45. Perasaan Aneh karena Tetangga

1095 Kata
Siapa yang menyangka kalau peninjauan proyek akan berlangsung secepat itu, seolah memang telah direncanakan. Raul terlihat buru-buru memasukan beberapa pakaiannya ke dalam tas. Bahkan ia sampai lupa untuk menyiapkan makanan Vania. "Vania…! Bangun…! Aku harus berangkat!" Vania belum tahu kalau Raul akan pergi ke luar kota. Dengan mata yang masih terpejam, dia keluar kamar. "Ada apa?" tanya gadis itu sambil mengusap matanya beberapa kali. "Aku akan ke luar kota hari ini. Dan minta Alice untuk menemanimu." Mata Vania langsung terbuka lebar, "Kenapa mendadak sekali? Alice masih sakit. Aku berencana menjenguknya." "Lalu bagaimana? Malam ini kau sendirian?" Wajah Raul terlihat khawatir. "Raul…, aku baik-baik saja." Sudah berulang kali Vania katakan bahwa dirinya bukan anak kecil yang harus dijaga. "Baiklah…, segera pulang setelah bekerja. Aku menyayangimu." Raul mengecup dahi Vania dengan lembut. "Kabari aku setiap waktu." Dia akhirnya pergi dengan mendadak. Kalau saja ketua proyek tidak tergesa-gesa seperti ini pasti pria itu masih berada di rumah. Apakah Raul tidak merasa aneh? Jujur dia merasa demikian. Seolah memang proyek mendadak itu sudah disiapkan sejak awal. Tapi bukan hanya dia yang ikut serta, melainkan beberapa teman terbaiknya dalam bekerja juga ikut. Vania pun masih bersandar di dinding hingga beberapa menit. Ia mengingat perjuangan Raul dari remaja hingga dewasa seperti sekarang. "Aku paling menyayangimu," gumam Vania berjalan menuju ke kamar mandi. Gadis itu menyanyi cukup keras, hingga terdengar sampai rumah Leo. Meskipun suaranya tidak begitu bagus, tapi pria itu menikmati dengan baik. "Apakah Willy sudah kau beritahu?" "Sudah, Tuan. Dia siap melakukan perintah hari ini." Pria itu menyesap kopinya dengan pelan, menikmati sensasi manis dan pahit bersamaan. "Raul sudah pergi. Sekarang Vania sendirian. Kalau Willy bergerak, dia akan membutuhkanku." Leo senang karena semua rencananya berjalan dengan lancar. Sekarang tinggal menunggu waktu untuk membuat Vania terkesan. "Bukankah ini akan jadi menarik, Ben?" Leo bangkit, Ben segera memasang jas ke tubuh tuannya. "Saya sudah mengetahui beberapa dana gelam orang yang melawan anda, Tuan." "Aku selalu suka kinerjamu. Berikan berkasnya kepadaku." Ingin menurunkan posisi jadi pemimpin perusahaan. Jangan harap, karena Leo akan membungkusnya sangat kejam. Tidak hanya itu, ia akan menurunkan mereka dari kasta, sehingga mencapai titik terendah. "Aku semakin tidak sabar." Leo pun berjalan keluar ruangan. Seperti biasa, Ben mengikuti dari belakang. Saat membuka pintu, matahari bersinar dengan cerah. Leo menoleh ke rumah Vania. Ternyata gadis itu sedang menyiram bunga. Tidak ada sapaan, seolah menjauh. Mata mereka berdua bertemu, tapi Leo memutuskannya sepihak. Entah kenapa Vania merasa tak nyaman dalam hatinya, seolah kehilangan sesuatu. Tanpa sadar, ia menggigit bibirnya sendiri, sampai mobil yang dikendarai Leo menjauh. "Dia tak menyapa padahal kenal denganku." Vania sangat kecewa, tapi apa daya. Itu semua karena konsekuensi yang harus diterima. "Haruskah aku minta maaf padanya lagi?" Vania tidak ingin menjadi orang yang plin plan. "Alah…, lupakan! Lebih baik tidak terlibat dengannya." Saat hendak balik badan, Vania dikejutkan dengan orang yang menatapnya dari jauh. Dia memakai masker dan juga topi hitam. "Apa yang dilakukan orang itu di sana?" Vania tampak acuh, tapi beberapa detik kemudian pikiran takut menyerang. "Aku harus masuk rumah sekarang!" Segera dia mengunci pintu dengan rapat, mengintip pria itu lewat jendela. "Apa dia penguntit?" Gadis itu mulai berpikir yang tidak-tidak karena kejadian tempo hari. "Jangan-jangan karma," gumam Vania mengintip ke jendela lagi. Orang itu sudah menghilang alias tidak ada