Alice beneran sakit karena banyak pikiran yang berkecamuk di dalam otaknya. Dari masalah Vania hingga beberapa orang berkunjung lagi. Seperti biasa, mereka menagih hutang ayahnya.
Kali ini, sang ayah berhutang lagi ditempat lain. Ingin rasanya gadis itu meninggalkan rumah, tapi teringat mendiang ibunya.
"Kau masih tidur saja! Aku butuh uang!" sentak seorang pria paruh baya.
Alice bangkit dari ranjang dengan wajah pucat pasi, "Aku tak punya uang, Ayah."
"Sialan! Berikan aku uang!" bentak pria itu dengan keras. Dia mencari uang di seluruh kamar Alice. Tidak ada uang sepeserpun, membuatnya marah besar.
"Jika kau tak menghasilkan uang, aku akan menjualmu!" ancam pria itu tak main-main. Alice meringkuk di atas ranjang setelah sang ayah pergi dengan membanting pintu.
"Kenapa seperti ini? Aku sudah bekerja keras untuk hidup, sampai mengorbankan sahabatku!"
Jika bukan karena nasehat sang ibu, ia tak akan bertahan dirumah itu.
"Maafkan aku ibu, aku harus pergi dari rumah ini."
Sebelum sang ayah menjual rumah, Alice akan pergi meninggalkan tempat itu dengan membawa surat tanah.
Meskipun sakit, Alice segera memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas, surat penting dan juga sejumlah uang.
Tubuhnya yang lemah itu dipaksa oleh Alice berjalan keluar rumah. Saat membuka pintu, ada mobil Leo berhenti di halaman.
Perasaan tak enak mulai muncul, tapi sedetik kemudian berubah karena melihat Vania turun dari mobil.
"Astaga…! Kenapa kau keluar rumah?" tanya Vania dengan wajah cemas.
"Aku tak bisa tinggal disini lagi," jawab Alice dengan nada suara lirih.
"Kita ke rumah sakit sekarang," ujar Vania sambil melirik ke arah Leo yang mengangguk. Alice tak bisa berpikir panjang lagi, hanya mengikuti ajakan Vania. Karena kondisi tubuhnya yang begitu lemah, dia tak punya sisa tenaga sedikitpun.
"Ben…, ke rumah sakit!" titah Leo berada di samping Ben.
"Baik, Tuan."
Mobil itu melaju meninggalkan area rumah milik Alice. Ternyata sang ayah belum pergi, malah dia mencatat nomor kendaraan Leo.
"Aku dapat mangsa. Jika Alice menikah dengannya, aku tak perlu susah."
Dengan adanya plat nomor, dia bisa meminta salah satu temannya untuk mencari pemilik dari mobil itu.
Bukankah ini adalah ide berlian? Sekarang dia bergegas menuju ke temannya yang sangat pintar mencari informasi.
Ayah Alice berjalan menuju ke gang. Ada dua orang di sana sedang merokok.
"Cari pemilik kendaraan ini!" titah sambil memberikan dua lembar uang.
"Kurang…, aku butuh beberapa lembar lagi."
"Nanti aku akan menambahnya jika pekerjaanmu selesai."
"Tunggu tiga puluh menit, setelah itu tambah dua ratus dolar lagi."
"Baiklah…, aku janji."
Dua orang itu masuk ruangan, selang tiga puluh menit kembali dengan membawa informasi.
"Mobil ini milik orang besar. Tapi identitasnya ditutupi. Yang jelas ada keterlibatan dengan perusahaan nomor satu di Kanada."
Mata ayah Alice langsung berbinar cerah, ternyata mangsanya adalah orang kaya.
"Jadi, aku datang ke perusahaan itu!" pekiknya tak percaya. "Jika dia jadi menantuku, aku akan kaya."
Dua orang pria lainnya itu saling tatap satu sama. Lain, laku mencemooh.
"Mana ada menantu yang suka mertua tukang judi dan mabuk sepertimu!"
"Jangan menghinaku! Aku akan membuktikan pada kalian kalau anakku akan jadi istri orang kaya." Dia melengos pergi begitu saja dengan wajah kesal. Dua temannya tadi tertawa melihat tingkahnya.
Di waktu yang sama, Alice dan Vania sudah berada di rumah sakit. Karena lemas, Alice masuk ruang rawat inap. Vania lah yang mengurus segalanya.
"Kau membuat Vania sibuk," kata Leo diminta menjaga Alice.
