Leo yang melihat seorang pria paruh baya dengan aksen kampungan hanya menatapnya dengan dingin.
Meskipun pria itu menghampiri dengan kakinya sendiri, tapi Ben tetap turun tangan seperti biasa.
"Terimakasih menantu, sudah menyambutku." Ayah Alice datang segera memeluk Leo, tapi langsung dihadang oleh Ben.
"Ikut denganku!" titah Leo berjalan menuju ke arah gudang.
Dengan senang hati, dia mengikuti tanpa ada keraguan sama sekali.
"Kita akan ke kantormu."
Tidak ada jawaban dari mulut Leo. Ben yang angkat suara.
"Sebaiknya ikuti saja tuanku."
Ayah Alice berdecih karena Ben yang seorang bawahan ikut campur. Padahal statusnya sangat rendah timbang dirinya.
"Tutup mulutmu!" desis Ayah Alice didengar oleh Leo.
Pria itu pun menghentikan langkah kakinya saat sudah berada di Koridor sepi.
"Menantu, kenapa kita berhenti?"
Tiba-tiba, satu pukulan mendarat di pipi ayah Alice cukup kuat hingga tersungkur ke lantai.
"Kenapa kau melakukan ini padaku?" Dia masih belum mengerti statusnya. "Aku akan minta Alice untuk meninggalkanmu.
Leo bersemirik saat mendengar ucapan dari orang bodoh di depannya. Sekarang ia melakukan tendangan kuat dibagian perut.
"Ben, lakukan sekarang!"
Ben menjentikkan jari. Beberapa orang pun muncul membuat ayah Alice ketakutan.
"Kau akan menjadi menantuku. Kita bicara baik-baik!" pintar ayah Alice seraya memohon.
Semakin mendengar mulut pria itu mengoceh, Leo tidak tahan mendengarnya.
"Bawa dia ke gudang!" titah Ben.
"Tunggu dulu! Kita bicara dulu! Hey…, aku adalah mertuamu!" Ayah Alice terus berteriak tanpa henti.
"Kau urus dia Ben. Aku sedikit senang memukulnya. Jangan lupa, beritahu Alice kalau ayahnya sedang menggila."
"Baik, Tuan."
Leo berjalan menuju ke kamar mandi untuk mencuci tangannya. Dari mana ayah Alice tahu keberadaannya?
"Aku akan senang jika memukulnya lagi."
Untuk melampiaskan kekesalannya, terkadang Leo melakukan kekerasan kepada orang lain yang mengganggunya, seperti ayah Alice.
"Vania… , haruskan aku menemuinya lagi?"
Tidak cukup bersama Vania meskipun sudah semalaman. Ia jadi ingat kejadian saat di mobil. Dengan percaya diri, pria itu memperlihatkan postur tubuh di depan kaca.
"Dari luar memang terlihat besar."
Ayolah, orang lain yang melihat kekonyolan Leo pasti akan tertawa.
" Jika masuk, pasti dia akan merasakan kenikmatan."
Sudah waktunya Leo belajar mengenai seks untuk bekal menikah. Jika Vania tahu kalau ia tak berpengalaman, pasti rasa malu terus menghantuinya.
"Aku akan menonton film biru saat senggang."
Leo melirik ke area tengah dengan bangga. Meskipun masih penjaga, dijamin keperkasaannya tidak diragukan.
Lama mengagumi diri sendiri, Leo dapat pesan dari Vania. Senyum. Lembar terlihat jelas di wajahnya. Karena ekspresi itu mudah sekali ditebak.
"Tunggu aku," kata Leo sambil memperbaiki jasnya.
Sementara itu, Vania masih berada dirumah sakit. Gadis itu sudah pamit kepada Alice untuk pergi ke kampus.
Namua saat ditengah perjalanan, kelas dibatalkan karena Profesor sedang melakukan penelitian.
"Apa yang harus aku kerjakan?" tanya Vania. Bus yang ditumpangi sudah sampai di hal halte dekat kampus.
Akhirnya ia memutuskan turun dan nanti akan naik bus lagi untuk pulang.
Lama menunggu di halte, seorang pria duduk di samping Vania. Dia memakai pakaian serba hitam. Awalnya gadis itu tak curiga sama sekali, tapi perasaan nya mendadak aneh.
Ketika hendak mendongak, Vania dikejutkan oleh anak kecil yang menjatuhkan mainan di sampingnya.
"Maafkan anakku telah membuat bising."
"Tidak apa-apa," jawab Vania sambil tersenyum.
Pria yang ada di samping Vania pun pergi. Ada secarik kertas yang jatuh tepat di samping kakinya.
"Apa kabar Vania?"
Vania langsung menjatuhkan kertas itu, bangkit untuk mencari keberadaan pria tersebut. Keringatnya pun jatuh tiasa henti, dengan wajah panik yang menghiasi segala ekspresi yang timbul.
"Penguntit itu," gumam Vania masih mencari keberadaan pria itu. Willy ternyata sedang bersembunyi tak jauh darinya.
"Aku harap kau bertahan."
Takutnya mental Vania down karena pengundian yang dilakukan. Jika itu terjadi, ia akan merasa tambah bersalah.
Karena sudah melakukan tugasnya, Willy pergi dari tempat itu. Vania masih kebingungan mencari pria yang ada di sampingnya tadi.
"Dia selalu mengikutiku."
Gadis itu jadi mengingat Leo yang selalu diolok dengan sebutan m***m dan membuat Dennis kena bogem.
"Aku harus bagaimana?"
Vania menjambak rambutnya sendirian. Tiba-tiba teringat pos polisi terdekat rumah.
"Aku harus minta perlindungan." Penguntit itu harus ditangkap agar dia tidak mengganggu hidupnya lagi
Gadis itu pun hendak naik bus, tapi Leo sudah turun mobil duluan.
"Ikut aku!"
Vania menoleh ke kanan dan ke kiri, sedikit terkejut dengan datangnya pria itu. Tapi, daripada ia berangkat sendirian, pasti si penguntit mengejarnya.
"Oke," jawabnya singkat.
Tumben Vania jadi penurut. Atau mungkin Willy sudah beraksi. Senang rasanya bisa dekat dengan gadis itu.
"Kita pergi makan siang," Ajak Leo.
"No! Kantor polisi dulu."
"Ada apa pergi ke sana?"
Vania mengambil nafas panjang, "Aku tak mau penguntit itu selalu saja mengganggu hidupku."
"Mudah mengatasinya. Tinggal bersamaku sampai kau aman."
Gadis itu batuk-batuk kecil beberapa kali karena kaget dengan perkataan Leo. Tidur di rumahnya sama saja melempar diri ke kandang singa?
"Dia pria dewasa. Dengan mudahnya bicara seperti itu," cibir Vania dengan lirih.
"Bagaimana menurutmu? Kalau kau setuju, bawa beberapa barangmu ke rumahku."
"Tidak! Kita bukan sepasang kekasih," tolak Vania lagi dan lagi.
Apakah Leo marah? Suatu saat, Vania akan datang sendiri menghampiri nya.
Tunggu saja. Setelah ini kau tak bisa selak.
Mobil Leo pun belok menuju ke restoran tanpa dicurigai oleh Vania. Ia tersenyum saat melihat gadis itu tengah sibuk dengan ponsel.
"Sampai….!"
"Terimakasih!"
Ketika hendak keluar mobil, Vania kembali lagi duduk dengan nafas memburu.
"Kau membohongiku."
"Tidak, aku hanya mengajakmu makan."
Leo tak mau berdebat dengan Vania, kemudian memilih keluar mobil dulu.
"Hais…, kenapa aku tak menyadarinya." Vania melihat ke arah perut yang keroncongan. Gengsi sekalipun, tapi perut tetap nomor satu.
"Persetan dengan rasa malu. Yang penting aku kenyang dulu."
Hasil akhir, Vania keluar dari dalam mobil. Hanya kata wow yang terucap dari bibirnya.
Restoran itu tampak mewah, dan hanya terdiri dari orang-orang elit.
Wajah Vania disebut, lalu masuk kembali ke dalam mobil. Leo yang tanpa sengaja melihat itu bergegas menghampirinya.
"Aku tahu kau lapar. Cepat keluar!"
Bibir Vania digigit kuat sambil menatap perutnya yang berbunyi.
Hey, jangan membuatku malu. Kau banyak membuatku malu! teriak Vania di dalam hati sambil memukul perut kecilnya.
Gadis itu pun menghela nafas kasar, keluar mobil dengan wajah ditekuk. Ternyata lapar membuat pikirannya kacau.
Segala rencana harian yang sudah tertata rapi seperti biasanya harus berubah begitu saja.
"Aku suka kalau kau seperti ini," ucap Leo dengan tulus.
Wajah Vania langsung merah merona karena perkataan Leo.
Aku bisa gila! kata Vania di dalam hati, tambah frustasi.
Leo tersenyum melihat tingkah gadis itu lagi. Sesuai dugaannya, Vania akan datang dengan kakinya sendiri. Seperti sekarang, dia masuk mobil tanpa paksaan.