Vania merasa berada di tempat yang tidak seharusnya. Suasana mewah dan juga elegan bukan merupakan ciri khas gadis itu.
Leo sedang memesan makanan untuk mereka berdua, sementara Vania memilih menatap ke arah jendela kaca.
Yang disukai bukan makan ditempat seperti itu, melainkan makan ditempat orang biasa dengan kantong murah.
"Kau harus mencoba steak di sini," kata Leo dengan senyuman manis.
Steak atau apalah itu Vania belum merasakannya sama sekali. Kalau dipikir, hidup Leo dan dirinya berbeda jauh.
"Iya," jawab Vania.
Leo mendesah karena Vania tidak menikmati suasana makan siang pada waktu itu. Tapi ia tetap bersikap biasa, seolah tidak terjadi apa-apa.
Begitu makanan datang, hingga selesai makan gadis itu tak berkata apapun.
"Kita pulang sekarang," kata Vania sambil bangkit. Leo diam duduk tanpa beranjak dari kursi.
Melihat pria itu tetap duduk, Vania menatap lekat ke arahnya. Dia mendekat sambil berbisik pelan.
"Terimakasih sudah mengajakku kemari, tapi aku tak suka tempatnya."
Alis Leo terangkat semua, masih diam menatap Vania. Semua gadis suka hal mewah, kenapa gadis itu malah bilang tidak suka?
"Oke, jangan marah padaku," ujar gadis tersebut sambil membungkkan setengah badannya.
Karena Leo membantu banyak, jadi ia harus berbuat baik padanya.
"Aku akan mentraktirmu lain kali," kata Vania dengan senyum manisnya.
Leo terpana dengan senyum itu, sebab baru pertama kali dilihatnya.
Tanpa suara, dia bangkit begitu saja. Vania pun mengikuti dari belakang. Meskipun berada ditempat mewah, namun tempat itu bukan tempatnya.
Sampai di dalam mobil, Vania hendak mengeluarkan suara tapi masih ragu.
"Katakan saja," ucap Leo tahu maksud gelagat gadis itu.
"Tolong antarkan aku ke polisi dekat kompleks."
Ekspresi wajah Leo sudah tak baik. "Apa yang membawamu pergi ke sana?"
Vania belum menceritakan kejadian yang dialami kepada Leo. Takutnya apa yang terjadi hanya parno saja.
"Kenapa ragu?"
"Beberapa hari yang lalu aku merasa diikuti seseorang."
"Oh, itu sebabnya ada polisi datang ke rumahmu." Leo menanggapi senatural mungkin. Padahal semua salahnya.
"Iya, kemarin aku sudah menghubungi mereka. Tapi tidak ada tanggapan lagi, meskipun yang pertama ditanggapi."
"Aku akan mengantarmu."
Leo akan menggunakan kesempatan itu untuk menekan kepala Polisi yang sudah disuap oleh Ben. Dengan adanya dirinya, dia tak akan buka suara.
"Terimakasih."
Uhh, kenapa Leo jadi lembut seperti ini? Vania mulai mengagumi pria itu. Jujur awal pertemuan mereka memang kurang menyenangkan, tapi sekarang lambat laun jadi berubah manis seperti gula.
Tidak lama kemudian, mereka sampai kantor polisi. Saat keluar dari mobil, ekspresi Leo sudah dingin. Vania tidak menyadari hal itu, padahal berada di sampingnya.
Ekspres menyeramkan tersebut dilihat oleh beberapa orang, termasuk para polisi yang bertugas.
Ketika memasuki ruangan, Vania disambut oleh beberapa polisi dengan baik. Mereka tak berani berbuat lebih karena ada Leo.
"Aku ingin melaporkan kasus."
Semua orang melirik ke arah satu sama lain, meminta jawaban dari mereka masing-masing.
"Silahkan ikut saya, Nona!"
Seorang bawahan menahan ketakutan sambil memandu Vania masuk ke dalam ruang kepala Polisi.
Begitu pintu terbuka, sang kepala kaget setengah mati. Segera ia membuat kedua tanya itu duduk.
"Apa yang bisa saya bantu?" tanyanya memasang wajah ramah. Padahal di dalam hatinya ia sudah panas dingin.
"Kemarin, saya sudah menghubungi pihak polisi untuk masalah, tapi tidak ditanggapi."
"Kalau boleh tahu, masalah seperti apa?" tanya kepala polisi mengusap keringatnya.
Dahi Vania berkerut karena merasa aneh dengan tingkah kepala Polisi yang sepertinya takut. Ia pun menoleh ke arah Leo.
Dalam waktu sekejap, ekspresi wajah pria itu berubah jadi tersenyum manis.
