47. Masuk Jeratan

1075 Kata
Vania akhirnya berada di rumah Leo untuk bersembunyi dari penguntit. Sampai disana, pelayan datang memberi minuman hangat. Ben juga ikut serta menyambut Vania dan menjamunya dengan baik "Saya senang anda bisa masuk ke rumah ini lagi, Nona." "Jangan bersikap sopan padaku," kata Vania tidak enak hati." "Anda tamu tuan saya. Sudah menjadi kewajiban untuk bersikap hormat." Ben terlalu berlebihan dimata Vania sampai membuat hatinya tidak enak. "Pergilah…, kalian membuat Vanua tidak nyaman." "Tidak apa-apa. Kalian bisa di sini bersamaku." Berdua dengan Leo lah yang membuat dirinya tak nyaman. Karena dia pria dewasa yang bisa menyerang kapan saja. "Kami undur diri." Ben memberi kode kepada dua pelayan untuk pergi meninggalkan ruangan. "Tapi aku." Tenggorokannya sudah tak bisa mengeluarkan suara lagi karena Leo memberinya biskuit kepadanya. "Jangan menunda pekerjaan mereka." Leo bersandar di sofa, menyaksikan acara televisi. "Bukankah kau ada kerjaan?" "Aku bisa menundanya," jawab Leo dengan cepat. Vania merasa ada yang salah. Tadi saat di rumahnya, Leo tak mau menemani dengan alasan banyak kerjaan. Sekarang jawaban itu berbeda dari sebelumnya. "Kau bohong padaku!" tuding Vania sudah memasang wajah marah. "Tidak!" elak Leo. Pria itu bangkit, membuka lemari yang tak jauh darinya. Vania sampai melongo melihat berkas yang sangat banyak. "Aku tidak berbohong." Untuk kalinya, gadis tersebut merasa bersalah. Dia jelas pria yang baik, tapi kenapa selalu menaruh curiga. "Maafkan aku," sesal Vania sambil menundukkan kepala. "Lupakan." Leo kembali duduk lagi. Kali ini berada disamping Vania. "Apakah kau tidak mengantuk?" "Aku bisa menahannya," kata Vania sambil menoleh. Mata gadis itu menatap lembut ke arah Leo. "Jika kau menatapku seperti itu, aku bisa jatuh cinta kepadamu." Selain berpengalaman, Leo pandai sekali membuat suasana hati Vania jungkir balik. "Omong kosong!" Gadis itu segera menatap ke arah lain. Siapa yang mengira kalau Leo pintar menggombal. Kepribadiannya yang dingin sangat tidak cocok. "Aku akan melanjutkan pekerjaanku. Nikmati acara televisinya." Leo memberi ruang kepada Vania agar tidak waspada dan tidak menjaga jarak dengannya. Bersama gadis itu sungguh sangat menyenangkan. "Ambil minuman dingin juga kau ingin." Pria itu membuka berkas satu persatu sambil. Menatap ke arah Vania yang masih fokus menonton. Pemandangan itu dimasa depan nanti akan menjadi kebiasaan yang sulit dilupakan. "Aku tidak haus," jawab Vania sambil menoleh. Gadis itu tertegun melihat Leo memakai kaca mata. Terlihat sangat seksi dan hot. Mulai dah, otaknya traveling ke pikiran kotor. Sebenarnya, bukan keinginan gadis itu mendambakan tubuh seseorang. "Imanku sedang diuji." Lihat seluruh gerakan yang mampu membuat para wanita bertekuk lutut! Sangat mengagumkan. "Aku tak bisa mengalihkan pandanganku," gumam Vania terus menatap intens ke arah Leo. Saat pria itu mendongak, Vania salah tingkah. Bisa-bisanya dia menatap pria yang jelas bukan tipenya. Apa tipe ideal ku berubah? Wajah Vania langsung memerah karena mengingat kejadian demi kejadian bersama dengan Leo. "Ada apa?" tanya Leo kepada Vania. "Tidak ada." Gadis itu meneguk teh yang disajikan oleh dua pelayan. Tidak ada keraguan sama sekali dengan isinya. Padahal Leo telah meminta Ben untuk memberikan obat tidur dalam dosis yang ditentukan. Apakah Vania langsung tertidur? Belum. Gadis itu masih menyaksikan acara televisi, sesekali melihat ke arah ponsel. Ia ingin mencoba memberitahu Raul, tapi takut kalau membuat pria itu khawatir. Akhirnya niat tersebut di urungkan. Tidak lama kemudian, Vania menguap beberapa kali. Matanya yang semula terjaga mulai redup. "Aku lelah," kata