"Maafkan saya, Tuan," Jawab gadis itu dengan suara lirih. Kalau ada Vania, ia dalam mode aman. Lagi pula, Alice tak punya sisa tenaga sama sekali.
Leo pun keluar ruangan, "Ben…, kita pergi sekarang ke kantor."
"Bagaimana dengan Nona Vania?"
"Aku akan mengirim pesan kepadanya."
"Baik, Tuan."
Leo tidak ingin berada di rumah sakit lebih lama karena membuang waktu. Saat lewat koridor, ia berpapasan dengan Adam.
Leo tampak acuh, seperti tidak kenal. Bagi Adam, kebiasaan itu merupakan salah satu yang akan menjadi rutinitasnya sekarang, yaitu menerima bentuk ketidak pedulian pria tersebut.
"Adam…!" panggil Vania cukup keras. Adam menoleh seketika, sedikit terkejut melihat Vania.
"Kau tak sakit, kenapa datang kemari?"
"Alice yang sakit. Paling tidak dia dirawat sehari."
Adam melihat ke arah berkas yang dibawa. Ia kira nama pasien yang menjadi tanggung jawabnya bukan Alice yang itu.
"Dunia sangat sempit."
Adam pun berjalan masuk ke dalam ruangan, diikuti oleh Vania.
"Aku sudah menebus obatnya. Bagaimana keadaanmu?"
"Ingin pulang."
"Tubuh lemah ingin pulang! Aku harap kau pingsan!"
"Adam!" geram Vania tertahan. Alice menoleh ke arah Adam yang berjalan mendekatinya.
"Kau banyak pikiran sehingga asam lambung naik. Tidak hanya itu, flu parah juga menyerang."
Dahi Vania berkerut. Sebenarnya, apa yang dipikirkan oleh Alice sampai sakit?
"Aku akan memantau perkembanganmu lagi. Makan yang banyak agar cepat pulang."
"Terimakasih, Dan," kata Alice tersenyum.
Adam menghela nafas panjang, "Kalian sama-sama ceroboh."
Pintu ditutup dengan keras oleh pria itu. Vania pun mengomel tiada henti. Mana ada dokter bersikap kasar? Dia bahkan mengatai pasiennya.
"Aku tak percaya Adam dapat lisensi dokter."
Orang seperti dia tak pantas menyandang gelar sebagai dokter kalau bukan kepintarannya.
"Apa yang dikatakan Adam benar adanya, Vania," ucap Alice.
"Jangan membahasnya. Bisa sakit kepala."
"Sekali lagi, aku merepotkan mulai, Vania."
"Kita teman, Alice."
Alice meremas selimutnya karena ucapan Vania. Rasa bersalah pun muncul kembali.
"Ngomong-ngomong, kenapa kau membawa tas yang berisi pakaian?" tanya Vania.
Alice lupa kalau membawa tas untuk pergi meninggalkan rumah. "Aku akan ke rumah bibi karena merindukannya."
Vania beroh ria, tak curiga kalau Alice sedang berkata dusta. Bibi saja tak punya, apalagi saudara.
Karena semenjak sang ibu meninggal, hubungan Alice dengan keluarga sangat jauh. Disamping itu, sang ayah sengaja memintanya untuk tidak menemui saudara dari pihak ibu.
Sementara itu, Leo sedang memimpin rapat lagi untuk membahas kerja sama besar dengan perusahaan lain. Kali ini, dia memberikan kesempatan pada Edgar untuk mengurusnya. Dengan sengaja, pria itu memberi peluang besar.
"Aku pergi," kata Leo dengan santai. Dia berjalan keluar ruang rapat, menoleh ke arah Ben yang sedang dihubungi oleh seseorang.
"Ada apa?"
"Tuan, dilobi katanya muncul seorang pria yang mengaku sebagai mertua anda."
Leo menyukai rambutnya. Siapa yang telah berani bermain?
"Aku ingin lihat, siapa pengacau itu?"
Tidak seperti biasanya Leo ingin berurusan dengan orang yang tidak dikenal. Apakah suasana hatinya begitu buruk. Kasihan sekali orang yang akan jadi korban.
Saat masuk lift, Ben terdiam tanpa bersuara, begitu juga Leo. Mereka pun akhirnya sampai di lobi.
Ada seorang pria dengan pakaian sangat murah sedang duduk sangat arogan, merasa perusahaan miliknya.
"Baiingan kecil," gumam Leo mendapatkan ikan kecil.