Melarikan diri dari Leo, hanya sementara. Jujur pergi ke kamar mandi, hanya dalihnya saja. Akan tetapi Vanita tetap melakukannya. Gadis itu sedang kebingungan mencari kamar mandi, sebab ia tak tahu dimana letaknya. Ini karena terlalu bodoh hingga lupa bahwa tempat yang disinggahi itu bukan rumahnya.
Vania berkeliling rumah sambil menatap ke arah dinding yang banyak lukisan. Ia tak menyadari kalau ada seorang pelayan yang mengikutinya sejak lama.
"Nona…," panggil pelayan itu dengan wajah takut.
Vania tersentak kaget, "Oh…, maaf aku terlalu lancang. Bisakah kau memberitahuku dimana letak kamar mandinya?"
Si pelayan itu mengangguk, berjalan terlebih dahulu, sedangkan Vania mengikuti dari belakang.
"Maafkan saya. Bisakah nona memberi tahu makanan yang disukai?"
"Aku bukan tipe orang pemilih makanan. Lagi pula, tak perlu repot-repot. Dan jangan memanggilku nona."
Vania segera masuk ke dalam kamar mandi. Dia berdiri di depan kaca cukup lama. Untung saja gadis itu sempat jalan-jalan untuk mengulur waktu.
"Haruskah aku menerima tawaran Leo?"
Tinggal bersama pria yang bukan saudara atau suaminya, dia merasa tak nyaman. Tapi, siapa lagi yang bisa dijadikan sandaran.
"Bagaimana kalau memberitahu Raul. Siapa tahu, dia memperbolehkan."
Vania pun menghubungi Raul. Sayang sekali panggilan tersebut diluar jangkauan. Beberapa kali gadis itu melakukan panggilan, tak ada respon sama sekali.
"Setidaknya aku mengirim pesan."
Entah kenapa Vania merasa gelisah dilain sisi juga kebingungan.
"Aku tak mau tidur seranjang seperti sebelumnya." Bisa rusak martabat gadis itu jika tidur bersama pria yang bukan suaminya.
Lama berdebat dengan dirinya sendiri, akhirnya Vania keluar kamar mandi. Ia dikagetkan oleh Leo yang sedang menunggu di depan pintu.
"Aku kira kau tersesat."
Vania tak menjawab, membuang muka ke arah lain. Tangannya tampak gelisah, menyentuh lengannya sendiri.
"Ada apa dengan dirimu?" Leo sengaja mencondongkan wajahnya, hingga mereka saling berhadapan satu sama lain.
"Astaga!" pekik Vania mundur beberapa langkah ke belakang sampai terpentok pintu.
"Apakah aku sangat menyeramkan?"
"Tidak…!" jawab gadis itu. "Hanya saja terlalu dekat."
Leo tersenyum lembut, mengungkung Vania. Lihat kedua iris matanya, seperti hewan buas yang kelaparan.
"Sepertinya kau menyukaiku, Vania," ujar Leo dengan penuh percaya diri.
Bola mata Vania melotot sempurna, segera mengelak tuduhan itu.
"Tidak mungkin!" Dia mendorong Leo untuk kedua kalinya, tapi gagal total. "Kenapa keras?" Tanpa sadar gadis itu meraba-raba d**a bidang milik Leo.
"Kau menyingkirlah!"
Tidak ada respon dari pria itu, dia malah keenakan disentuh oleh Vania. Saat ini, mata gadis itu tertuju pada daerah sensitif milik Leo.
Ada gundukan cukup besar bergerak-gerak meronta karena sesak.
"Kau bukan kasim!" Vania memeluk tubuhnya sendiri.
"Siapa bilang aku seorang kasim."
Ini gawat, ternyata Leo sangat sehat dan bugar. Hanya dengan sentuhan itu, dia bereaksi lebih dari seharusnya.
"Beri aku ruang untuk pergi."
"Sayangnya aku tak bisa melepaskanmu. Sentuh aku lagi, Vania," pinta Leo dengan manja.
"Dasar m***m!" Gadis itu menginjak kaki Leo cukup keras sampai meringis kesakitan. Kungkungan nya longgar sehingga Vania segera melarikan diri sejauh mungkin.
"Ah…, sial! Aku semakin gila!" emang Leo frustasi tapi dengan suara lirih. Pria itu melirik ke tongkat emasnya.
Sejauh ini, tak ada rangsangan yang bisa membuatnya sampai ke tahap ereksi. Meskipun ada gadis di luar sana yang telanjang bulat di depannya, Leo tak bereaksi sama sekali.
Dia kira kalau dirinya mengalami disfungsi, tapi ternyata tidak.
"Aku bangga padamu."
Bukan malah marah, tapi dia begitu tenang. Leo pun berjalan menuju ke kamar untuk mandi dengan air dingin.
Sementara Vania kembali ke ruang tamu. "Aku harus berpikir lagi untuk tinggal bersama dengannya."
Sumpah, berada di dekat Leo sama bahayanya. Namun ia tak marah, melainkan senang.
Rasanya, aku jatuh cinta dengan Leo.
Vania meraba jantungnya yang terus berdetak kencang. Memang aneh, menyukai pria seumuran dengan kakaknya.
"Dia tidak terlalu tua, malah seksi."
"Ehem!" Suara deheman dari seseorang membuat Vania terperanjat.
"Ben…," panggil gadis itu terlihat malu.
"Saya mendengar semuanya, Nona," kata Ben ikut tersenyum.
"Aku tak berkata apapun. Anggap kau tak mendengarnya."
Hais, Vania malu untuk kedua kalinya. Kalua ada tembok baja besar, ia akan bersembunyi di balik tembok itu.
"Jangan menahan perasaanmu, Nona. Bisa jadi penyakit," Nasehat Ben cukup bijak.
Kalau dipikir, Ben pasti sudah lama bersama Leo. Untuk mengalihkan pembicaraan, Vania mengangkat topik lain.
"Bagaimana dengan Alice?"
"Saya sudah mengantarnya dengan selamat." Ben masih setia berdiri, membuat Vania merasa tak nyaman.
"Duduklah, Ben. Ceritakan tentang Leo."
Kali ini, Ben duduk tanpa keraguan. Senang rasanya bisa membagikan masa lalu tuannya.
"Katakan padaku? Kenapa hubungan Leo dan Aunty Vanya bisa kandas?"
Pertanyaan ini menjebak, Ben tak bisa menjawabnya.
"Lebih baik, nona tanya kepada tuan sendiri. Saya tak bisa berkata apapun."
Ternyata gadis yang ada di hadapannya tak tahu mengenai masa lalu apa yang terjadi pada keluarganya. Sungguh gadis yang malang. Jika dia tahu, apa yang terjadi?
Yang jelas kebencian? Bisakah Leo menerima hal itu.
"Aku pernah bertemu dengan Leo, oh maksudku Kris saat masih kecil."
Nama yang sudah dibuang akhirnya keluar dari mulut seseorang.
"Di masa depan, jangan mengucap nama itu lagi, Nona. Tuan tak akan suka." Ben bangkit dari sofa. "Kalau nona tanya mengenai masa kecil tuan, maka saya akan menjawabnya. Saya masuk dulu, karena ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan."
Vania hanya bisa menatap kepergian Ben saja. "Aku tak bisa tinggal di sini, aku akan tinggal bersama Alice."
Leo mendengar percakapan mereka. Doa segera memberi kabar kepada Alice untuk membuat alasan yang jelas.
"Kenapa dia tak menjawab telpon nya?"
Vania menaruh ponselnya begitu saja karena kesal. Dia menghela nafas beberapa kali.
"Suara helaan nafasmu terdengar sampai telingaku."
Suara itu membuat Vania menoleh. Melihat Leo yang sangat segar, matanya tidak berkedip sama sekali.
Gila! Dia sangat tampan!
Dia berjalan dengan perlahan. Waktu pun mengikutinya, seolah melambat. Vania tak habis pikir, ada manusia setampan Leo.
"Apa yang kau lamunkan?"
Vania berdehem kembali menatap ponselnya. Dia tak mengatakan apapun sampai Leo duduk di samping gadis itu.
Bau harum tubuh Leo menyeruak masuk ke dalam rongga hidung Vania. Pria itu benar-benar penggoda ulung, seperti seekor rubah.
"Menjauh dariku," usir Vania pindah posisi duduk. Hasilnya mereka jadi berhadapan satu sama lain.
"Akui saja kalau kau terpesona olehku, Vania."
Skakmat, Vania kalah telak karena tidak bisa menyangkalnya.
"Diam berarti iya." Leo merasa menang. "Kalau aku bilang menyukaimu, apakah kau percaya?"
Mata Vania menatap kedua iris Leo untuk mencari kebohongan. Karena tidak menemukan kebohongan itu, ia menundukkan wajah sangat dalam.
"M-masih ada gadis diluar sana yang lebih dariku."
Sumpah, perkataan Leo membuat jantungnya berdebar tak karuan. Hebatnya, ia bisa mengatasi hal itu meskipun gugup.
Leo pun tidak akan menyerah dengan mudah. "Aku akan membuktikan perkataanku."
Vania merasa di atas awan. Pria di hadapannya memang seratus persen adalah rubah. Anehnya, gadis itu sangat candu untuk melihat sorot mata tajam itu.
Keduanya saling beradu pandang satu sama lain. Ibarat dunia hanya milik berdua. Mungkin hanya jam dinding yang berdetak, ditambah kedua jantung mereka yang terdengar di telinga masing-masing.
Karena Leo tenggelam dalam kedua mata Vania yang indah menurutnya, tanpa sadar dia berjalan mendekati gadis itu. Jongkok untuk pertama kalinya.
Leo meraih pipi Vania dengan lembut, mengelus penuh sayang.
"Aku sangat mencintaimu, sampai aku jadi gila."
Kata-kata itu bukanlah kebohongan, tapi pengakuan. Malam ini, ia mengaku kepada Vania, berharap gadis itu mau menerimanya.