gadis itu sambil menutup kedua matanya perlahan. Kali ini, dia sudah masuk ke alam mimpi. Leo yang melihat Vania sudah benar-benar tertidur segera membawanya ke ranjang. "Akhirnya kau jatuh dalam pelukanku, Vania." Leo menyebabkan anak rambut milik gadis itu, mengecup dahi dengan pelan. Ia juga akan tidur di samping Vania. Tidak lupa, Leo memeluk erat tubuh Vania, sesekali mencium aroma yang membuatnya tenang. Malam ini, kedua kalinya mereka tidur bersama. Tapi untuk besok, pria itu tidak akan beranjak dari ranjang, membiarkan Vania mengetahui semuanya. "Selamat malam, Sayang," ucap Leo ikut menutup kedua matanya. Ben yang sedang mengintip merasa sangat senang melihat Leo tidur dengan damai. Selanjutnya, ia pergi menemui Willy. "Keluarlah…, Wil. Aku perlu bicara denganmu." Willy pun menghampirinya, "Saya sudah melakukan pekerjaan dengan baik." "Tentu. Kau melakukannya dengan sangat baik hingga tuanku puas." Ben memberikan cek lagi kepada Willy. "Besok lakukan lagi tapi lebih ekstrim. Kau boleh menyentuhnya. Ingat, hanya menyentuhnya saja. Setelah itu pekerjaanmu selesai." "Saya mengerti," jawab Willy sambil membungkuk hormat. Ben pun kembali masuk ke dalam rumah. Sedangkan Willy masih berada di tempat itu. Dia menatap cek yang diberikan oleh Ben cukup lama, lalu meneteskan air mata. "Aku tidak menyakiti siapapun." Meskipun rasa bersalah datang menyerbu, tapi keinginan terbesarnya adalah mengumpulkan uang untuk biaya operasi sang anak. Sekarang uang sudah lebih dari cukup. Ia bisa bernafas lega, segera kembali ke rumah sakit. Terkadang, manusia tidak punya pilihan hidup karena tersiksa oleh keadaan. Akhirnya mengambil jalan pintas yang tersedia di rasionalisme mereka. Seperti halnya Willy, mampu melakukan kegiatan kejahatan untuk mendapatkan uang. Semua itu dilakukan demi sang anak. Setelah Willy pergi, Ben menutup gorden jendela kaca. "Aku tahu dia merasa bersalah." Ben sendiri juga merasa bersalah karena meminta orang melakukan kejahatan ringan tersebut. "Tuan tak akan keterlaluan terhadap Nona Vania." Jika itu orang lain, Ben akan diam saja. Tapi ini adalah Vania, seorang gadis yang tidak tahu apa-apa sama sekali. Dia terjebak oleh jeratan demi jeratan yang telah disiapkan oleh Leo. Jika suatu hari nanti Vania mengetahuinya, Ben yakin amarah akan mendominasi hubungan mereka. Diwaktu yang sama, Raul sudah berada di lokasi pembangunan Vila. Tempat itu sangat terpencil, sehingga minim sinyal ponsel. "Apa yang kau lakukan?" tanya salah satu temannya. "Aku khawatir dengan adikku." "Vania sudah besar. Dia bisa menjaga dirinya sendiri." Tapi tetap saja, Raul tidak bisa mengabaikan perasaan itu. Karena darah lebih kental dari air, ia memutuskan untuk turun bukit. "Aku akan ke pedesaan di kaki bukit." "Kau gila! Ini sudah malam! Jika kembali ke sana, maka kau akan sampai di sini pagi hari." Melihat Raul yang gelisah, kepala proyek angkat suara. "Besok pagi aku akan mengantarmu. Kita sewa mobil." Entah apa rencana Leo, kepala proyek tidak ingin membuat Raul curiga. Terlebih lagi tugasnya adalah menahan pria itu. "Terimakasih, Tuan." Baru kali ini, Raul jauh dari Vania. Perasaan gelisah itu pun semakin kuat. Sebisa mungkin ia berpikir positif agar semua baik-baik saja. "Tidurlah…, aku janji besok akan mengantarmu." Raul mengangguk patuh, segera pergi ke tenda untuk tidur. Ternyata saran dari Ben ada benarnya juga. Mematikan sinyal yang ada di sekitar cukup membuat segalanya mudah. "Aku tak tahu kau terlibat dengan orang besar? Karena aku tak berhak mengorek informasi lebih jauh lagi." Jika ingin selamat, maka dia harus tutup mulutnya dan menerima segala arahan dari Ben.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN