Bab 9. Dua Perempuan

1058 Kata
Dan benar saja, Reno datang menjemput Nadin bahkan sebelum jam delapan pagi. Sepertinya ia terlalu bersemangat, terlihat dengan jelas dari senyumannya yang tidak pernah luntur sedikitpun. "Kenapa pagi sekali menjemputku? Aku pikir kamu akan telat menjemputku." Tanya Nadin sesaat setelah ia membukakan pintu untuk Reno. Mempersilakan pria itu masuk dan menunggu di ruang tamu. Reno hanya nyengir saja. Ia menyapa Gina yang melihatnya sepintas, namun perempuan itu langsung melengos masuk ke dalam kamarnya, tidak membalas sapaan dari Reno. Ia seperti sedang kesal akan sesuatu. Tapi, itu bukanlah suatu hal yang harus Reno perdebatkan. Ia menganggap hal itu tidak memiliki arti sedikitpun. Malah, ia semakin penasaran dengan maksud Nadin yang mempertanyakan perihal kedatangannya yang terlalu pagi. "Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?. Bukannya kemarin aku sudah berjanji akan menjemput jam delapan pagi?" Tanya Reno. "Iya, tahu. Kamu memang berjanji akan menjemputku jam delapan pagi. Tapi, yang aku tahu biasanya seorang dokter akan sibuk di pagi hari. Entah itu sibuk karena olahraga, atau mungkin berpacaran?. Siapa tahu?" "Berpacaran? Kamu yakin?" Tanya Reno, menaikkan alisnya sebelah. Nadin mengangkat bahunya tak peduli. "Siapa tahu? Kalaupun ada, tidak ada hubungannya denganku." Ujarnya dan tertawa tipis. Tawa tipis yang sebenarnya sudah mampu membuat Reno ikut tertawa. "Tidak ada. Aku tidak punya pacar." Bantah Reno. "Aku sedang mencari istri, bukan pacar." Lanjutnya, seketika membuat Nadin berhenti tertawa. Suasana canggung seketika menghampiri mereka berdua. Tatapan pun mau tak mau bertemu dan sedikit susah untuk melepasnya. Reno yang terus tersenyum sepertinya tidak menyadari kalau sekarang Nadin sedang gugup. Tangannya keringat dingin berjelimat di bawah. "Jangan tatap aku seperti itu, Reno. Pagi-pagi kamu sudah membuat jantungku berdegup tidak karuan. Kamu mengatakan ingin mencari istri, tapi kenapa aku yang malah deg-degan. Keanehan macam apa ini?" Pikir Nadin. "Maka carilah perempuan yang pantas mendampingi mu sampai akhir hayatmu nanti. Yang tahu dan mengerti kamu hingga di titik terendah yang kamu miliki. Jangan cari perempuan yang hanya kamu gunakan untuk dipamerkan dikhalayak umum selayaknya boneka." Ujar Nadin, entah dengan penuh kesadaran atau tidak. "Tentu." Balas Reno. Nadin langsung melengos gugup. Dia hendak meninggalkan Reno, tapi kembali menghampiri pria itu hanya untuk mengatakan, "apa kamu sudah sarapan?" tanyanya. Reno menggeleng. "Belum sempat. Mungkin nanti di rumah sakit, sekalian sama Cinta juga." "Tidak perlu. Sebagai seorang dokter, tentu kamu paham bagaimana bahayanya menunda sarapan. Kamu tunggu sebentar, kebetulan aku sudah menyiapkan sarapan untuk pagi ini. Kita bertiga bisa sarapan bareng dan setelahnya kita berangkat ke rumah sakit. Kamu setuju?" "Sangat setuju." Balas Reno. "Oke tunggu sebentar. Aku panggil Gina juga untuk keluar." Nadin pergi menuju dapur. Ia tidak mendengar kata terakhir yang Reno ucapkan padanya sebelum berbalik badan untuk menyiapkan sarapan. Ia tidak mendengar kalau Reno sempat mengatakan, "terimakasih sudah peduli." *** "Apa sarapannya sesuai sama selera kamu?. Aku perhatikan dari tadi, semenjak kita meninggalkan rumah, kamu terus menahan senyum. Apa rasa masakan ku sangat lucu atau ada sesuatu yang membuatmu ingin tertawa?" Tanya Nadin. Dia memang bertanya pada Reno, tapi matanya enggan menatap pria itu. Ia malah lebih asyik melihat suasana jalanan. Ia tidak menyadari kalau Reno masih tersenyum dibelakangnya, menatapnya. "Tidak. Sarapannya sangat enak. Perihal alasan kenapa aku tersenyum, itu karena aku