59. Gelisah

1222 Kata
Suasana menjadi canggung saat kedua orang itu diam dalam satu ruangan. Vania kini bingung dengan pengakuan Leo. Mereka baru saja kenal, tapi pria itu telah berkata cinta padanya. Perasaan tak mudah muncul begitu saja. Apa yang dipikirkan Leo? Vania sendiri tak tahu karena pria itu tidak bisa ditebak dengan mudah. Lika-liku kehidupan mereka jelas berbeda. Kalau Leo mau, dia bisa mendapatkan wanita kaya raya, tidak seperti dirinya yang bau kencur dan miskin. Namun Vania sendiri juga menyadari perasaannya. Dia sudah jatuh terhadap lelaki yang pernah menjadi kekasih aunty nya. Apalagi, perbedaan umur mereka terpaut sepuluh tahun. Mungkinkah cinta mereka bisa bertahan? Melihat Vania yang diam seperti menimbang sesuatu, Leo hanya bisa menundukkan kepala sambil menahan diri. Bagaimana jika Vania menolak dirinya? Apakah ia sanggup? Banyak pertanyaan negatif yang timbul dalam benak san casanova itu. "Aku tak tahu." Hanya itu yang keluar dari mulut Vania. Leo mendongak, dengan tatapan sayu. Semua ekspresi itu menyentuh hati gadis tersebut. Sungguh rasanya tidak berdaya dengan tampilan wajah Leo sekarang. "Maksudku, aku akan memikirkannya. Beri aku waktu," ujar Vania kebingungan. "Aku akan menunggumu." Leo mengecup punggung tangan Vania dengan lembut. "Karena aku mencintaimu." Kata-kata manis itu baru di dengar oleh Vania dalam hidupnya. Cinta yang datang disaat usianya beranjak delapan belas tahun. Selama ini, ia acuh akan hal perasaan berbunga-bunga itu. "Jangan membuatku menunggu terlalu lama, Vania. Karena aku bukan orang yang sabar." Leo yang semula jongkok duduk disamping gadis itu. "Bisakah kau memberiku pelukan." Vania mengangguk, menyetujui permintaan Leo. Ia memeluk pria itu cukup erat untuk menyalurkan rasa hangat. Wajah Leo menggelap karena harus menunggu lebih lama lagi. Vania tak tahu bahwa ekspresi wajah pria itu begitu buruk. "Besok pagi, beri aku jawaban." Itu terlalu mendadak, Vania belum siap sama sekali. Siapa yang diajak diskusi. Alice saja tidak bisa dihubungi. "Bukankah itu terlalu mendadak!" seru Vania melepas pelukan tersebut. Seketika itu pula ekpresi wajah Leo berubah total menjadi lembut. "Karena aku tak sabar ingin resmi jadi kekasihmu." Ayolah, melihat wajah tampan Leo, Vania merasa kalah. Dia terlihat menggoda dan manis. Apakah jatuh cinta itu bisa membuat orang buta? Sampai-sampai orang yang dicintai terlihat manis dari segi manapun. Padahal, jika orang lain melihat wajah Leo, mereka tidak akan memikirkan hal manis, malah merasa takut dengan wajah mengintimidasi itu. "Aku malu," kata Vania terang-terangan. "Jika malu bersembunyilah, maka aku akan mengejarmu," goda Leo. Hais, Vania tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia bangkit begitu saja. "Tunggu!' Leo meraih lengan gadis itu. "Apa kau akan kabur seperti sebelumnya? Kita makan dulu." Vania menggeleng kepala pelan, tapi perutnya berbunyi. Dia semakin malu. Tawa Leo pun pecah, bukan tawa kesal atau marah, tapi tawa kebahagiaan. "Jangan tertawa," ujar Vania menutup wajah dengan kedua tangan. "Bibirmu berbohong, tapi tubuhmu tidak bisa di ajak kerja sama." Akhirnya, dengan berat hati dan malu luar biasa, Vania hanya bisa mengikuti Leo yang mengajaknya makan malam bersama. Hidangan di atas meja cukup mewah, seperti restoran kelas atas. Sepertinya para pelayan ingin menjamu tamu Leo dengan penuh hormat. Sayangnya, Vania tak begitu suka dengan hidangan mewah itu karena pemborosan. Orang kaya memang berbeda, batin Vania di dalam hati. Kalau dipikir panjang lagi, Leo seharusnya tidak tinggal di tempat perumahan sederhana. Dia kaya, punya dua pelayan dan satu lagi, Ben yang selalu setia menemani. Orang sekelas dia harus tinggal di Vila atau mansion, bisa juga apartemen mewah. Apa tujuan pria itu? Lama termenung, Vania tidak menyadari kalau Leo juga menatapnya. Gadis pintar seperti dia pasti mengira hal yang tersaji terlalu berlebihan. "Apakah makanannya tidak sesuai dengan seleramu?" "Bukan seperti itu, semua terlihat enak. Hanya saja terlalu banyak." Vania semakin canggung dengan kesenjangan sosial yang terjadi diantara mereka. Karena tidak mau membuat Leo berpikir negatif, Vania segera menyantap hidangan itu. Sungguh enak, mungkin itu makanan rumahan terenak yang dimakan. Mengingat makanan lezat, gadis tersebut jadi teringat Raul. Bagaimana kabar Raul? Pria itu sangat gelisah saat hendak tidur. Mata yang sudah mengantuk tak bisa ditutup. Beberapa kali, dia mendesah, sampai orang yang ada di sampingnya merasa terganggu. "Aku tidak bisa tidur kalau kau terus saja seperti itu, Raul." "Maafkan aku," kata Raul sambil bangkit. "Aku akan mencari udara segar. Entah kenapa, pria itu sangat kepikiran dengan Vania. "Apakah dia baik-baik saja?" Raul mengeluarkan ponsel di saku. Di tempat itu tak ada sinyal sama sekali. "Kenapa aku merasa berada di tengah hutan belantara?" Seharusnya sinyal masih ada karena mereka berada di sekitar pemukiman warga. "Besok aku harus ijin kepada kepala proyek untuk pulang." Nanti kalau sudah bertemu dengan Vania, Raul akan kembali lagi ke tempat itu. Pertemuan dengan sang adik hanya untuk memastikan keadaannya baik-baik saja. "Hais…, aku sangat gelisah," kata Raul sambil menatap bintang. Terkadang firasatnya tidak bisa dibohongi. Apalagi sekarang banyak aksi kejahatan. Akhir-akhir ini kabar beredar mengenai penguntit. Terlebih lagi beberapa hari kalau Vania merasa diikuti oleh seseorang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Seseorang yang tidak dikenal menegur Raul. Dia adalah salah satu penduduk desa. Raul menoleh, "Saya sedang mencari angin." Pria asing itu pun mendekat karena melihat Raul sedang memegang ponsel. "Tower sinyal ponsel sedang dalam perbaikan. Makanya sinyal susah. Jika kau ingin menghubungi keluarga, sebaiknya turun gunung." "Terimakasih," ujar Raul sambil tersenyum. Pria asing itu pun mengangguk, setelah itu pergi. "Besok aku akan pulang." Tekad Raul sudah bulat untuk kembali meski hanya menengok Vania sebentar. Si kepala proyek yang melihat gelagat aneh dari Raul segera menuju ke kamarnya. "Kalau aku turun gunung sekarang, pasti Raul akan curiga. Sialan! Aku tak bisa mencegah dia pulang." Dia pun menyebabkan selimut dengan kasar. "Aku harus turun bersama dengan Raul, supaya bisa memantaunya lebih dekat." Pria itu nanti akan segera melapor kepada Ben mengenai Raul, lebih cepat lebih baik. Di waktu yang sama, Alice sama halnya dengan Raul. Gadis itu juga gelisah, karena keadaan Vania. Meski Leo tak akan menyakiti Vania, tapi tetap saja ia tak tenang sama sekali. Apalagi Ben tadi memperingatinya dengan keras, agar tidak ikut campur masalah Vania. "Apa yang harus aku lakukan?" Gadis itu mondar mandir ke sana kemari, sambil terus menatap jam dinding. Ayahnya penjudi belum pulang, pasti dia menginap di bar. "Kalau saja ayah tidak berhutang banyak." Alice tak bisa bertahan lama di rumah itu. Rencananya ia akan pergi, entah kenapa terus gelisah karena suatu alasan. "Aku akan mencarinya di bar." Walau bagaimanapun, mereka berdua ayah dan anak. Seburuk rupa sang ayah, Alice tetap darah dagingnya. Gadis itu pun mencari keberadaan ayahnya ke bar terdekat. Suatu hal mengejutkan yang didengar dari beberapa orang, bahwa selama seharian penuh batang hidung sang ayah tidak kelihatan. "Apakah kau yakin kalau ayahku tidak kemari?" "Buat apa aku bohong! Ayahmu tak kesini! Cari saja di tempat lain!" Perasaan gelisah pun terus masuk ke dalam. Hati Alice karena keberadaan sang ayah tidak ditemukan di bar itu. "Aku harus cari kemana?" Alice sangat kebingungan, hingga bertemu dengan seseorang. Dia adalah pria yang bertemu dengan ayah Alice di gang. "Rupanya kau, Alice? Ada apa dengan wajahmu itu?" "Paman, apakah kau melihat ayahku?" "Tadi pagi iya, sekarang tidak. Setelah ayahmu mendapatkan pemilik mobil yang datang ke rumahmu pagi hari, dia langsung pergi." Pemilik mobil, pagi hari, batin Alice memikirkan kejadian pagi hari saat Leo datang ke rumahnya. "Ayah…!" teriak Alice begitu menyadari kalau sang ayah dalam bahaya karena mengusik Leo. Gadis itu berlari kencang dan terus berdoa agar ayahnya baik-baik saja. "Kenapa kau serakah?" Alice meneteskan air mata. Tak ada yang bisa dilakukan selain berdoa dan berlari kencang agar sampai ke tempat tujuan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN