepi. Tak ada yang bersuara, pun tak ada yang mau memulainya. Semuanya sibuk dengan tugas masing-masing. Reno dengan kemudinya, Gina dengan ponselnya, sedangkan Nadin dengan absen dari siswanya yang harus dia rekap sebelum dilaporkan di rapat selanjutnya. Memecah keheningan, Reno mulai bertanya-tanya pada dua perempuan yang ada di ruangan yang sama dengannya. Ia bertanya pada Nadin, namun perempuan itu hanya mengangguk saja menanggapinya. "Nadin, kamu sudah dapat resep obat dari dokter?" Tanya Reno. Hanya dijawab dengan anggukan saja. "Gila!. Gak enak banget dicuekin gini." Batin Reno. Ingat kali pertemuan pertama mereka yang tak sengaja. Reno yang begitu ketus, sangat dingin, kini seakan dia yang lebih dulu nyosor, ingin mengenal Nadin lebih jauh. Berbeda dengan Nadin, yang sejak awal segan lada Reno, meski dalam hati ia memiliki sedikit ketertarikan dengan pria itu. "Kak Reno!" Celetuk Gina. "Iya?" Jawab Reno. "Kakak bisa temenin Gina ke toko buku gak, kak?. Gina mau cari referensi untuk praktikum selanjutnya." Ujar Gina. "Hush!. Jangan Gina. Dia sedang sibuk. Syukur-syukur dia punya waktu untuk mengantar kita." Kata Nadin, tidak setuju dengan permintaan Gina pada Reno. Mata Nadin sempat berpapasan dengan Reno lewat kaca spion di atas kepalanya. Hanya sebentar, tidak berlangsung lama. "Boleh. Aku juga mau beli sesuatu untuk seseorang." Kata Reno menyetujui permintaan Gina, membuat gadis itu bersorak kemenangan. Senyumnya merekah, memperlihatkan hal itu pada kakaknya. "T-tapi.." "Tidak masalah, Nadin. Aku juga gak sibuk-sibuk amat, kok." Kata Reno. Menyerah, pasrah. Nadin mengikuti mereka saja. Ia kembali fokus pada absennya, namun sesekali matanya resah, gelisah, melihat ke kaca spion untuk melihat wajah Reno. "Ingat, Nadin." Ujarnya dalam hati. *** Sampai di depan mall, Nadin dan Gina menunggu Reno untuk memarkirkan mobilnya. Sambil menunggu, Nadin menjawab beberapa pertanyaan dari anak muridnya. Ia memang selalu melakukan itu untuk mendekatkan diri dengan mereka. Ia membiarkan anak muridnya bertanya padanya baik tentang tugas ataupun lainnya, yang penting masih dalam batas wajah dan dalam konteks mengajar. Baginya, semakin dekat seorang guru dengan muridnya, maka materi yang disampaikan akan lebih mudah diserap. "Kak, kak Reno keren ya?" Tanya Gina tiba-tiba. Nadin memandang adiknya yang sedang asyik memperhatikan Reno berjalan menghampiri mereka. "Kenapa memangnya, dek?. Kamu suka?" Tanya Nadin. Sebenarnya, ia sedikit menyesali pertanyaannya yang terakhir. Dengan cepat, Gina mengangguk. "Iya, kak. Tapi, kayaknya susah deh. Pasti kak Reno juga sudah punya pacar. Lihatlah, dari cara jalannya aja sudah sangat keren. Sudah pasti banyak yang menyukainya." Gumam Gina. Tanpa sadar, Nadin mengangguk, menyetujui perkataan sang adik. "Benar juga. Dia keren, tidak mungkin tidak punya pacar, kan?. Ah, sepertinya aku yang terlalu percaya diri, menganggap kalau Reno sedang menyukaiku." Pikir Nadin. "Astaga, stop, Nadin!. Tidak seharusnya kamu memikirkan pria untuk saat ini. Kamu seharusnya memikirkan kesehatanmu dan kuliah Gina. Udah, itu aja!" Ucap Nadin mengingatkan dirinya, namun melihat senyum Reno dari jauh membuatnya berpikir lagi. "Ingat, Nadin. Adikmu menyukainya. Kamu masih bisa mencari yang lain. Pria di dunia ini masih banyak. Dahulukan adikmu dulu, baru kamu. Hempaskan perasaanmu!" Peringatnya sekali lagi