tidak menyangka saja kalau kita bisa sarapan bersama pagi ini. Aku tidak menyangka." Jawab Reno. "Kenapa bisa gitu?" "Kamu kan ingat bagaimana perlakuan kurang mengenakkan yang aku lakukan padamu di lift itu. Kamu terlihat menjauhiku, padahal aku sangat paham kalau kamu bisa merasakan kalau aku berusaha mendekatimu. Kita main jujur saja, Nadin. Kamu pikir saja, kenapa aku bisa memberimu hadiah, memberimu kontakku sedangkan aku tidak memberinya pada Gina?. Itu semua karena aku suk--" "Aku tahu." Sela Nadin. Nadin menoleh sebentar dan tatapan mereka bertemu, namun ia kembali menyibukkan dirinya dengan keriuhan jalanan. "Aku tahu, tapi untuk saat ini cinta bukanlah prioritas utamaku sebelum aku melihat adikku sukses menjadi dokter." Batin Nadin teguh. "Kalau kamu tahu, itu bagus. Kamu jadi tidak kaget lagi kalau misalnya kedepannya aku akan berusaha untuk mendekatimu. Aku akan berusaha untuk merubah sikapku yang sebelumnya, menjaga jarak seperti yang kamu minta. Dan aku minta maaf atas kejadian itu, sampai sekarang aku mengutuk diriku sendiri karena sudah membuatmu ketakutan di dekatku. Maaf." "Tidak apa. Jangan bahas ini lagi. Dan aku rasa, aku lebih suka keheningan. Kamu mengerti kan maksudku?" Tanya Nadin yang sebenarnya memberikan kode pada Reno. Reno paham. "Iya, aku akan diam." *** Mereka sudah sampai rumah sakit. Saat melewati lobi, tanpa sengaja mereka bertemu dengan Cinta yang tampak terburu-buru sembari membawa sesuatu di tangannya. "Cinta!" Panggil Reno dan Nadin serempak. Cinta berhenti berlari. Menoleh ke arah Reno dan Nadin, kemudian melambaikan tangannya. Senyum manis namun menyembunyikan luka yang cukup berat itu senantiasa terukir dalam dirinya, menghampiri dua orang yang juga mendekatinya. "Baru sampai?" Tanyanya. "Iya." "Udah sarapan?" Tanya Cinta lagi. "Udah, Cinta. Apa yang kamu bawa ini?" Nadin tampak penasaran. Ia mengambil beberapa dari barang yang Cinta bawa, sebab perempuan itu tampak kewalahan membawa semuanya dalam satu kali bawa. Cinta menertawakan dirinya. " Inilah kesibukan ibu-ibu semacam akan ini, ibu guru Nadin. Pagi-pagi aku harus sudah siap siaga, mengurus dua bayi gede ku. Aku membawakan sarapan untuk Dante dan Zavon. Aku kesiangan karena kemarin malam Zavon nangis terus, ia demam. Tapi pagi ini udah demamnya sudah dan aku mengambil sarapan di kantin untuk mereka." Jelasnya. "Kenapa kamu gak telpon aku kalau Zavon demam, Cinta?. Aku kan bisa bantu kamu jaga. Perhatikan kesehatanmu." Ucap Reno, terdengar khawatir. Mungkin orang bisa salah paham terhadap perhatian yang Reno berikan pada Cinta, terlebih mereka pernah terlibat sebuah masa lalu yang semakin membuat orang salah paham kalau belum mengetahui yang sebenarnya terjadi. Namun, sekarang sudah ada perempuan yang sudah mampu mengalihkan dunia Reno, meski belum sepenuhnya. "Aku tahu kamu sibuk, karena itu aku gak mau ganggu kamu. Toh sekarang Zavon udah baikan, kan?. Gak usah diperpanjang lagi. Mending kita langsung naik ke kamar rawat Dante saja." Cinta tidak mau memperpanjang masalah. "Iya. Ayo!" Cinta dan Nadin berjalan berdampingan, sedangkan Reno seperti seorang bodyguard yang mengawasi dari belakang. Menatap dua perempuan yang sudah memiliki pengaruh dalam dirinya. Satunya yang menjadi pernah, sedangkan satunya lagi yang mungkin akan menjadi seseorang dibalik kisah seorang Reno. "Aku mau mengatakan sesuatu sama kamu setelah ini, ibu guru Nadin. Mau, kan?" Tanya Cinta. "Iya. Boleh." *** SPOILER BAB SELANJUTNYA... "Tahu gak? Reno suka sama kamu, ibu guru Nadin." "Tahu, tapi itu bukan prioritas aku untuk saat ini. Ada hal lain yang lebih aku utamakan." "Apa?" "Adikku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN