Setelah mengantar Vania pulang ke rumah, Leo masih berada di halaman sambil melihat kepergian gadis itu.
Lambaian tangan dari Vania membuatnya ikut menggerakkan tangan tanpa sadar.
Saat di mobil tadi, Leo memberi tahu Vania jika terjadi apa-apa bisa minta tolong padanya.
"Aku bukan orang sesabar itu." Leo masuk ke dalam mobil. Dia mendapatkan notifikasi pesan dari Ben. Pria tua itu memang bisa diandalkan, karena bergerak sesuai dengan pola pikirnya.
Sebelum benar-benar pergi, Leo menatap rumah Vania. Kepalanya menoleh ke kanan, ada Willy yang sedang berdiri di samping pohon besar.
"Aku ingin melihat, sejauh mana kau akan bertahan, Vania."
Leo pun meninggalkan tempat itu, segera menuju ke tempat Michael untuk menyusun rencana mengatasi Edgar.
Mobil itu terus melaku menerobos jalan raya dengan kecepatan di atas rata-rata. Tidak sampai sepuluh menit, Leo sudah sampai ke tempat tujuan.
"Kau datang!" sambut Michael.
"Kerjamu bagus."
"Itu karena aku tak suka ada kotoran yang jadi benalu bisnisku."
"Antar aku ke tempat Ben."
"Dengan senang hati."
Mereka berjalan berdua menuju ke tempat Ben berada. Langkah kaki Leo berhenti saat ada orang yang mengikutinya.
"Urus anjing itu, Michael. Aku tahu kau bisa melakukannya."
"Tentu saja."
Michael langsung bertindak sesuai perintah Leo, sedangkan si casanova berjalan menuju ke tempat Ben.
"Masuklah…!" ucap Michael sambil menyeret seorang pria.
"Bawa dia masuk juga!"
"Lepaskan aku!" teriak pria yang diseret masuk ke dalam ruangan oleh Michael.
Saat pintu terbuka, ada beberapa noda darah di lantai. Michael dan pria yang diseret tampak terkejut, tapi tidak dengan Leo.
"Apa dia sekarat?"
"Tidak, Tuan. Saya tidak melakukan apapun untuk membunuhnya."
Bohong, beberapa darah mengalir di tanah. Itu jelas terluka. Kedua paha bekas tusukan dan juga kepala yang berdarah.
"Kenapa diam?" tanya Leo kepada pria yang tampan gemetar ketakutan.
"Jika kau tak jujur, maka posisimu akan sama dengannya," tambah Leo lagi.
Michael yang bukan tersangka saja menelan ludahnya sudah payah.
Aku tak akan memprovokasi Leo di masa depan nanti, batin Michael mewanti-wanti.
"A-apakah saya akan selamat jika berkata jujur? Karena saya hanya orang suruhan."
"Tentu saja! Aku berjanji akan membebaskanmu," kata Leo dengan sungguh-sungguh.
Daripada endingnya dia berakhir tragis oleh orang yang tergeletak di lantai itu, lebih baik dirinya jujur.
Pria tersebut menatap Leo dengan wajah takut, "S-saya ingin selamat."
"Kalau begitu, katakan semuanya kepadaku." Leo pun duduk dengan tenang, sementara yang lainnya berdiri.
Suasana kian tegang karena pria itu tidak bersuara sama sekali.
"Katakan padaku sekarang, atau aku akan melempar pisau kepadamu." Tangan Leo menengadah, Ben yang tak bersuara merogoh pisau di balik jas, lalu memberikan kepada tuannya.
Michael panas dingin, memilih mundur beberapa langkah ke belakang. Ia jelas akan melarikan diri.
"Michael, tugasmu belum selesai."
Pintu yang hendak dibuka, ditutup kembali oleh Michael. Akhirnya dia memilih duduk dengan tenang sambil melirik sekilas ke arah pria yang sedang menjadi target Leo.
"Jadi, siapa yang menyuruhmu?"
"E-dgar Lim," jawab pria itu sedikit gugup.
Tawa Leo pecah, ternyata Edgar tidak hanya membuat rencana untuknya, tapi juga untuk orang lain.
"Kau mengikutiku dari kantor hingga ke rumah Vania. Dan juga, mengabadikan moment kami." Leo menjentikkan jari, otomatis Ben bertindak mengambil ponsel milik pria itu dengan cepat, bahkan dia sampai dilumpuhkan. Sekarang yang dilakukan bersimpuh di lantai.
Ben memberikan ponsel itu kepada Leo. Karena tidak sabar, ia membuka hasil foto dirinya dan Vania.