dalam hati. Gina dan Reno berjalan lebih dulu, kemudian disusul oleh Nadin. Ia sengaja memperlambat jalannya, memberikan kesempatan untuk mereka berduaan. Setelah sampai di depan store buku, mereka berpencar. Hanya saja, baik Reno ataupun Gina masih ke arah yang sama. Menuju buku-buku yang berkaitan dengan bidang kesehatan. Sedangkan ia? Beralih ke buku-buku khusus anak-anak. Itu karena ia teringat dengan Zavon dan akan memberikan anak itu sebuah hadiah berupa buku. Setelah melihat-lihat, ada beberapa buku yang ia masih bingung. Dia harus mengambil salah satu dari ketiga buku di depannya. Itu karena ia tak punya uang cukup untuk membeli lebih dari satu buku. Belum lagi dengan buku adiknya nanti, yang terkadang hampir menghabiskan gajinya. "Kalau aku pilih yang biru, nanti halaman yang menggambar tidak ada. Tapi, kalau aku pilih yang abu, yang berhitung gak ada. Aku harus pilih yang mana?" Tanya Nadin pada dirinya. Ia kebingungan. Ia mencoba untuk memilih yang lain. Menelusuri satu per satu rak buku yang terpajang dan khusus untuk anak-anak. Ketika mentok di tembok, ia berbalik namun dikagetkan karena keberadaan Reno yang tiba-tiba muncul di depannya. "Kamu harus baca buku yang ini." Ujar Reno. Ia memberikan buku tebal itu pada Nadin yang masih kebingungan dengan segala tingkahnya. Setelah memberikannya, ia pergi dari hadapan Nadin. Nadin memperhatikan buku yang ada di tangannya. "The 5 Love Languages: The Secret to Love that Lasts oleh Gary Chapman," gumamnya. *** Nadin tidak jadi mengambil dua buku anak-anak yang sebelumnya. Ia juga tidak mengindahkan permintaan Reno terkait buku yang pria itu rekomendasikan padanya. Malah, ia mengambil buku khusus untuk memasak. "Dek, mana bukunya?. Kakak mau bayar." Ujar Nadin, memanggil Gina yang masih sibuk membolak-balikkan satu per satu lembar buku di di depannya. Seketika, Nadin membulatkan mata, tak bisa berkata-kata dengan apa yang dibawa adiknya. Tidak hanya dua atau tiga buku, melainkan lebih dari lima sampai tumpukan buku itu menyembunyikan wajah adiknya. "Dek, kenapa banyak sekali?. Kakak pikir kamu mau beli satu. Kalau kayak gini, uang kakak mana cukup, dek." Ujar Nadin. "Aku yang bayar." Ucap Reno datang tiba-tiba. Ia memberikan kartunya pada kasir. "Sekalian ini juga ya, mbak." Katanya lagi. Menyodorkan dua buku yang dibingungkan oleh Nadin sebelumnya, beserta buku yang sempat ia rekomendasikan pada Nadin. Nadin memperhatikan tiga buku itu, kemudian menatap Reno. Ia belum mampu untuk mengatakan apa-apa. "Terimakasih, kak Reno." Ujar Gina. "Kamu ada buku yang mau di beli lagi?" Tanya Reno pada Gina. Gina hendak kembali ke deretan buku yang sebelumnya ia datangi, namun Nadin langsung menginterupsi. "Cukup. Ini saja." Ujarnya. "Ini saja aku tak tahu bagaimana cara menggantinya." Ujar Nadin menggerutu, keluar dari toko buku itu. *** "Ini untukmu." Kata Reno. Memberikan tas yang berisi buku yang dikemas berbeda dari buku Gina. Nadin tak menerimanya. Ia melengos, berbalik ingin masuk ke dalam rumahnya. Namun ketika sampai di depan pintu, tangannya di tarik. "Setidaknya terima lah pemberianku, Nadin. Aku tulus memberikannya untukmu, sekaligus sebagai permintaan maaf karena telah membuatmu tak nyaman saat di lift tadi." Ujar Reno. Tanpa menunggu jawaban dari Nadin, ia kembali ke mobilnya. Meninggalkan rumah Nadin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN