Leo menikmati sarapannya dengan suasana hati riang. Penyebab utamanya adalah gadis yang sedang duduk tak jauh dari pria itu.
Mereka seperti sepasang kekasih, lebih tepatnya sepasang suami istri. Membayangkan hal itu membuat Leo semakin bahagia.
"Sebutkan tiga permintaanmu itu," kata Vania sudah tak sabar.
"Kenapa buru-buru? Aku masih ingin menikmati sarapan.
Makanan Nya saja tidak disentuh sama sekali. Yang dilakukan hanya menatap Vania saja.
" Kau tidak akan menghabiskan makanan itu, bukan?"
"Ternyata dirimu pandai menebak. Itu sebabnya aku suka."
Apakah dia benar-benar Leo. Ben saja sampai tidak percaya, begitu pula dua pelayan yang berdiri tak jauh dari mereka.
Huh, Vania harus ekstra bersabarlah menghadapi begundal seperti Leo.
"Aku harus ke kampus."
"Maka, aku akan mengantarmu."
Terserah, Vania tak mau berdebat. Karena Leo tidak bilang mengenai tiga permintaan itu, ia akan diam saja.
Daripada menganbulnya, lebih berharap sang tetangga lupa.
"Oke…, lalu biarkan aku pulang dulu." Vania bangkit dari kursi, begitu juga Leo.
"Kenapa kau ikut aku?" tanya Vania kesal.
"Karena aku tak ingin kau memberi harapan palsu."
Tapi tidak juga dengan menggunakan piyama. Lihat d**a bidang yang berotot itu, membuat para gadis terpesona.
"Pakai bajumu! Aku janji tak akan berbohong."
Vania tahu diri karena ditolong oleh Leo. Sebab itu, mulai sekarang ia akan berperilaku baik. Berbeda lagi jika Leo bertindak jahat, maka balasan dua kali lipat akan diterima oleh pria itu.
"Oke…," jawab Leo singkat. Vania pun berjalan keluar rumah, segera setelah pintu gerbang terbuka, ia berlari kecil menuju ke dalam rumah.
Gadis itu langsung berteriak sangat keras, membuat para tetangga lainnya mulai kebisingan.
"Huh…, aku benar-benar marah."
Dia menaruh tubuhnya di sofa dengan lemas. "Aku juga malu."
Padahal di otaknya tadi sudah tersusun rencana untuk melawan pria itu. Tapi akhirnya, dia tak berkutik sama sekali.
Sementara itu, Raul bersama dengan kepala proyek sudah berada di bawah bukit. Sayangnya, pria itu harus menelan getir pahit karena sinyal ponsel memang rusak.
"Apa yang harus aku lakukan?"
"Setelah mengukur tanah dan rapat, kau boleh kembali sebentar. Tapi ingat, jangan lama-lama."
"Terimakasih, Tuan," kata Leo dengan wajah bahagia.
Karena tujuannya adalah membuat Raul sibuk tanpa curiga. Untuk itu, dia harus kelihatan alami.
Kasihan juga Raul, punya saudara seorang gadis ditinggal sendirian. Mungkin kalau dirinya juga akan melakukan hal yang sama.
Bicara tentang Vania, gadis itu lumayan cantik, sampai membuat Leo pun beralih pandang padanya. Si kepala proyek juga kagum dengan kecantikan gadis itu.
Vania, apa yang dilakukan gadis tersebut?
Tentu saja ia sedang bersiap ke rumah Alice terlebih dahulu. Karena sejak kemarin, ia tak bisa menghubunginya.
"Apakah si tetangga mau ikut berkunjung ke rumah Alice?"
Vania ragu ingin mengutarakan maksudnya, sampai tidak menyadari bahwa Leo sudah berdiri di depannya.
"Ah…," ringis gadis itu dengan pelan saat kepalanya membentur d**a bidang milik Leo yang cukup keras.
"Jangan pernah melamun lagi."
Suara itu membangunkan lamunannya, segera membuka telinga dan memfokuskan otak dengan cepat.
"Bagaimana bisa kau ada di sini?"
Vania kan masih berada di dalam rumah, dan sekarang berakhir di depan halaman depan.
"Sepertinya pikiranku tidak fokus sama sekali."
Vania menatap Leo dari atas hingga bawah, baru kali ini dia menggunakan pakaian kasual. Sungguh sangat tampan, sampai tidak sadar bicara sendiri.
"Benarkah!"
