Seminggu lebih berlalu, Reno terus saja merasa tidak tenang. Beberapa malam terakhir Gina menghubunginya berturut-turut. Entah menanyakan tentang ranah kesehatan ataupun yang lainnya, tapi tetap saja sampai saat ini Reno masih menunggu Nadin untuk menghubunginya. Setiap saat, dia selalu mengecek ponselnya, menantikan nama Nadin yang tertera di layar ponselnya.
Hal itu juga berdampak pada kesehariannya. Ia jadi tak bersemangat, tak fokus, dan bahkan beberapa kali salah menyebut nama. Seperti dua hari yang lalu, ia menjadi pengisi seminar umum di salah satu Universitas. Di tengah acara, dia memanggil salah satu mahasiswi untuk maju. Padahal nama perempuan itu Nadia, namun dia selalu menyebutnya dengan panggilan Nadin. Mempermalukan diri sendiri di hadapan umum.
"Kak Reno!"
Reno berbalik ketika namanya dipanggil. Ia melihat Gina yang melambaikan tangannya pada Reno. Sontak, dengan malas dia melepas keperluannya di bidang administrasi, dan menghampiri Gina.
"Sial. Kenapa dia datang kesini?" tanya Reno dalam hati.
Dari kejauhan Gina terus saja melambaikan tangannya pada Reno dengan sangat antusias, namun pria itu tak melakukan hal yang sama. Dia hanya tersenyum tipis, menghampirinya. "Ada urusan apa di sini?" Tanya Reno. Dia mengajak Gina duduk di bangku panjang dekatnya.
"Aku nemenin kak Nadin, kak. Katanya dia mau konsultasi obat." Jawabnya seakan tidak tahu menahu penyakit kakaknya yang sebenarnya. Atau memang, Nadin sendiri lah yang belum memberitahunya.
Reno kebingungan ketika Gina mengatakan kalau kakaknya sedang konsultasi obat, sedangkan dia bisa saja melakukan hal itu untuk kakaknya, tanpa perlu ke rumah sakit. Ia bahkan sampai tidak bisa mengatakan apapun.
"Terus sekarang kakakmu dimana?" Tanya Reno. Matanya sudah lincah mencari-cari keberadaan perempuan yang sudah membuatnya resah beberapa hari terakhir.
Gina tertawa. "Tentu saja dia masih di ruangan konsultasi. Memangnya kenapa, kak?"
Gelagapan, Reno bingung mau menjawab apa. Alhasil, ia hanya bisa menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Tidak ada. Oh iya, bagaimana dengan praktikum yang kamu bicarakan kemarin malam?" Tanya Reno, mencoba untuk mencairkan suasana. Ia mencoba untuk mengalihkan pembicaraan yang sebelumnya, meski sebenarnya ia juga menunggu Nadin untuk mendatangi mereka berdua.
Cukup lama, keduanya berbincang tentang topik ini maupun itu. Bahkan ada beberapa staff rumah sakit yang mengira keduanya dekat, sampai ada beberapa yang mengusiknya dengan dalih mereka sebagai pasangan kekasih. Pantas saja itu menjadi suatu kehebohan, karena Reno adalah salah satu dokter yang dingin dan tidak pernah mengumbar kemesraan. Sampai-sampai dia pernah di duga sebagai gay oleh sesama dokternya, saking tidak ada pasangan yang ia kenalkan.
Dulu, ketika kabar saat dia akan menikah dengan Cinta, itu menjadi berita yang sangat heboh di lingkungan rumah sakit. Bahkan tak sedikit yang merasa patah hati ketika mendengar kabar itu.
"Cieee... Bentar lagi dapat undangan nih!" Celetuk salah seorang teman Reno yang juga sesama dokter di rumah sakit ini.
Kesal mendapatkan hal yang sama terus dari tadi, Reno tak bisa sabar lagi. Dia melempar bolpoin yang tadi menempel di jasnya. Hanya saja benda itu melesat tak sempurna, membuat banyak yang yang menertawakan hal itu.
Mereka tidak menyadari kalau dari kejauhan ada seseorang yang menatap momen itu dengan raut wajah yang sedih, sekaligus kecewa.
***
"Gina, ayo kita pulang. Kakak perlu rekap nilai anak-anak." Ujar Nadin ketika ia mendekati Reno dan Gina yang masih berbincang seru.
Sempat, ia melambaikan tangannya pada Reno, memberikan senyuman manisnya, namun hanya sebentar saja karena setelahnya dia malah menatap ke arah lain.
"Bisakah aku bicara denganmu? Berdua saja?" Tanya Reno. Sontak, Nadin menoleh ke arah Reno yang ternyata juga menatapnya. Bahkan ia sampai menunjuk dirinya sendiri untuk memperjelas semuanya.
"Aku?" Tanya Nadin. Reno mengangguk.
Tidak enak dengan hal ini, Nadin melihat adiknya yang menunduk. Ia juga tak enak untuk menolak permintaan pria itu, hingga akhirnya tak punya pilihan lain selain mengangguk, mengizinkan.
"Ayo ikuti aku." Ajak Reno.
"Dek, tunggu kakak disini dulu ya. Sebentar saja." Kata Nadin. Ia menitipkan tasnya pada Gina, tidak membawa apapun saat mengikuti Reno.
Ia mengikuti Reno dari belakang. Beberapa staff menyapa Reno dan ia hanya bisa tersenyum saja sepanjang perjalanan menuju tempat yang entah dimana.
"Dia mau membawaku kemana? Kenapa aku sedikit takut, ya?" Kata Nadin dalam hatinya.
Ia sedikit grogi, apalagi ketika ia menunggu lift tersedia dengan Reno. Berdiri berdampingan saja membuat Nadin sedikit gemetar, apalagi satu lift berdua nantinya.
Nadin menunduk, menatap kakinya dan pakaiannya saat masih ngajar. Ia tak sempat mengganti baju sebelumnya. Tak sengaja ia juga menatap kaki Reno yang sesekali menghentak, membuatnya kembali di rudung ketakutan.
"Kapan kamu pulang dari luar kota?" Tanya Reno tiba-tiba, membuat Nadin sedikit terkejut. Ia menatap Reno yang juga sedang menatapnya. Kedua pasang mata itu mencoba menyelami satu sama lain, sedangkan suara pun tak mampu menandinginya.
Ting....
Kesadaran naik ke permukaan. Keduanya masuk ke dalam lift. Nadin sengaja mengambil cukup banyak jarak dari Reno. Ia juga membelakangi Reno, akan tetapi ia bisa melihat pantulan bayangan pria itu dari dinding lift di depannya. Gaya Reno membuat Nadin sedikit memikirkan hal yang tidak-tidak. Melipat kedua lengan, dengan sorot mata yang menggelap. Bahkan sesekali Reno memainkan bibirnya.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku." Ujar Reno mengingatkan.
Apakah seminggu tak bertemu setelah pertemuan pertama itu membuat Reno perlahan meleleh? Atau ini hanya terjadi pada perempuan yang bernama Nadin?. Padahal, saat pertemuan pertama mereka, ia menjadi pihak yang lebih dingin mengalahkan dingin kutub Utara, kini ia memaksa Nadin untuk menjawabnya. Ia tak menyadari kalau sekarang perempuan itu sedang gemetar, di sekitar tekanan aura dari seorang dokter tampan nan dingin, Reno.
"Hmm..." Nadin berdehem, belum menjawab pertanyaan Reno.
Ting...
"Syukur lah. Semoga saja tidak lama. Aku sedikit gugup di dekatnya." Batin Nadin.
Ketika lift hendak terbuka, ia sudah bersiap-siap untuk keluar lebih dulu meski tidak tahu ke ruangan mana dia akan berhenti nantinya. Baru saja melangkahkan kaki, tangannya ditarik. Ia tak siap dengan hal itu, membuatnya berakhir di pojokan dengan Reno yang sigap di depannya. Menutupi dirinya dengan tubuh Reno yang atletis.
Pintu lift kembali tertutup, harapan untuk bebas dari Reno sia-sia saja. Pada kenyatannya, dia berada di bawah kendali pria itu. Ia takut untuk mendongak, menatap Reno, tapi ia setengah mati gugup karena hal ini.
"Ada apa dengannya?" Tanya Nadin dalam hatinya, lagi.
Saking gugupnya, tangan Nadin sampai bergetar, bahkan segan untuk sekedar bernafas. Aura Reno terlalu mendominasinya. "Kenapa tanganmu bergetar?" Tanya Reno.
Sontak, ia menyembunyikan tangannya di belakang punggungnya dan menggeleng. Reno berdecih, ia menaikkan dagu Nadin hingga perempuan itu menatapnya.
Semakin dekat, Reno semakin mendekatkan wajahnya dengan Nadin. Deru nafas mereka seakan beradu, semakin mengikis jarak yang ada. "Kamu tidak perlu takut di dekatku. Aku tidak akan memakan mu." Ujar Reno.
Nadin mengangguk.
"Kecuali kamu menginginkannya." Ujarnya lagi.
Ting....
Pintu lift terbuka, Nadin punya tenaga untuk mendorong tubuh Reno menjauh darinya. Ia tak orang berspekulasi buruk tentang mereka, membuat image keduanya buruk dimata orang lain.
"Tolong pakai lift yang lain!" Kata Reno, menyuruh dua orang yang hendak masuk lift yang akan mereka pakai. Kedua orang itu menuruti ucapan Reno, beralih ke lift yang lain. Reno kembali menekan tombol 3, menandakan bahwa mereka akan ke lantai 3 bangunan ini.
"Semoga mereka tidak melihatku dan Reno yang dekat seperti tadi," harap Nadin dalam hatinya.
"Jangan seperti itu lagi. Kita tidak punya hubungan dekat sebelumnya. Tolong bersikaplah seperti biasa." Ucap Nadin. Ia terus saja menunduk sampai pintu lift kembali terbuka.
***
"Masuklah. Ini adalah ruangan ku."
Reno membukakan pintu untuk Nadin, namun tak digubris sama sekali oleh perempuan itu. "Kenapa?" Tanya Reno kebingungan.
"Katakan di sini saja. Aku harus pulang secepatnya. Kasihan Gina menunggu lama nanti." Alibi Nadin.
Mendengar hal itu, Reno menatap Nadin. Ia menghela nafas kasar. "Astaga, sepertinya aku sudah keterlaluan. Dia sekarang takut denganku. Apa yang sebenarnya terjadi denganku?. Reno, kendalikan dirimu!" Kata Reno menyesal dalam hatinya.
"Kalah gitu ayo aku antar pulang."
"Tap--. Tapi kan kamu mau bilang sesuatu."
"Nanti saja. Masih banyak waktu."