Leo berpikir cukup lama setelah mendengar pengakuan dari orang suruhan Edgar. Dia hanya diminta untuk mengikuti Vania dan dirinya, sedangkan rencana pria itu, dia tidak mengetahui sama sekali.
"Belum bangun juga?" tanya Leo melirik sekilas ke arah orang yang tergeletak di lantai.
"Belum, Tuan."
Waktu terus berlalu, sementara Leo masih memikirkan teka-teki untuk rencana Edgar.
"Ben, tanya Willy, ada hal mencurigakan apa yang terjadi disekitar Vania?"
"Iya, Tuan."
Ben pun menghubungi Willy atas perintah dari Leo. Cukup lama pembicaraan itu berlangsung sampai sang tuan beberapa kali melirik nya.
"Tuan…," panggil Ben dengan wajah khawatir.
"Katakan…, jangan ragu."
"Seseorang yang tidak dikenal telah mengirim undangan kepada Nona Vania."
Dari pernyataan Ben, Leo bisa menebaknya kalau Vania diundang oleh Edgar.
"Vania tidak akan datang ke tempat itu," ujar Leo sambil berdiri. Ia paham betul tabiat gadis itu, bahwa tak akan bertindak kalau tidak saling kenal.
"Tidak mudah memprovokasi Vania. Edgar sungguh lancang. Jangan harap kau bisa lolos!"
Masalah Vania bisa diatasi, tapi bukan berarti Leo akan diam saja.
"Cari orang yang hampir mirip dengan Vania, suruh dia pergi ke pesta."
Leo akan membuat Edgar membayar semuanya karena telah melibatkan Vania. Meskipun gadis itu tak akan datang ke pesta Edgar.
"Membuat musuh di atas awan, adalah hal paling menyenangkan."
"Saya mengerti, Tuan."
Ben pergi meninggalkan ruangan itu. Michael yang masih duduk bermain ponsel hanya menghela nafas beberapa kali. Beruntung dia tidak membuat Leo marah. Jika saja ia bertindak seperti Edgar, nyawanya bisa terancam.
"Michael…, panggil dokter."
"Aku sudah menghubunginya. Dia akan segera sampai."
Tidak lama kemudian, dokter yang dibicarakan datang. Dia adalah Adam. Melihat darah menggenang di lantai, pria itu langsung bertindak melakukan pertolongan pertama.
"Kenapa kau tidak menyapaku dulu?" peringatan Leo-balik badan dengan mata tajam.
Adam terkejut dengan suara bariton yang familiar. Ia bergegas berdiri meninggalkan pasien yang bersimbah darah itu. Apa yang dilakukan terpaksa, dan bertentangan dengan tugas seorang dokter.
"Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau anda ada di sini?" jawab Adam karena tak. punya pilihan lain.
Michael sedikit terkejut melihat bahwa mereka saling kenal satu sama lain.
"Kau dokter ku, tapi kau datang sewaktu orang lain memanggilmu."
Adam menundukkan kepala karena merasa bersalah. Namun beberapa saat kemudian, dia mendongakkan kepala.
"Dokter rumah sakit sedang mengalami kesibukan karena ada kecelakaan bus, Tuan. Jadi, saya terpaksa datang."
Leo mencari kebohongan di setiap mimik wajah Adam, ternyata semuanya benar adanya.
"Lanjutkan pekerjaanmu. Rawat dia sekarang juga!"
Akhirnya Adam diberi kesempatan untuk segera melakukan pengobatan kepada orang yang tergeletak itu.
"Dia kehilangan banyak darah. Kita harus membawanya ke rumah sakit."
Kali ini Michael syok karena hasil dari tindakan Ben tidak main-main.
"Buat dia sadar dulu."
Adam mengangguk, menginjeksi lengan pria itu. Tidak lama kemudian, dia bangun.
"Apakah sakit?" tanya Leo dengan wajah datar.
"S-siapa kau?"
"Tidak perlu tahu, karena kau tak pantas mengetahuinya." Leo datang mendekat, berdiri dengan tatapan dingin. "Lukamu lumayan parah karena kau sangat setia dengan tuanmu. Katakan dengan jujur, maka aku akan membiarkanmu hidup."
Leo tak pernah main-main dengan perkataannya dan selalu menepati.
"Apa yang disuruh oleh tuanmu."
Pria itu meringis kesakitan lalu meraba bagian pahanya. Saat dia melihat darah wajah itu langsung pucat pasi.
"Bagaimana? Warna yang indah bukan?" Meski suara Leo tidak begitu keras, tapi setiap perkataan nya mengintimidasi.
Dua orang yang berada di ruangan itu hanya bisa menahan susana yang mencekik itu.
"T-tolong saya."
Leo tersenyum semirik, manusia yang sekarat pasti akan berkata jujur. Terlebih lagi anjing peliharaan seperti dia.
Rumah Sakit
Setelah Willy mendapatkan panggilan dari Ben, Vania keluar ruangan. Ia terkejut melihat orang yang bersandar di tembok dekat pintu.
"Maafkan aku jika menghalangi jalanmu." Willy tanpa menggunakan masker dan topi mengangguk kepada Vania, lalu pergi.
"Postur tubuh itu," ujar Vania menjeda kalimatnya. "Banyak yang memiliki postur tubuh seperti dia."
Gadis itu pun berjalan menuju ke loket p********n pasien. Sampai di sana, hal yang tak terduga terjadi, bahwa p********n telah lunas.
"Aku yakin pasti dia yang membayarnya."
Vania menghubungi Leo detik itu juga, tapi tak kunjung diangkat.
Kenapa? Karena dia sedang membicarakan sesuatu yang penting.
"Tuan…, apa sebaiknya ponsel Anda di angkat?"
"Dari siapa?"
"Nona Vania."
Ekspresi wajah Leo langsung berubah total, sebab pertama kali Vania menghubunginya.
"Ben, bawa ponselku kemari!"
Setelah mendapatkan ponsel itu, Leo bergegas mengangkat cepat-cepat.
"Ada apa?" tanya Leo-tangannya menyentuh dagu.
Apa kau membayar semua tagihan rumah sakit? jawab Vania di ujung sana.
"Aku hanya membantu saja."
Alice tak akan suka. Jadi, aku akan mengembalikan uangmu.
Leo sedikit berpikir saat melihat jam yang ada di dinding.
"Oke, aku akan menemuimu di kafe tempat kerja."
Leo segera menutup panggilannya. "Ben…, kau urus semua yang ada di sini, termasuk dia," tunjuk nya kepada bawahan Edgar yang sedang di obati oleh Adam.
"Baik, Tuan."
"Jangan lupa, atur semuanya agar Edgar yang makan senjatanya sendiri."
Ben mengangguk mengerti rencana Leo. Semua rencana itu disusun rapi, termasuk membayar dua kali lipat kepada bawahan Edgar.
Sebelum menyerang, Leo akan mengisi amunisinya, yaitu bertemu dengan Vania. Lihat wajah berbinar sepanjang perjalanan menuju kafe milik Michael! Sungguh enak dipandang mata.
Sampai si kafe, ternyata Vania belum datang juga. Leo duduk di dekat jendela, tanpa memesan apapun.
Seorang pelayan sudah mendekat, tapi ditolak mentah-mentah.
"Sangat tampan," puji salah satu dari mereka.
"Jangan bermimpi untuk bersanding dengannya."
"Memangnya kenapa? Dia single bukan?"
"Tuan itu milik orang lain. Karena kau lama tidak masuk kerja, jadi tak tahu."
Satu pelayan di antara mereka pergi setelah memberi peringatan kepada temannya.
"Aku akan mencoba merayunya."
Pelayan itu bersolek, segera menuju ke meja Leo. Dia berdiri penuh dengan percaya diri.
"Apa yang Anda pesan, Tuan?"
Leo tidak menjawab, menoleh pun juga tidak. Matanya terus menatap ke arah luar kafe. Ternyata yang ditunggu telah datang. Pria itu tersenyum tipis, terus menatap gadis itu hingga sampai di depannya.
"Tuan," panggil pelayan karena merasa di abaikan.
Vania tersenyum, "Capucino satu, Americano satu."
Pelayan itu terlihat kesal karena yang menjawab pesanan adalah orang lain. Dia pun memilih pergi dengan sewot.
"Berapa nomor rekeningmu?" tanya Vania. Gadis itu menghormati Leo, makanya meminta nomor rekening bank secara langsung.
"Aku tak akan memberikannya kepadamu." Leo terlihat santai sambil memicingkan mata.
"Kau!" tunjuk Vania dengan geram. "Oke, aku akan mengambil uang dulu."
"Maka, aku akan ikut bersamamu."
Leo tak ingin bertemu dengan Vania hanya sebentar.
"Kau disini saja, habiskan minumanmu," kata Vania melihat temannya yang membawa baki.
Seseorang telah melambai padanya, gadis itu menyambut lambaian dengan baik.
"Jika kau tak mengizinkan aku ikut, maka aku tidak akan menerima uangmu." Leo bangkit dari kursi. "Lebih baik aku pergi."
Vania tampak kebingungan melihat Leo pergi begitu saja.
Apa yang harus aku lakukan? batin Vania menatap ke temannya itu dan Leo secara bergantian.
Dilain sisi ada teman kerjanya, tapi ia sendiri juga tak mau berhutang banyak kepada Leo.
"Hais…, aku harus menyelesaikannya secepat mungkin."
Vania pun memberi uang kepada temannya itu, bergegas mengejar Leo yang sudah menjauh.
"Apa kau terlambat?" Ia masih terus mencari ke segala arah. "Ah…, aku harus menghubunginya."
Saat Vania merogoh ponsel, ada tangan asing menyentuh pundak nya. Gadis itu menegang, antara takut dan juga penasaran. Yang dilakukan hanya menatap tangan tersebut.