Leo tersenyum senang karena foto itu sangat bagus. Kerja orang itu ternyata harus dihargai.
"Aku akan menepati janji, jadi bicara dengan jujur."
Pria itu menatap mata Leo untuk mencari kebohongan. Sepertinya, dia bisa dipercaya.
Rumah Vania
Vania menatap sebuah undangan di atas meja dari orang yang tidak dikenal sama sekali. Edgar, siapa dia? Baru pertama kali gadis itu mendengar nama tersebut.
"Nama yang asing, tapi tempat pesta tidak asing.".
"Haruskah aku bertanya kepada bos?" Punya nomor Michael saja tidak, apalagi bertanya. Pikiran Vania hanya satu, yaitu tertuju kepada Alice.
"Atau jangan-jangan prank."
Vania yakin orang yang tertera dalam undangan itu salah alamat. Bisa jadi bukan dirinya, karena nama Vania itu banyak.
"Lupakan…, aku tak mau datang."
Undangan pesta itu dibuang ke tong sampah. Vania tak akan percaya dengan orang asing begitu mudah.
"Lebih baik aku ke rumah sakit dari pada ke pesta tidak jelas," ujar Vania masuk ke dalam kamar.
Saat gadis itu membuka jendela, ia tersentak kaget melihat orang yang telah mengikutinya beberapa hari ini.
"Astaga!" pekik Vania tertahan sambil menutup jendela itu kembali. Haruskah dia minta bantuan kepada Leo?
Leo bukanlah siapa-siapa, hanya seorang tetangga.
"Tapi, hanya dia yang bisa aku percaya."
Buktinya saat tidur bersama, pria itu tak melakukan apapun.
Satu kali bisa lolos, pasti dua kali juga demikian.
"Hais…, aku ingin menangis."
Vania rasa tinggal di rumah sakit bersama Alice adalah pilihan yang tepat saat ini.
"Lebih baik aku segera ke rumah sakit."
Gadis itu mengambil jaketnya untuk bergegas ke rumah sakit. Asalkan berada di tempat ramai, pasti akan meski. Walaupun jalan memutar, Vania akan melakukannya.
"Kalau sampai dia berbuat macam-macam, aku akan memukulnya."
Tekad Vania sudah bulat. Untuk melindungi diri, ia bisa melakukan apa saja.
Benar, si penguntit tetap mengikutinya, bahkan naik bus sekalipun. Vania enjoy saja, meski dalam hatinya ingin berteriak histeris.
Begitu sampai di halte dekat rumah sakit, gadis itu langsung turun. Kali ini ia berlari kencang agar sampai lebih cepat.
"Ah…, aku lelah!" emang Vania sambil berteriak di Koridor hingga ditegur oleh perawat.
Gadis itu cengar-cengir tak karuan. Segera minta maaf, lalu masuk ke dalam kamar inap milik Alice.
Ternyata, Alice sedang diperiksa oleh Adam.
"Kau rupanya," kata Adam tanpa menoleh.
"Menoleh saja tidak!" cibir Vania.
"Dari jauh, aromamu tercium jelas."
"Sudah…, aku pusing mendengar kalian selalu saja berdebat," sela Alice.
"Huh, dia yang mulai duluan," bela Vania tidak mau kalah. Gadis itu menatap sengit ke arah Adam yang memasang wajah datar.
"Hari ini kau boleh pulang. Jangan bekerja terlalu berlebihan, makan teratur." Adam memeriksa selang infus milik Alice.
"Terimakasih," jawab gadis dengan wajah lembut.
Adam pun tersenyum untuk pertama kali di depan Vania. Dia terlihat manusiawi, tidak seperti robot yang tak punya hati.
Setelah Adam pergi, Vania menatap Alice dengan lekat.
"Apakah kau suka dengan Adam?"
"Omong kosong!" elak Alice. "Aku tak menyukainya."
Gadis itu pun menundukkan kepala. Hari ini ia boleh pulang. Lantas, biaya rumah sakit siapa yang bayar? Uang sepeser pun Alice tak memilikinya.
"Ada apa?" tanya Vania sambil menyentuh tangan Alice. Meski gadis itu menjawab dengan menggeleng, ia tahu kekhawatirannya.
"Aku punya tabungan, jadi pakai uangku dulu."
Mata Alice berkaca-kaca karena kebaikan Vania.
Bagaimana aku bisa membalasmu, Vania? Dosaku sangat banyak terhadapmu.
"Jangan menangis, kau adalah temanku," ujar Vania mengusap air mata Alice yang sudah menetes.
Mereka pun berpelukan satu sama lain penuh kehangatan. Sampai tidak menyadari kalau Willy menatap dari pintu luar.