Pagi-pagi sekali, Ben sudah mengusik tidur nyenyak sepanjang hidup Leo. Seperti biasa, dia marah-marah kalau ada yang mengganggu kesenangannya.
"Kau membuatku ingin memukulmu, Ben!" Wajah Leo sudah merah padam, menahan marah karena ada Vania dirumahnya.
"Maafkan saya, Tuan. Karena ada sesuatu yang harus saya laporkan."
"Aku akan membungkam mulutmu selama sehari kalau kau membawa berita tak berfaedah."
Ben mengangguk, memberikan surat kabar kepada Leo.
"Apa ini? Kalau masalah Edgar, aku sudah muak."
Saham milik Edgar direbut oleh salah satu bawahan Leo. Dia sepertinya ingin memperkuat kedudukannya.
"Tuan Lim kabur ke London."
"Biarkan saja dia!" Aura gelap masih menghiasi wajah Leo. "Katakan semuanya! Jangan membuatku menunggu."
"Saya sudah bertemu dengan Nona Monica. Dia minta untuk mengatur pertemuan dengan anda."
"s**t! Aku tak punya waktu!" Leo duduk di sofa dengan kesal.
"Ini perihal pertunangan, Tuan. Nona Monica ingin membatalkan pertunangan."
"Cih, menyusahkan." Leo merenungkan keinginan Monica. Jujur, ia juga tak mau bersanding dengan wanita itu.
"Satu hal lagi, ini masalah ayah Alice, Tuan."
"Aku kan sudah bilang, kau urus dia."
Semalam Ben datang ke kantor, tempat ayah Alice disekap. Pria paruh baya itu masih pingsan. Entah tidur atau hanya pura-puda, Ben belum mencari tahu.
"Saya akan mengurusnya sesuai perintah anda."
"Buat dia enyah dari hidupku. Dia akan menjadi parasit kalau dibiarkan."
Memangnya siapa Alice, sampai dengan penuh percaya diri pria paruh baya itu memanggilnya menantu.
"Di kamusku, hanya Vania yang berhak menjadi istri, sekaligus menyandang marga Zang."
Jika sudah menikah nanti, Vania Kimberly akan menjadikan Vania Kimberly Zang. Wajah Leo langsung berubah senang saat membayangkan hal indah itu.
"Kalau begitu, saya pamit dulu, Tuan." Ben segera pergi meninggalkan tempat itu untuk mengurus permasalahan yang ada.
Setelah Ben pergi, Leo pun melakukan aktivitas paginya untuk bersiap menyambut Vania.
Lalu, bagaimana dengan gadis itu? Saking nyenyak karena obat tidur, Vania tidak terbangun sama sekali. Meski matahari mulai muncul, masuk ke celah jendela sekalipun ia tetap pulas dalam tidur nya.
Bunyi ketukan pintu terdengar beberapa kali, siapa gerangan? Dia Leo yang sudah segar bugar.
"Vania…! Aku masuk ke dalam!"
Tidak ada sahutan dari gadis itu. Akhirnya, dia memilih membangunkan Vania dengan masuk ke dalam ruangan.
"Dia masih tidur."
Leo mendekat perlahan, mengusap pipi gadis itu. Karena tidak terusik, ia mencubit hidung Vania.
Seketika itu pula, Vania langsung membuka kedua matanya.
Mata gadis tersebut berkedip lucu, seperti boneka sangat menggemaskan. Dia masih belum sadar sepenuhnya. Apalagi silaunya matahari membuat penglihatannya kurang jelas.
"Bangun…."
Suaranya sangat lembut dan membuat candu. Siapakah itu? Vania masih bertanya dalam pikirannya.
"Haruskah aku memberimu ciuman selamat pagi?"
"Ciuman," gumam Vania didengar oleh Leo. Seketika itu pula, gadis tersebut menyadari kalau ia berada di rumah tetangganya.
Mata Vania langsung terbuka lebar, bangkit dari tidur. "Maafkan aku!" pekiknya dengan malu.
Hais, segitu betahnya ia berada di rumah tetangga yang belum lama dikenal?
"Tidurmu sangat pulas, sampai aku enggan untuk membangunkanmu."
Vania sendiri juga heran, karena dia dulu tidak seperti itu.
"Ah, mungkin karena tempat tinggalnya nyaman," ujar gadis itu dengan asal.
"Bersihkan dirimu, kita sarapan bersama."
"Aku akan pulang saja."
"Setidaknya kau sarapan dulu."
Permintaan Leo tak bisa ditolak lagi oleh Vania. Akhirnya gadis itu mengangguk pasrah, bergegas ke kamar mandi untuk cuci muka. Leo pun keluar ruangan, menunggu Vania di ruang makan.
Akan tetapi ada hal yang terduga mengganggu ketenangannya. Ben tiba-tiba mengirim pesan.
"Hari bahagiaku berakhir secepat itu," desah Leo dengan wajah terlihat sendu.
"Ada apa?" tanya Vania saat melihat Leo tampak sedih.
"Makan saja! Hiraukan aku." Leo tampak tak nafsu makan karena kabar dari Ben. "Vania, aku pergi ke kantor dulu."