Apa hanya perasaanku saja? Tidak mungkin kepala polisi takut dengan tetanggaku.
"Ada orang yang mengikuti saya beberapa hari lalu?" ujar Vania.
"Maaf, jika hanya perasaan anda saja, kami tak bisa bergerak."
Vania terlihat kecewa, bodohnya ia tidak menyimpan kertas si penguntit ketika di halte bus tadi.
"Saya minta diberi perlindungan."
"Kalau begitu, kami akan melakukan patroli."
Jawaban itu seharusnya sudah membuat Leo puas, meskipun Vania tidak puas sama sekali.
"Baiklah…, terimakasih," kata gadis itu dengan wajah ditekuk.
Kenapa mereka tak segera bertindak padahal mendapat keluhan? Vania tidak mengerti sama sekali.
Apa mereka akan bergerak kalau aku terluka? Dasar payah? Tak bisa diandalkan. Aku harus melindungi diriku sendiri, batin gadis itu kesal.
Dia keluar ruangan terlebih dahulu, meninggalkan Leo begitu saja. pria itu masih duduk dengan santai menatap si kepala Polisi.
"Kau tau diri juga."
Leo pun bergegas pergi juga mengikuti Vania dari belakang. Sangat jelas di matanya kalau dia sedang marah.
"Kau tak cerita semua kepadaku kalau di ikuti orang," ucap Leo.
Vania menghentikan langkahnya, "Karena kau hanya tetanggaku."
Kata-kata itu membuat Leo kesal, "Meskipun tetangga, biarkan aku membantumu."
Vania menoleh, menatap wajah Leo yang penuh kesungguhan. Jujur dalam hatinya, ia tak ingin membuat semua orang khawatir, termasuk Raul sekalipun.
"Terimakasih," kata gadis itu.
Angin sepoi menerpa mereka, seolah waktu berhenti. Keduanya saling padang satu sama lain. Rambut Vania pun bergerak ketikan hembusan angin sedikit kuat.
Sosok itu, merupakan sosok yang dikagumi oleh Leo, hingga melakukan apa saja demi mendapatkan hatinya.
"Kita pulang ke rumah," ajak Leo di angguki oleh Vania. Setelah meninggalkan kantor polisi, seorang pria muncul dari gang.
Dia menghubungi seseorang untuk memberikan kabar. Orang itu adalah Edgar.
Edgar ingin tahu kelemahan Leo dan menggunakan kelemahan itu untuk menekannya.
"Informasi yang bagus. Aku akan mengundang gadis itu."
Orang suruhannya sudah mengirim foto dan juga alamat Vania. Begitu melihat wajah gadis tersebut, Edgar tertegun sejenak.
"Jadi, dia orangnya. Sangat cantik dan tak pantas untuk pria seperti Leo."
Edgar menyesap anggur yang ada digelar, sambil terus memandangi wajah Vania.
"Bagaimana kalau menjadikan dia milikku?" Siasat demi siasat jahat mulai terukir jelas di otaknya.
"Aku juga akan mengundangnya malam ini."
Pria itu mengeluarkan dua cairan di laci. Satunya akan diberikan kepada Leo, satunya lagi ke Vania.
"Ah…, aku jadi tak sabar." Tawa Edgar pecah memenuhi ruangan itu karena senang bisa membuat dua rencana untuk Leo. Apa jadinya jika gadis itu ternoda?
Yang pasti Leo akan menggila, dan juga tak akan bisa hidup lagi.
Kesenangan di depan mata itu membuat Edgar lupa kalau Leo bukanlah lawan yang mudah untuk ditaklukan. Sebelum rencana itu berjalan, pria tersebut sudah memangkas nya terlebih dahulu.
Siapa yang melakukannya? Dia adalah Ben. Pria tua itu mendapat pesan dari Michael dan bergegas menuju ke klubnya.
"Kemana Leo pergi?" tanya Michael. Semua keputusan ada ditangan Leo, makanya ia tak berani mengambil langkah.
"Aku akan mengatasi semuanya. Tuan pasti akan setuju."
Melihat Ben yang sudah bekerja dengan Leo sedari kecil, Michael pun akhirnya mengangguk.
"Baiklah…, kau urus saja dia," kata Michael meninggalkan orang yang sedang pingsan di lantai.
Meskipun yang dilakukan Ben belum mendapatkan persetujuan, apa yang dilakukannya selalu benar.
Ben jongkok, menatap pria yang sudah mulai sadar itu.
"Jika kau ingin selamat, katakan semua yang kau ketahui!" kata Ben dengan suara rendah tapi ditekan di setiap ucapannya.