Seperti yang dijanjikan sebelumnya, Monica datang ke kantor Leo. Tentu saja berniat untuk membatalkan pertunangan mereka berdua.
Saat melewati lobi, semua mata memandang ke arah wanita. Dia sangat cantik dan juga menawan sehingga menyita banyak perhatian semua orang.
Tanpa sengaja, Alice menabrak Monica saat tengah keluar dari lorong sisi kanan.
"Maafkan aku," kata Alice dengan wajah sembabnya.
Dahi Monica mengerut saat melihat ekspresi sedih sehabis menangis. Dia pun melihat punggung Alice yang semakin menjauh.
"Nona Monica…," panggil Ben sudah berdiri di depannya.
"Jantungku…" Monica mengelus dadanya beberapa kali karena kaget bukan main.
"Saya terlalu berlebihan."
Hidung Monica langsung ditutup karena bau amis menyengat indera penciumannya. Dia refleks mundur beberapa langkah ke belakang.
"Apa yang baru saja kau lakukan? Ini jelas bau darah." Wanita itu sangat sensitif, tapi Ben hanya menanggapi dengan senyuman saja.
"Hanya ilusi nona saja." Ben memencet tombol lift, mempersilahkan Monica untuk masuk duluan. Meskipun pria tua itu mengelak, tapi tetap saja aroma darah tercium jelas.
"Apa Leo ada di ruangannya?"
"Tuan masih dalam perjalanan."
Pintu lift terbuka lebar, Monica pun segera berjalan duluan. "Tunjukkan saja di mana ruangannya. Aku tak tahan dengan baumu."
"Sayangnya, nona harus terus bersama saya."
Ben berjalan mendahului Monica, lalu membuka pintu berwarna coklat itu. Tempat itu adalah tempat meeting untuk klien penting.
"Kenapa tidak menunggu di ruangannya?"
"Anda tak ada hak untuk memilih, Nona."
Sungguh menyebalkan. Ben dan Leo sama-sama orang yang tidak bisa ditebak.
"Sebentar lagi, Tuan akan sampai."
Benar saja, Leo sudah berada di perusahaan. Sepanjang perjalanan, wajahnya tampak berseri. Kalau seperti itu, karyawannya jadi betah memandang. Coba saja pria itu sumringah sejak dulu.
Begitu masuk ke dalam lift, banyak para karyawan yang membicarakannya, termasuk bicara mengenai wanita cantik barusan.
Selang beberapa menit, Raya datang dengan wajah kesusahan.
"Apa tuan sudah datang?" tanya Raya kepada resepsionis.
"Baru saja."
Ah…, Raya tak bisa menunggu waktu lagi, harus segera bertemu dengan Leo. Ini mengenai kontrak Durent yang perlu banyak pertimbangan.
Gadis itu masuk lift dengan tergesa-gesa, lalu sampailah pada ruangan Leo. Sayang sekali ruangan itu kosong melompong.
"Kemana dia pergi?" Raya berjalan menuju ke ruang rapat. Ternyata Leo hendak membuka pintu.
"Sepertinya tuan akan rapat. Aku harus menunggu dengan sabar."
Faktanya Leo tidak rapat, melainkan bertemu dengan Monica.
"Akhirnya kau sampai juga, Leo," sambut Monica sambil merentangkan kedua tangan. Leo acuh saja, memilih duduk dengan pandangan dingin.
"Aku mengibarkan bendera putih. Setidaknya beri pelukan."
"Tidak!" jawab Leo singkat. Begitulah pria itu, selalu menanggapinya dengan dingin.
"Langsung ke intinya saja. Kau harus membantuku keluar dari bayang-bayang keluarga," katanya sambil melipat kedua tangan.
"Apa imbalannya? Aku tak mau rugi."
"Pembatalan pertunangan. Bukankah itu sudah cukup?"
"Tidak cukup sama sekali." Leo berpikir keras. "Ben…, siapkan kertas, pena, dan materai. Aku akan menulis surat perjanjian dengan Monica."
Apa yang dipikirkan Leo, Monica sendiri juga tak tahu sama sekali.
"Jika kau ingin bebas, harus ada sesuatu yang kau lakukan."
Wajah Leo terlihat menyimpan banyak rencana. Ben sendiri juga tak tahu rencana apa yang ada di otak tuannya.
"Sialan! Aku tahu kau tak mau rugi."
Monica mendesah, tapi tak punya pilihan lain lagi. Apapun resikonya akan di ambil asalkan bebas dari keluarganya.
Diwaktu yang sama, Raul sudah sampai halte dekat kompleks perumahan. Sungguh lega rasanya bisa kembali ke rumah.
"Aku rindu dengan Vania." Raul pun bergegas menuju ke rumah untuk melepas rindu dengan sang adik.
Saat masuk halaman rumah, Vania keluar dengan wajah segarnya.
"Vania…!" panggil Raul sambil berlari. Dia langsung memeluk Vania dengan erat. "Aku rindu denganmu."
Gadis itu masih kaget karena Raul tiba-tiba memeluknya. "Akhirnya kau pulang juga?" Ia memeluk sang kakak dengan erat.
Mereka masuk ke dalam rumah. Keduanya duduk berdampingan.
"Kenapa kau tak menghubungiku?" tanya Vania. Gadis itu enggan menghubungi Raul terlebih dulu karena takut mengganggu.
"Tak ada sinyal di tempatku bekerja. Jadi, aku tak punya pilihan lain, selain menunggu waktu yang pas untuk bertemu denganmu."
Tiba-tiba, Vania menangis sangat keras. "Kau tahu, aku diikuti oleh seseorang."
"Siapa? Aku akan memukulnya."
Vania malah menangis semakin keras. "Dia dipenjara… dia hampir menyerangku. Untung ada tetangga."
Vania menceritakan kronologi kejadian yang baru saja menimpa nya.
"Sebaiknya aku tak ikut proyek itu."
Gadis itu pun berhenti menangis, "Kenapa? Ikut saja? Aku baik-baik saja."
Mulutnya saja yang bilang seperti itu, tapi kenyataannya tidak. Raul paham betul dengan gadis itu.
"Aku akan cari kerja lain, Vania. Kau seorang gadis dan di rumah sendirian, baru mengalami hal buruk. Mana tega aku meninggalkanmu."
Itulah Raul, selalu memprioritaskan keselamatan dan kenyamanan untuk Vania seorang. Makanya, gadis itu begitu menyayangi sang kakak.
"Kalau aku di rumah, kau pasti aman." Raul. Mengusap puncak rambut Vania. Dia bisa mengorbankan segalanya meski mendapatkan uang banyak.
Lebih baik kerja di tempat lain, batin Raul sudha kukuh dengan keputusannya.
Jika Raul mengundurkan diri, kebahagian sementara Leo benar-benar berakhir sudah. Ternyata, menjauhkan pria itu tak akan mudah.
Vania merasa terharu dengan kasih sayang Raul. Sampai-sampai air matanya tumpah lagi.
"Hus.., jangan menangis! Aku akan mengantarmu ke kampus."
"Tapi, kau baru saja sampai," kata Vania sambil mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya.
"Ayo…jangan membuang waktu lagi. Aku tahu kau terlambat."
Vania pun mengangguk, lantas mereka berdua keluar rumah, berjalan menuju ke halte. Sepanjang perjalanan hingga naik bus, Raul tidak berhenti untuk cerita. Tujuannya adalah membuat sang adik terhibur.
"Aku sangat menyayangimu, Raul." Vania memeluk Raul dengan erat sebelum masuk gerbang kampus.
"Begitu pula aku. Belajar yang rajin." Senyum lembut terhias di wajah Raul. Para gadis histeris dibuatnya.
Meskipun pakaian Raul sederhana, tapi secara fisik dia unggul. Bahkan jika dibandingkan dengan Leo, ketampanan setara.
"Bye…!" Vania melambaikan tangan sambil berjalan menuju ke fakultasnya. Gadis itu melihat Arthur dan Dennis saling bicara satu sama lain, seperti sedang cekcok.
"Bukan urusanku." Vania melenggang pergi begitu saja.
Apa yang kedua pria itu perdebatkan? Yaitu mengenai Vania.
"Kau akan mendekatinya lagi?" tanya Arthur tak percaya.
"Iya, karena aku benar-benar menyukai Vania."
"Buang perasaanmu itu jauh-jauh," peringkat Arthur.
Dennis tak bisa mengabaikan perasaannya karena memang itulah yang terjadi. Jika dibiarkan, maka rasa sakit akan menjalar ke seluruh tubuh.
"Aku harap kau berpikir bijak, Den." Arthur sudah berupaya untuk membujuk Dennis sebisa mungkin. Jika memang dia ingin sekali memiliki Vania, mau bagaimana lagi.
Saat Arthur pergi, seorang pria berjalan mengendap-endap di belakang Dennis yang sedang melamun.
"Apa yang kau pikirkan?" Dia menyentuh pundak Dennis hingga menimbulkan reaksi kaget bukan main.
"f**k!" umpat Dennis cukup keras. Jantungnya lari marathon karena orang yang yang telah mengusik lamunannya.
Tawa pria itu pecah seketika sampai membuat perhatian semua orang tertuju padanya. Pria yang cukup tampan dengan kedua lesung pipi memukau.
"Bro! Aku merindukanmu!" pekiknya memeluk Dennis dengan erat.
Aku tak suka dia ada di sini! teriak Dennis di dalam hati dengan wajah buruk.
Sudah dipastikan bahwa pria itu tak menyukai kehadiran orang yang telah memeluk dirinya itu.
"Kau membuatku sesak."
Dennis berusaha melepaskan diri, tapi pria asing itu terus menempel bagaikan gurita. Matanya pun terpaku pada Alice yang sedang berjalan melewati dirinya.
"Ada apa dengannya?" gumam Dennis saat menatap mata Alice yang tampak merah.