Vania berjalan menelusuri gang sepi dengan adanya minim lampu. Ada beberapa lampu yang menyala tidak sempurna.
Suasana itu membuat Vania melebarkan langkah kakinya untuk segera berada di jalan besar.
"Aku menyesal lewat jalan ini," gumam gadis itu mempercepat laju kakinya. Perasaannya mulai tidak karuan karena merasa ada yang mengikuti dari belakang.
Saat menghentikan langkahnya, Vania menoleh kebelakang. Tepat dibawah lampu yang berkedip-kedip, ada orang berdiri.
"Dia…!"
Vania langsung lari sambil mengambil ponselnya untuk menghubungi polisi. Sayang sekali polisi tidak menanggapinya.
"Hais…, aku harus cari tempat aman!" Dia berlari terengah-engah sambil menatap ke arah belakang beberapa kali. Sampai tidak sengaja menabrak seseorang. Akibatnya, Vania terjatuh di aspal.
"Maafkan aku!" Gadis tersebut masih sibuk dengan dirinya, lalu mendongak ke atas. Suaranya tercekat melihat orang yang mengikuti berdiri di depannya.
Vania pun mundur beberapa langkah dalam kondisi menyeret tubuh.
Apa yang harus aku lakukan? batin gadis itu menutup mulutnya sendiri. Tampak pria bertubuh tinggi besar dengan pakaian serba hitam, memakai topi dan masker. pandangan mata begitu tajam dan menusuk, membuat Vania merinding ketakutan.
Satu-satunya cara adalah berteriak cukup keras, agar orang-orang datang. Akan tetap keadaan sepi, berteriak pun tidak ada gunanya.
"Apa yang kau mau?" tanya Vania memberanikan diri meski suaranya bergetar. Pria itu perlahan mendekat, membuat gadis tersebut gelisah dan cemas.
Aku tak bisa berdiam diri seperti ini!
Tiba-tiba saja Vania bangkit dari aspal, mendorong pria itu cukup keras lalu lari terbirit-b***t.
Namun tangannya ditangkap oleh orang asing yang menguntitnya itu.
"Lepaskan aku!" teriak Vania berusaha melepaskan diri. Ujung gang sudah berada di depan mata, tapi terasa jauh. Disaat seperti ini, gadis itu hanya berharap ada orang datang menolongnya. Dia menyesal pulang dari makam lewat gang itu.
"Lepaskan aku!" Vania hendak berteriak, tapi tangannya ditarik oleh pria itu.
Tiba-tiba tarikan itu terlepas karena ulah seseorang.
"L-Leo…."
Lega rasanya melihat orang yang dikenal datang. Dia memukul orang itu beberapa kali hingga terkapar tidak berdaya.
"Apa kau baik-baik saja?"
Vania tidak berkata apapun. Yang dilakukan hanya meneteskan air mata. Kakinya yang dibuat menopang tubuh mendadak lemas. Leo pun sigap membantu.
"Kita pulang sekarang," ujar Leo sambil memapah Vania.
Sebenarnya, Leo tak ingin memukul Willy. Namun karena melihat tangan lancang nya, pria itu bergerak tanpa sadar.
Saat ini, Leo tersenyum semirik karena menang atas apa yang telah dilakukan. Untuk Willy nanti, dia akan mendapatkan bonus setimpal.
"Aku akan menghubungi polisi, dia masih pingsan."
Tubuh Vania bergetar dan mengeratkan pegangan ke lengan Leo.
Melihatnya seperti itu, Leo langsung menggendong Vania ala bridal style.
"Apa yang kau lakukan?"
"Tentu saja membantumu. Kau terlihat ketakutan."
Vania menunduk, "Terimakasih."
Akhirnya berhasil juga mendapatkan hati Vania. Gadis itu tampak malu-malu dan bahkan merasa tenang dipelukannya. Perasaan takut tadi lenyaplah sudah.
"Kau menginaplah dirumahku."
Vania mengangguk patuh karena tak punya pilihan lain. Hanya Leo orang yang bisa dipercaya nya saat ini setelah Raul.
"Sampai kakakmu kembali, tinggal di rumahku, bagaimana?" tanya Leo dengan wajah tersenyum.
Dia terlihat tampan dimata Vania. Entah kenapa ia tak bisa menolak pesona itu.
Apa mungkin aku jatuh cinta padanya. Kenapa dadaku jadi berdetak tidak karuan gini sih?
Yang awalnya ketakutan, kini jadi hilang karena perasaan asing bagi Vania.
"Wajahmu merah," sindir Leo.
"Tidak…!" elak Vania. Gadis itu memeluk Leo dengan erat untuk menyembunyikan wajah malu tersebut.
"Terimakasih sudah menolongku."
Kalau tidak ada Leo, mungkin dirinya sudah tidak suci. Bagi Vania kehormatan adalah segalanya. Jika kehormatan direnggut, pasti hidup tak akan berarti.
Leo semakin senang dengan tingkah gadis itu. Saat ini, ia tak akan melepaskan pelukan itu meski sudah sampai di rumahnya.
Vania mulai mengerutkan kening ketika merasa janggal. Lalu, dia memilih bertanya kepada Leo.
"Kenapa kau bisa ada di sana?"
Leo menaruh tubuh Vania di atas sofa. "Aku hendak membeli mie di ujung gang." Sangat dusta, tapi alasan yang bagus karena restoran kecil memang berada di ujung gang.
"Sekali lagi, terimakasih." Vania meneteskan air mata. Kenapa dirinya rapuh dihadapkan oleh kejadian seperti ini?
"Tiga kali kau berterima kasih padaku," ujar Leo menghela nafas panjang.
Siapa saja bisa syok kalau di ikuti oleh seseorang yang tidak dikenal. Apalagi orang mencurigakan seperti pria itu.
"Jangan menangis…, kau aman di sini," kata Leo lembut sambil mengusap air mata gadis itu.
Vania menundukkan kepala. "Jika kau tidak datang, aku tak tahu lagi harus bagaimana. Dia sangat cepat, memegang tanganku. Hiks."
Dengan suara bergetar sambil menangis, Vania berbicara mengeluarkan keluh kesahnya.
"Aku sudah berusaha lari, berteriak, tapi tak ada orang yang datang."
Leo pun memeluk gadis itu dengan lembut. "Tenang saja…, aku akan menjagamu."
Kenapa tetangganya itu baik sekali? Dia mau menjaganya, padahal bukan siapa-siapa.
Vania tidak menjawab perkataan Leo karena terperangah. Sampai pria itu bangkit pergi ke ruangan lain pun masih di tatap nya.
"Apa yang harus aku lakukan?" pekik Vania tertahan. Gadis itu baru menyadari kalau Leo sangat perhatian. Disamping itu pula, dia ingin membantu tanpa syarat. Sejujurnya, Vania merasakan kalau hatinya terjerat oleh pria itu.
"Aku seperti anak remaja yang sedang jatuh cinta."
Wajah Vania merah merona membayangkan indahnya berpacaran dengan seseorang. Sampai tidak menyadari kalau Leo sudah duduk di sampingnya sambil membawa air minum.
"Sepertinya, kau memikirkan sesuatu."
Vania tersentak kaget, menoleh dengan canggung luar biasa. Sejak kapan Leo duduk disampingnya? Ia bahkan tidak merasakan kehadiran pria itu.
"Vania…, jangan memikirkan orang lain selain diriku." Leo menggunakan ekspresi wajah bak malaikat agar terlihat tampan berkali lipat dari biasanya.
"Jangan memasang wajah seperti itu," ujar Vania mulai merasa gila.
"Bolehkah aku pegang tanganmu." Leo meminta izin karena tak ingin membuat Vania takut. Tanpa diduga, dia mengangguk.
Gadis ini sudah mulai membuka hatinya untukku.
Betapa senang hati Leo, mendapatkan Vania hanya dengan dua rencana. Pendekatan gagal, maka dengan kelicikan. Berpura-pura menjadi malaikat penolong, padahal dia yang merencanakan semuanya.
"Apakah kau malu?" Leo sangat gemas melihat Vania yang seperti kelinci baginya.
"Karena kita bukan siapa-siapa," jawab Vania. Sepersekian detik kemudian, gadis itu merutuki kebodohannya sendiri.
Kenapa aku menjawab seperti itu? Kesannya aku ingin jadi spesial di hatinya. Uh, Vania kau terlalu bodoh!
"Jangan menanggapi perkataan omong kosongku, Leo." Takutnya Leo merasa tersinggung.
"Malah aku senang."
Dagu Vania di tarik oleh tangan Leo sehingga mereka berdua saling berhadapan satu sama lain.
"Aku senang kau mau menerimaku."
Vania tak bisa berkata apapun lagi. Melihat rayuan maut Leo yang membuat hatinya berbunga-bunga. Ia baru merasakan perasaan menggelitik itu, sedangkan Leo sudah pernah merasakan, mungkin saja sudah berpengalaman. Sangat tidak adil bukan?
"Perkataan mu begitu ambigu bila dicerna."
"Jika seperti ini, apakah akan menjadi ambigu?"
Leo mengecup dahi Vania dengan lembut. Meskipun terbiasa dengan kecupan, tapi apa yang dilakukan Leo berbeda dengan Raul.
"Apakah kau paham?" Tangan Leo beralih ke bibir Vania. "Jika kau paham, kau akan melanjut nya."
Bola mata Vania langsung melotot. Tanpa sadar ia berdiri tegak. "Aku akan ke kamar mandi!"
Vania langsung kabur begitu saja membuat Leo tersenyum senang.
"Dia begitu malu. Padahal dia tak tahu letak kamar mandinya di mana? Sungguh alasan yang klise," kata Leo menggelengkan kepala beberapa kali. Dia pikir bisa mengatasi semuanya dengan mudah.
Akan tetapi perasaannya terus saja membesar seiring berjalannya waktu. Untuk kedua kalinya dalam hidup pria itu, jantung tersebut yang sudah menjadi satu dalam tubuh telah berdetak cukup kencang.
"Aku gila karenamu."