Vania tak punya tenaga untuk bicara karena lelah luar biasa. Kafe begitu rame, sehingga pekerjaan bertumpu padanya. Itu karena Alice tidak datang.
Sekarang nyawa gadis itu seakan melayang di udara. Lihat cara berjalannya membuat semua orang terheran.
"Aku lelah…," kata Vania dengan wajah ditekuk. Gadis itu berjalan menundukkan kepala, tak menatap jalan sama sekali. Dia juga berjalan dengan sempoyongan, seperti orang mabuk.
Hari yang sulit dari hari lainnya. Karena tenaganya terkuras cukup besar. Gadis itu tak menyadari kalau sudah berada di gang sepi. Seperti biasa, Willy mengikutinya dari belakang.
Karena insting Vania peka, gadis itu langsung menoleh ke belakang. Kali ini dia tak berilusi sama sekali karena benar-benar melihat orang yang telah mengikutinya.
"Siapa kau?" Rasa lelah hilang, berubah jadi waspada. Orang itu mendekat, Vania pun bergegas lari. Takutnya dia adalah permorkasa.
"Gawat…! Mana Raul tidak ada di rumah. Siapa yang harus aku hubungi?"
Alice juga sakit, tak ada orang yang dikenal sama sekali. Tetangganya juga acuh padanya.
Untuk pertama kali dalam hidup Vania, dia menyesal telah berbuat buruk pada seseorang.
Tanpa pikir panjang, gadis itu lari seperti dikejar hewan buas. Mulutnya berkomat-kamit makin tidak jelas seperti merapalkan mantra. Sampai di depan rumah, ia bergegas menutup pintu dan semua gorden serta mengunci jendela rapat-rapat.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Vania dengan tubuh gemetar. Terbesit pikiran yaitu menghubungi polisi. Karena mereka satu-satunya orang yang dipercaya.
Singkat cerita, Vania berhasil membuat polisi datang. Dua orang polisi itu sedang mengetuk pintu rumah gadis tersebut.
Karena melihat polisi, Vania membuka pintu dengan wajah pucat pasi.
"Dengan Nona Kimberly?" tanya salah satu dari mereka.
"Iya, saya sendiri," jawab Vania berusaha tenang.
"Bolehkah kami masuk."
Vania mengangguk, membiarkan dua orang polisi itu masuk rumahnya. Mereka bertanya peristiwa demi peristiwa yang terjadi.
"Kami akan berpatroli disekitar rumah anda," kata polis itu.
"Terimakasih banyak."
"Jangan lupa kunci pintunya, Nona. Kami undur diri dulu."
Mereka akhirnya pergi berkeliling komplek. Leo yang melihat mobil polisi menjauh, segera memanggil Ben.
"Ben, temui polisi itu. Jangan biarkan mereka mengusut kasus Vania."
"Saya menegeti, Tuan."
Ben segera keluar dari rumah, menuju ke kantor polisi terdekat dengan menggunakan mobil.
Seorang kepala Polisi datang menyambut pria tua itu.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Ben diam, memberikan kartu nama kepadanya. Segera dia dibawa ke sebuah ruangan kerja milik kepala polisi.
"Silahkan duduk… katakan apa tujuan anda?"
"Tuan saya menginginkan anda mengabaikan kasus Nona Vania kimberly."
"Kami tidak bisa melakukan itu," ujar kepala Polisi terang-terangan.
Ben tak bicara lagi, menyodorkan cek dalam nominal cukup besar.
"Urusan Nona Vania merupakan tanggung jawab Tuan Zang."
Kepala Polisi menatap cek yang ada di atas meja. "Jadi, semua dilakukan oleh Tuan Zang."
"Benar…, Nona Vania tidak akan tersakiti."
Isi cek itu cukup menggiurkan. Dan kepala polisi juga tak mau terlibat dengan Leo.
"Saya mengerti," ucap kepala polisi.
Ben pun segera pergi dari tempat itu, menuju ke taman untuk menemui Willy.
"Tuan…," panggil Willy sambil membuka maskernya.
"Kau bisa bertindak sedikit lebih jauh lagi, Wil."
"Tapi, saya takut membawa trauma besar bagi Nona itu."
"Tenang saja. Tuanku akan mengurusnya."
Willy ingin membantah, tapi apa daya karena sudah dibayar. Dan juga keselamatan anaknya juga sangat penting.
"Baik, saya akan melakukannya."
Jujur, pekerjaan itu baru pertama kali Willy lakukan. Ia merasa perbuatan yang dilakukan adalah sebuah kejahatan. Namun tidak ada pilihan lain dalam hidupnya.
Setelah Ben pergi, Willy melakukan aksinya. Kali ini lebih berani, seperti mengetuk jendela kaca beberapa kali.
Vania yang ada di dalam rumah pun membuka gorden dengan wajah takut. Saat Willu muncul, gadis itu langsung menutup gorden itu, segera mundur beberapa langkah ke belakang.
"Ya Tuhan…!" Vania segera masuk ke dalam ruangan, mencari pemukul bisbol. Ini baru pertama kali dalam hidupnya ada penguntit.
"Apa yang harus aku lakukan?" Dia takut, gemetar tapi berusaha menenangkan diri. Tapi bukan berati dirinya akan menyerah.
"Aku harus menghubungi polisi lagi."
Sang polisi tak kunjung datang setelah dihubungi oleh Vania. Sesuai perintah Ben, mereka mengabaikan kasusnya.
Tiba-tiba, pintu diketuk beberap kali. Vania mengintip lewat lubang pintu. Seorang pria dengan postur familiar datang berkunjung.
Entah kenapa, Vania merasa lega. Tanpa ada keraguan, ia membuka pintu rumahnya.
Mendengar pintu terbuka, Leo balik badan seketika. Pria itu melihat mata Vania yang berkaca-kaca.
Dalam hatinya, perasaan tidak tega pin muncul. Tapi memang ini yang diinginkan. Pria itu harus berusaha keras menahan diri untuk tidak bertindak gegabah.
"Tetangga…," kata Vania dengan bibir bergetar.
"Aku hanya ingin memberimu kue."
Suara itu membuat Vania tenang, seolah berada di hutan sabana.
"Silahkan masuk!"
Gadis itu berjalan perlahan menuju ke sofa, di ikuti oleh Leo.
"Aku hanya mengantar kue saja." Leo menaruh kue di atas meja. Pria itu hendak balik badan, tapi dihadang oleh Vania.
"Tinggallah disini untuk sementara waktu!" Mata gadis itu tertutup rapat karena malu, laku membuka kedua matanya sambil membuang muka ke arah lain.
Betapa bahagianya Leo karena mendapatkan sesuatu yang di inginkan.
"Aku banyak kerjaan," jawab Leo dingin.
"Tolonglah…!" pinta Vania seraya memohon. "Oke, aku salah karena membuatmu menunggu. Jadi, maafkan aku. Di masa dpena aku janji tak akan melakukan hal itu."
Leo tampak acuh, sementara Vania merasa cemas. Bagaimanapun permintaannya terlalu berlebihan untuk seorang tetangga.
"Aku benar-benar sibuk."
Ah, Vania bisa gila. Tidak ada pilihan lain lagi. Akhirnya dia memutuskan sesuatu yang tidak pernah dilakukan.
Ini demi keselamatan ku. Besok aku akan mengadukan keluhan ke kantor polisi
"Biarkan aku menginap di rumahmu!" Kali ini lebih memalukan lagi karena seorang gadis menginap di rumah pria lajang.
"Kamarku sudha penuh," jawab Leo sambil tersenyum tipis.
"Aku bisa tidur di sofa. Aku mohon padamu…, Raul tak ada di rumah. Dan aku merasa di ikuti orang." Sungguh Vania tidak ingin berada di rumah sendirian.
Leo berjalan perlahan menuju keluar rumah, membuat harapan gadis itu pupus. Tapi di ambang pintu, ia menghentikan langkahnya.
"Ikut denganku."
"Terimakasih!" sorak Vania dengan girang. Pertama kali dalam hidupnya ia tinggal di rumah orang lain yang merupakan seorang pria.
Leo yang sangat baik, meski terkadang wajahnya dingin, sisinya lembut juga.
Aku menyesal telah berbuat buruk padamu.
Di masa depan nanti, Vania akan memperlakukan Leo dengan sangat baik.
Sungguh gadis polos, tidak tahu kalau dia sedang diperdaya. Kini, pria yang berjalan di depannya merasa menang karena rencana berjalan lancar.
Akhirnya kau bersamaku juga tanpa paksaan, Vania.
Leo benar-benar bahagia karena keinginan terbesarnya wujud sedikit demi sedikit.
Vania dengan suka rela meminta bantuan kepadanya. Setelah ini, ia yakin mereka akan semakin dekat.