"Benar sekali!" jawab Vania tanpa keraguan. Gadis itu langsung salah tingkah, "Apa? Tidak benar!" selaknya dengan cepat.
Leo tersenyum, lalu membuka pintu mobilnya. "Kita berangkat sekarang!"
Vania menghela nafas panjang, masuk ke dalam mobil. Ada Ben yang sedang duduk di depan kemudian.
Saat Leo masuk lewat pintu sebelah kiri, ia segera bersandar di punggung jok mobil.
"Aku mau berterimakasih kepadamu."
"Tidak usah sungkan," jawab Leo singkat.
Vania ingin marah tapi ditahan kuat-kuat.
"Bisakah kau mengantarku ke rumah Alice?"
"Ben…, pergi ke rumah Alice."
Vania tampak girang, segera memberitahu alamat rumah Alice. Leo pura- pura tidur sambil melirik ke arah gadis yang ada disampingnya.
Jujur, hari ini dia sangat senang, tak bisa berkata apa-apa. Setelah hari ini, ia akan terus mendekati gadis itu.
"Apakah dia beneran tidur?" gumam Vania sedikit mendekat, mengamati garis wajahnya dari alis hingga ke dagu.
Wow, sungguh luar biasa. Dia memang pahatan sempurna. Semua membuat para wanita pasti kagum.
Mata Vania melirik lagi ke arah area terlarang.
"Apa benar dia kasim?"
Mendengar kasim disebutkan, Leo merasa cemas. Tubuhnya mendadak panas dingin karena pandangan menusuk dari Leo.
"Aku rasa tidak! Sepertinya lebih besar dari punya Raul?"
Sebenarnya, apa yang diajarkan Raul pada Vania. Kenapa dia seperti orang m***m seperti ini?
"Hem…, sayang sekali punya besar tapi kasim."
Karena tidak tahan, Leo membuka kedua matanya.
"Astaga…!" pekik Vania menutup mulut sambil mendorong tubuhnya sendiri ke belakang.
Pria itu menutup gorden sebagai pembatas antara penumpang dan kemudi.
"Nyalimu semakin besar."
"Kenapa kau bangun? Jadi, kau tidak tidur!"
Vania merasa dibohongi dan malu bersamaan. Bukan maksudnya menatap pusaka emas milik Leo.
"Bagaimana bisa seorang gadis menatap milikku dengan terang-terangan. Nyalimu sungguh besar."
"Aku hanya asal bicara saja."
Sepertinya berada disekitar Leo membuatnya dalam bahaya.
"Apakah aku perlu memperlihatkan padamu?"
"Tidak!" tolak Vania menutup kedua matanya.
Penglihatannya bisa ternodai oleh hal-hal tabu. Ngomong-ngomong, Vania masih suci dan tak pernah sedikitpun melihat begituan.
"Kenapa? Aku yakin kau ingin melihatnya."
"Tidak mau! Jika kau membuka celanamu aku akan berteriak sangat keras."
Leo bersemirik, tangannya berjalan turun menuju ke resleting.
"Apa yang kau lakukan?" pekik Vania menitipkan kedua matanya. Dia pun mengintip sebentar saat melihat Leo tidak jadi membuka resleting.
"Dasar!"
Tawa Leo pecah melihat reaksi Vania yang sangat lucu menurutnya. Siapa yang mengira kalau dia adalah gadis yang sangat polos.
"Pusakaku akan menjadi milikmu suatu hari nanti," kata Leo memiringkan kepalanya mengejek Vania.
"m***m!"
Untuk kedua kalinya, Leo tertawa menggelegar. Pagi itu adalah pagi yang penuh warna dalam hidup pria tersebut.
Buktinya ia tertawa tiada habis, sampai Ben sendiri juga ikut senyum-senyum. Seperti orang gila.
Itulah hidup pasangan harmonis di masa depan, Ben pun menikmatinya juga.
Tidak berhenti di situ, Vania dengan lancang memukul Leo tiasa henti, sampai kedua tangannya ditangkap oleh pria itu.
"Apakah kau melakukan ini ke semua pria?"
"Tidak! Lepaskan…!" pinta Vania menarik tangannya, tapi tak kunjung terlepas.
"Baguslah…, karena aku adalah orang pertama yang memegang tanganmu seperti ini."
Wajah Vania bersemu merah karena perkataan Leo barusan. Sungguh ia bener-bener jatuh ke dalam pesonanya.
Vania…, Vania…, ternyata kau mulai menyukaiku.