Gadis itu mengangguk, tapi dalam benaknya bertanya-tanya. Ada apa dengan Leo. Tadi, dia baik-baik saja?
"Tunggu!"
Vania berteriak tanpa pikir panjang dan sekarang menyesal.
"Ada apa? Apakah kau akan menanggapi perasaanku sekarang?"
"Bukan itu! Aku akan mengantarmu."
Leo tersenyum sesaat, dan itu terlihat tampan dimata Vania. Debaran jantung menggila pun mulai bereaksi.
Astaga! Dia seperti pangeran di dalam dongeng.
"Aku senang jika kau seperti ini."
Leo berjalan beriringan dengan Vania. Begitu pria itu masuk mobil, tanpa sadar gadis tersebut melambaikan tangan.
wajah Leo tambah sumringah kalau Vania dengan senang hati mengantar kepergiannya. ia tak ingin, kebahagian yang dirasakan hanya sementara.
"Hais…, kenapa tanganku bergerak sendiri tanpa sadar? Lebih baik aku pulang untuk bersiap ke kampus."
Gadis itu masuk ke dalam rumah untuk mengambil ponsel dan tasnya. Langkah kaki itu berhenti di depan rumah.
"Rumah yang nyaman," ujarnya dengan senyum lembut. Faktanya rumah itu bukan rumah yang nyaman bagi para penghuninya, melainkan rumah neraka.
Di sisi lain, kepala proyek tampak gelisah ketika Raul minta izin untuk kembali pulang. Karena tak punya alasan yang masuk akal, akhirnya dia mengizinkannya pulang dengan syarat sehari sudah sampai ke tempat proyek.
"Kalau begitu, aku pulang dulu."
Raul sudah naik bus, sementara kepala proyek menghubungi Ben.
"Halo…, Raul sudah naik bus. Saya tak bisa mencegahnya.
"Biarkan saja. Saya dan tuan akan meng-handle. Terimakasih sudah bekerja keras," kata Ben berdiri di depan ayah Alice, lalu menutup ponselnya.
Pria tua itu mengamati ayah Alice yang masih tergolek lemah. Dia baru saja dipukul oleh Ben, karena terus meminta Leo datang.
"Apakah kau masih sanggup bergerak?"
"A-apa salahku? Aku ingin bertemu menantu."
"Tuanku bukan menantumu. Dia tak akan pernah jadi menantumu."
Pria itu berpikir kalau Alice masih saja menjadi pasangan Leo. Kalau bukan pasangan berarti simpanan.
"A-aku akan memberikan anakku, lepaskan aku."
Gila, dia tak waras memberikan anak semata wayangnya kepada orang asing.
"Asal berikan aku uang."
Sungguh ayah yang tak berperikemanusiaan. Ben sendiri geram dengan perkataan nya.
Pria tua itu pun jongkok, "Kau harus kerja jika butuh uang."
"Ambil saja anak tak berguna itu!" Suara ayah Alice menggelegar di seluruh ruangan. Alice yang baru sampai, di antar oleh anak buah Ben sangat terkejut.
"Kenapa? Kenapa kau lakukan ini padaku?" tanya Alice tak mengerti. "Apa aku bukan darah dagingmu?" Gadis itu terisak. Sakit rasanya sang ayah berkata seperti itu.
Ayah Alice mendongak, darah di pelipis menetes. "Kalau bukan ibumu selingkuh dengan pria lain, hidupku tak akan seperti ini. Lebih baik kau aku jual!"
Itu adalah kata-k********r yang tak pernah didengar oleh Alice. Sangat sesak di d**a hingga marah sekali.
"Aku menyesal membayar hutang mu dengan mengorbankan semuanya," kata Alice sambil mengusap kedua matanya. "Mulai sekarang, kita hidup berpisah." Gadis itu pergi begitu saja meninggalkan ayahnya sendirian.
"Hey, kau belum berbakti padaku." Sebuah pukulan melayang keras di bagian pipi hingga lebam seketika. Pria itu pingsan di tempat.
"Masukkan dia ke penjara karena melakukan judi ilegal, dan berhutang cukup banyak."
Ben pun keluar ruangan, mendesah saat melihat Alice sedang menangis.
"Pulanglah…, jangan membuang air matamu untuk hal sia-sia."
"Aku begitu menyayanginya, tapi dia mau menjual ku demi uang. Apakah aku bukan anaknya?"
Sampai kapanpun, dimata sangat ayah. Ibunya selalu saja berbuat salah.
"Kebahagiaanmu tidak akan berakhir hanya karena ayah seperti dia."
Alice mendongak, menatap Ben. Orang bijak seperti dia bekerja dan melakukan apapun demi Leo. Sangat disayangkan. Ternyata ada yang lebih menderita dibanding dirinya.
"Aku akan melepasnya. Dan aku tak mau terlibat oleh ayah."
Dari dku, sang ayah selalu bertindak kasar karena mengingat ibunya. Sekarang sudah waktunya melepas semuanya.
"Sangat bagus. Pulanglah…, aku akan mengurus semua. Pernyataanmu nanti diperlukan. Jangan menyesal, Alice."
Gadis itu mengangguk pergi. Satu masalah sudah selesai, tinggal masalah lain, yaitu Raul. Kenapa Raul tiba-tiba kembali?