dimanapun. "Mungkinkah dia bukan orang? Apa aku perlu memeriksakan diri." Dia mulai berpikir ke ranah yang tidak jelas. "Menyesal aku membuat Raul pergi." Vania pun memilih duduk di sofa sebentar. Tidak mungkin ia berdiam diri di rumah karena ada agenda hari ini, yaitu mengunjungi Alice. Namun rencana itu harus gagal karena dia diminta pergi ke kafe. "Ah…, bagaimana dengan Alice?" Vania pun mencoba menghubungi gadis itu, tapi tak ada yang mengangkatnya. Ia pun segera mengambil tas untuk bergegas pergi ke kafe. Sampai di depan rumah Leo, langkah kaki Vania berhenti. Perasaan diikuti mulai terjadi. Kali ini lebih parah karena sebenarnya dia peka. Seketika itu pula, Vania menoleh kebelakang. Lagi dan lagi, tidak ada orang sama sekali. Karena kosong melompong, gadis itu pun melangkahkan kaki kembali. Meskipun berusaha mengabaikan, tapi perasaan diikuti tetap kuat. "Sial!" erangnya frustasi lalu berlari sangat kencang, seperti dikejar setan. Untung saja letak kafe beberapa gang dari kompleks perumahan miliknya. "Kau cepat juga," kata teman Vania yang baru saja membuka kafe. "Aku merasa haus." Dia menyerobot masuk ke kafe begitu saja untuk segera mengambil air minum. Pagi ini benar-benar buruk, seolah diikuti dan perasaan kurang nyaman cukup kuat. Vania tidak bisa cerita dengan orang lain, kecuali teman terdekatnya. "Wajahmu terlihat lelah, Vania." "Aku tidak apa-apa." Vania segera duduk untuk mengatur laju nafasnya agar kembali normal. Saat ada pelanggan, ia langsung bersikap ramah. "Pesan apa?" Tiba-tiba Vania ditarik oleh seseorang dari belakang. Usut punya usut, dia Michael. "Kau lupa apronmu." Astaga, kenapa Vania bisa ceroboh. Bahkan ia lupa name tagnya. "Maafkan aku, Bos." Ada angin apa bosnya datang lebih awal. Dan juga untuk pertama kali mereka bicara normal sejak pembicaraan terakhir kali sebelum pesta. Huh, Vania ceroboh karena terlalu banyak pikirkan. Hingga tidak menyadari kelalaian kerjanya. Dia bergegas mengambil apron. Dan matanya dibuat terkejut saat kembali ke tempat kasir. "Dia," gumam Vania ragu untuk mendekat. Vania ingin menyapa tetangganya itu, tapi diurungkan. "Aku akan melakukan pekerjaan lain." Gadis itu menuju ke pantry untuk membuat pesanan orang yang sedang menunggu. Sementara itu, Leo melirik sekilas ke arah Vania yang tampak fokus. Sebenarnya, ia ingin dekat, bicara meskipun dua patah kata. Jujur, pria itu rindu hingga menurunkan egonya. "Aku ingin americano." "Tolong ditunggu," pinta pelayan itu. Dia berjalan menuju ke arah Vania untuk membuatkan pesanan yang Leo minta. Aku ingin memeluknya. Kesabaranku sudah habis. Saat minuman sudah selesai dibuat, Vania memberikan langsung kepada Leo. Mereka saling berhadapan satu sama lain, tapi tidak bersuara. Ya ampun, lidah Vania mendadak kelu karena kebingungan. Jujur, ia merasa bersalah. Aku menyesal hubungan kita jadi seperti ini. Yang dilakukan gadis itu hanya melihat Leo berjalan menjauh dari kafe sampai masuk ke dalam mobil. "Dia sangat tampan," ujar salah satu temannya. "Kau benar. Dia memang seperti pahatan," jawab Vania tanpa sadar. Michael tak menyangka kalau Vania akan bicara blak-blakan. "Apa kau puas? Aku harus menutup panggilan ini." Usut punya usut, ternyata sedari tadi Leo meminta Michael untuk memperlihatkan reaksi Vania ketika dia keluar kafe. Pria itu benar-benar memiliki banyak rencana di dalam otaknya. Melihat Leo yang tersenyum, Ben merasa senang. Setidaknya suasana hati sang tuan seperti musim semi. "Entah kenapa, rasanya ada kesenangan tersendiri," gumam Leo didengar oleh Ben. Jelas lah, karena reaksi Vania ketika ditanya temannya tadi membuat hati pria itu lega. Tidak menyesal ia punya wajah tampan. Bahkan sekarang pria itu sedang berkaca di kamera ponsel. Sungguh pria yang narsis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN