Leo sengaja bermain tarik ulur dengan Vania, makanya ia keluar kafe terlebih dulu. Pria itu tidak pergi, melainkan masuk ke dalam mobil.
Tiba-tiba ada panggilan mendadak dari China. Sebenarnya Leo malas mengangkat panggilan itu. Lagi pula mereka sudah tak ada hubungan dengannya.
Dia sendiri sudah membuat para Zang bungkam. Sejauh itu, tak ada yang berani mengusiknya.
Saat Leo ditengah pembicaraan, tanpa terduga Vania bertemu dengan seseorang.
"Sialan! Kenapa b******n itu bisa ada di sana?" geramnya tertahan. Leo menunggu seorang yang disebut b******n itu pergi. Terlihat jelas ia cukup gelisah, takut kalau Vania akan termakan oleh ucapannya.
"Aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan."
Sesuatu hal yang tidak penting adalah pembicaraan dengan orang asing. Dan Vania tidak suka itu.
Saat pundak orang asing menyentuh dirinya, perasaan takut muncul. Karena beberapa hari ia diikuti oleh seseorang, jadi Vania mengira itu adalah orang yang sama.
Semua pemikirannya salah besar. Orang yang ada di hadapannya sama sekali berbeda dengan orang yang selalu mengikuti akhir-akhir ini.
"Maafkan atas ketidaknyamanan yang kau rasakan, Nona," katanya sambil tersenyum.
Vania menatap pria itu dari atas sampai bawah. "Siapa?"
"Perkenalkan, aku Edgar Lim." Edgar mengulurkan tangannya, dan Vania menyambut dengan baik.
Tunggu! Edgar Lim! Aku pernah membaca nama itu dimana?
Vania ingat dengan undangan pesta di klub malam. Jadi, dia orangnya.
"Bagaimana kalau kita bicara sebentar?" tawar Edgar. Pria itu sengaja mendekati Vania karena tidak mendapatkan kabar dari anak buahnya. Mungkin dia ketahuan atau sedang ada keperluan.
"Maaf, aku tidak mengenalmu," jawab Vania menolak dengan halus.
"Tapi, kita baru saja saling kenal."
"Belum, karena aku tidak pernah menyebutkan namaku." Vania hanya menerima jabatan tangan itu, tapi tidak memberi tahu namanya sendiri.
"Nona Vania…," panggil Edgar dengan senyum manis. Merasa merasa merinding mendengarnya. Bagaimanapun, pria yang ada dihadapan saat ini adalah pria mencurigakan karena mengetahui namanya.
"Aku permisi!" pamit gadis itu melengos pergi.
Edgar tak ingin membuang kesempatan emas untuk menjerat Vania .
"Tunggu, Nona! Aku belum selesai! Datanglaj ke pesta itu, karena aku adalah teman Leo."
Ah Sialan, ingin rasanya Edgar mengumpat karena sikap sombong Vania.
"Dia bahkan tidak menoleh sama sekali!" Akhirnya Edgar pergi dari tempat itu dengan tangan kosong.
Semua kejadian tersebut tak lepas dari pandangan Leo. Dia terlihat marah hingga tak bisa berpikir untuk memaafkan Edgar yang telah berani bertindak lancang.
"Aku akan membuatmu merasakan apa yang namanya keinginan untuk menghilang dari dunia ini!"
Leo segera mengubah ekspresi wajah untuk menemui Vania. Gadis itu pasti sedang kesibukan mencari dirinya.
Mobil itu keluar dari halaman kafe, menuju ke arah sebaliknya dari langkah kaki Vania. Ternyata Leo melakukan perjalanan memutar untuk memulai drama dengan gadis itu.
Singkat cerita, mobil Leo berhenti di sebuah minimarket kecil. Dia bergegas masuk ke tempat itu untuk sekedar membeli minuman. Tentu saja juga untuk menunggu gadis itu.
Saat hendak membayar, Leo melihat Vania di seberang jalan.
"Ambil kembaliannya," kata pria itu segera keluar mini market. Dia berpura-pura tidak melihat Vania.
Sementara itu, Vania melihat Leo sedang keluar mini market.
"Aku lelah mencarinya, ternyata dia ada di sini. Karena orang asing itu semua jadi berantakan. Meskipun dia kenal dengan Leo, tapi aku tak mengenalnya."
Tidak ingin kehilangan kesempatan untuk membayar hutang, Vania menyeberang jalan dengan tergesa-gesa. Hingga ada suara klakson mobil dari arah kanan. Sopir yang mengendarai mobil itu mengumpat kasar.
"Maafkan aku."
Kejadian itu menyita banyak perhatian semua orang, termasuk Leo. Sebegitu tak maunya Vania berhutang budi? Sampai rela hampir kecelakaan.
"Leo…!" teriak Vania cukup keras. Leo berdiri di depan pintu mobil, menatap lurus ke arah gadis itu. Jelas ia ingin memaki, tapi hanya bisa dipendam dalam hati.
"Aku sudah mengambil uangnya." Vania tampak ngos-ngosan seperti lari maraton.
"Masuk mobil!"
Hanya itu suara yang keluar dari mulut Leo. Entah kenapa dia seperti malas. Vania yang masih mengumpulkan sisa energi tak bisa menolaknya begitu saja.
"Masuk sekarang!"
Waduh, perkataan itu seperti perintah mutlak bagi Vania.
"Iya…!"
Hah, Vania menghela nafas kasar karena tidak bisa membantah Leo. Mereka berdua masuk ke dalam mobil.
"Ini uangnya," kata Vania sambil menyerahkan amplop berisi uang.
Leo tidak menanggapi gadis itu, memilih fokus melajukan kendaraan.
Apa dia marah? Tapi kenapa?
Vania tak habis pikir dengan Leo. Tadinya, dia baik-baik saja. Sekarang marah tanpa alasan.
"Aku ingin pergi ke rumah sakit."
"Pulang saja. Ben yang akan mengantar temanmu itu."
Kenapa Leo jadi mengaturnya? Gadis itu ingin menolak, namun niatnya di urungkan.
"Terima uang ini, aku akan menurutimu."
Mobil Leo berhenti mendadak, "Di masa depan jika bertemu dengan orang asing, apa yang akan kau lakukan?"
Leo seperti cenayang bagi Vania. Apa dia tadi melihat berinteraksi dengan orang lain? Sepertinya tidak, karena dia berada di jalan blok depan.
Aku harus perkiraan positif, tapi besar kemungkinan dia mengambil jalan memutar.
"Kenapa diam?" tanya Leo dengan suara dingin. Vania memicingkan mata tak suka dengan ekspresi wajah pria itu.
"Butuh waktu lama untuk orang dekat denganku."
Ah benar, Vania memang selalu berhati-hati.
"Kalau kau bukan mantan kekasih aunty ku, mana aku mau kenal denganmu," gumam Vania didengar oleh Leo.
Gadis itu segera menutup mulutnya yang tidak bisa dikontrol.
"Bagus!" puji Leo dengan wajah sumringah.
Vania menaruh amplop yang di pegangnya disamping tempat ia duduk.
"Aku ingin pergi ke suatu tempat." Karena mobil berhenti, Vania langsung turun begitu saja.
"Vania…!" panggil Leo ikut membuka pintu mobil.
"Aku harus ke pemakaman! Pulang saja! Terimakasih untuk uangnya!" Dia berlari cukup kencang.
"Gadis itu!" geram Leo melihat ke amplop putih yang ada di sampingnya.
"Aku selalu takut kalau dia terjebak oleh pesona Edgar. Ternyata aku terlalu berlebihan."
Tebakan Leo adalah, Vania menolak Edgar mentah-mentah. Bisa dipastikan kalau gadis itu tak akan pernah datang ke pesta.
"Tunggu saja, Edgar…. Balasan ku lebih berkali lipat."
Mobil itu pun menyala, melaju meninggalkan tempat itu. Tidak ada waktu bagi Leo untuk berdiam diri. Karena baginya membereskan Edgar adalah prioritas utama saat ini.
Sampai di klub milik Michael, hari sudah menjelang sore. Sebentar lagi malam tiba, Leo keluar dari mobil, disambut oleh Ben yang memang sudah menunggu kedatangannya.
"Saya sudah menemukan gadis yang hampir sama, Tuan."
"Bawa aku ke sana!" titah Leo.
Ben mengantar Leo bertemu dengan gadis yang dimaksud. Saat sampai di ruangan, dia mendongak, menatap takjub ke arah pria itu.
Wajah dia merona, karena merasa jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Kau sangat lancang!" Nada suara Leo cukup keras karena memberi peringatan kepada gadis itu.
"T-tuan," panggil dia dengan suara bergetar. Gadis itu memang hampir sama wajahnya dengan Vania, tapi tidak terbilang mirip.
Banyak perbedaan di antara mereka berdua. Termasuk tingkah lakunya.
"Jika kau ingin uang, jangan membuatku muak!" peringatan Leo terang-terangan.
Gadis itu berpikir tujuannya ke klub adalah untuk melayani seseorang. Ketika melihat Leo masuk ke dalam ruangan, jantungnya berdegup kencang dan senang.
Dia tak menyangka akan mendapatkan orang begitu tampan. Akan tetapi, semua itu hanya angan-angan saja. Faktanya Leo adalah orang yang paling berbahaya di antara orang yang ditemui.