Alice tahu bahwa Leo bukanlah orang yang memiliki belas kasihan kepada orang lain. Akan tetap, semuanya patut dicoba. Sekarang gadis itu sudah berada di depan rumah pria tersebut.
Dengan nafas memburu, Alice buru-buru mengetuk pintu. Karena tak kunjung dibuka, ia hendak berteriak.
Tiba-tiba pintu terbuka oleh seseorang. Alice pun segera angkat suara.
"Aku ingin bertemu dengan tuan," kata gadis itu dengan wajah gelisahnya.
"Lebih baik pulang jika ingin selamat."
"Tuan Ben, aku mohon padamu," ujar Alice seraya memohon. "Ayahku, apakah dia selamat."
Ben menutup pintu dengan pelan, membawa Alice pergi menjauh di halaman rumah yang sedikit gelap.
"Dia pantas mendapatkan hukuman."
"Ayahku tidak bersalah, Tuan. Lepaskan dia." Alice hanya bisa menyatukan tangannya sambil terus memohon tiada henti.
"Pulang sekarang. Nona Vania masih berada di rumah tuan."
"Bagaimana dengan ayahku?"
"Alice, kau tahu sendiri kan seperti apa kepribadian tuan. Jika ingin hidup, urungkan niatmu menemui tuan hari ini," peringatan Ben. "Masa depanmu masih panjang. Jangan buang sia-sia hanya untuk orang seperti ayahmu."
Ben pun balik badan, pergi meninggalkan Alice sendirian. "Ketahuilah, tuan memberi pelajaran setimpal pada seseorang yang tak layak."
Habis sudah, ayahnya telah berada ditangan Leo. Bagaimana ia bisa bertemu dengannya.
"Tuan, izinkan aku bertemu dengannya."
"Besok, pergilah ke kantor. Aku akan memberimu peluang bertemu dengan tuan."
Ben pun pergi meninggalkan Alice sendirian. Jika Leo tahu, pasti dia akan marah besar.
Benar saja, Leo sudah menunggu di ruang tamu dengan wajah dinginnya.
"Anak itu datang tanpa diundang."
"Karena dia begitu menyayangi ayahnya, Tuan."
"Cih, merusak hari bahagiaku saja."
Setelah makan malam, Vania diperlihatkan kamar untuk singgah sementara. Tapi bukan berarti dia tidur sendirian, Leo akan datang saat gadis itu tertidur pulang.
"Tuan," panggil Ben dengan wajah gelisah.
"Katakan saja."
"Keluarga yang ada di China menghubungi saya, katanya Nona Monica akan datang menyusul."
Bunyi gebrakan meja terdengar jelas di telinga Ben.
"Mereka benar-benar mendorong untuk menguasai semuanya!"
"Harap tuan meredakan emosi karena Nona Vania bisa mendengarnya."
"Kau selalu saja mengaturku, Ben," geram Leo tertahan.
Jawaban pengakuan cinta dari Vania saja ia belum dapat, datang lagi masalah yang membuat dirinya muak.
"Cegah Monica jangan sampai berada di sekitarku."
"Saya tak bisa melakukannya karena Nona Monica sudah berada di Kanada, Tuan."
Monica kini tinggal di hotel mewah bintang lima milik Petrucci. Dia sekarang sedang makan malam bersama seseorang.
"Bagaimana? Steaknya enak bukan?" tanya seorang pria duduk di depan Monica.
"Lumayan." Jawaban singkat dari wanita itu tidak memuaskan sama sekali.
"Ada apa denganmu?"
"Aku malas berada di sini. Kalau bukan karena dorongan ayahku, mana aku sudi."
"Jangan memikirkan calon tunanganmu itu."
"Ayolah…, dia buka seleraku. Aku tak berminat padanya."
Hidup bersama Leo bukan keinginannya. Karena menjadi model adalah prioritas Monica.
"Kunjungi aku lain kali. Aku lelah karena perjalanan panjang."
"Hey…, kau tak mau bermalam denganku?"
"Ram…, aku harus tidur untuk berurusan dengan Leo. Jadi, tinggalkan aku sendiri."
Monica pun bangkit dari kursi, berjalan menuju ke kamarnya. Sungguh sial! Jika bukan karena sang ayah, ia tak akan berada di tempat ini.
"Kali ini, aku akan membatalkan semuanya. Dan setelah itu, aku akan pergi ke Amerika." Impian terbesar Monica adalah berjalan di atas panggung dengan busana rancangan desainer ternama.
Bukan menikah dengan orang yang jelas berwajah dingin bagaikan es.
"Dari pada menikah tak berlandas cinta, lebih baik membuang nama keluarga." Jujur, Monica lelah diatur oleh keluarga besarnya.
"Hais… Leo, kenapa kau merusak hidupku!" erang Monica frustasi.
Yang ada Leo malah bersin-bersin saat bicara bersama dengan Ben.
"Apakah tuan sakit? Saya akan panggil Adam."
"Tidak usah. Kita bahas Monica terlebih dulu."
"Untuk saat ini, Nona Monica sedang ada di hotel Tuan Petrucci."
"Abaikan dia. Jangan ganggu wanita itu sebelum dia bertindak. Cari tahu apa tujuannya. Kita bisa menggunakan sebagai pedang untuk menyerang."
"Baik, Tuan," jawab Ben mengerti. "Lalu, untuk ayah Alice."
"Apakah kau sudah menyiksanya?"
"Saya sudah memberi sedikit pelajaran untuk pria itu."
Leo sangat kesal dengan tingkah ayah Alice yang seolah mengenalnya.
"Jika Alice ingin bertemu, biarkan saja," ujar pria itu sambil bangkit. "Sepertinya aku akan tidur nyenyak malam ini."
Leo pun berjalan menuju ke kamar Vania. Saat membuka pintu, s**u yang ada di atas nakas sudah habis. Dia meneguk sampai tak tersisa.
"Maafkan aku telah memberimu obat tidur." Hanya itu satu-satunya cara agar Vania tidak merasa terganggu dengan kehadirannya.
"Vania…, aku tak sabar dengan jawabanmu. Jika kau menolakku, apa yang harus aku lakukan?"
Pria itu mengusap pipi Vania dengan lembut, seolah benda yang sangat berharga.
"Apa aku bisa bersabar untuk menumbuhkan perasaanmu padaku."
Leo orang kejam, tapi juga orang yang sabar dengan perasaannya.
"Sepertinya, aku harus lebih bersabar lagi untuk mendapatkanmu."
Bermain tarik ulur bukan tipenya, tapi bagaimanapun juga itu adalah sebuah rencana brilian yang terpikir saat ini.
"Aku harap kau mau menerimaku." Leo pun tidur di samping Vania sambil memeluk erat gadis itu. Namun sebelumnya, ia memasang alarm supaya tidak bangun kesiangan.
"Kau canduku, Vania," gumam Leo memejamkan kedua matanya.
Persetan dengan segala urusan kantor dan Monica. Yang jelas sekarang bagi Leo untuk tidur tenang memeluk gadisnya.
Sementara itu, Ben pergi ke hotel milik Petrucci untuk bertemu dengan Monica. Pria itu menunggu cukup lama hingga akhirnya orang kepercayaan Petrucci datang menyapa.
"Apakah tuan ada janji dengan seseorang? Saya bisa memanggilnya."
"Aku akan menunggu sebentar lagi, kembalilah bekerja."
Dia mengangguk patuh, segera hengkang dari tempat itu.
Tidak lama kemudian, Monica datang bersama seorang pria. Sepertinya dia baru saja mengadakan pesta.
"Oh…, kau rupanya," tunjuk Monica setelah itu duduk.
"Bagaimana denganku?" tanya pria yang bersama Monica.
"Pergi saja! Aku ada urusan penting."
Dia pun mengumpat kesal karena Monica membatalkan janjinya.
"So, apa yang kau lakukan di sini?"
"Kenapa anda datang kemari?"
"Well, aku tak punya pilihan karena si tua itu terus saja mendesak," kata Monica santai menyilangkan kakinya.
"Saya harap nona tidak mengusik tuan."
"Aku datang ke sini untuk bisnis, Ben. Kau jangan khawatir." Monica melipat kedua tangannya. "Lagi pula, aku siap membatalkan pertunangan ini." Wanita itu bangkit dengan semangat. "Leo bukan tipeku. Bilang saja padanya seperti itu."
Tak ada lagi yang perlu dibahas oleh mereka berdua. "Besok, aku akan menemuinya sendiri. Jangan mengusirku seperti dulu."
Monica pun pergi sambil bersenandung ria. Ben tampak lega karena dia tak tertarik dengan pertunangan itu.
"Kabar baik untuk tuan."
Setelah ini ada hal yang harus dilakukan, yaitu menemui ayah Alice yang sangat serakah. Orang seperti dia, layak diberi pelajaran agar tidak mengulang perbuatannya kembali.
"Dia bisa jadi parasit bagi tuan. Sebelum itu, aku harus bertindak," kata Ben mempercepat langkah kakinya menuju ke mobil.