Naira duduk sendirian di balkon kamarnya. Secangkir coklat panas yang masih mengepulkan asap dengan setia menemani gadis cantik itu. Naira menatap bintang-bintang yang menghiasi langit malam itu. Sesekali dia tersenyum, entah apa yang sedang gadis itu pikirkan.
Otaknya kembali memutar ingatan tentang desas-desus yang dia dengar tadi siang mengenai Ardan. Kabar itu berhasil membuat hati Naira mencelos. Sekarang dia sadar, berjuang sekeras apapun tidak akan bisa membuat kakak tingkatnya itu melihat keberadaan dirinya.
"Kamu memikirkan dia lagi?"
Darian yang sudah berubah wujud menjadi manusia duduk tidak jauh dari Naira. Lelaki bermata kucing itu ikut menatap langit dan memandangi bintang yang sama dengan Naira. Gadis itu menoleh ke arah Darian dan mengangguk pelan.
"Dia sudah memiliki kekasih, Darian. Aku bahkan belum sempat memberikan jam ajaib pemberianmu. Justru aku menjatuhkan benda itu ke lantai hingga hancur. Maafkan aku." Naira menunduk. Dia merasa bersalah karena telah merusak barang pemberian pangeran kucing itu.
Darian menggeser letak tubuhnya. Dia mengikis jarak dengan Naira, lalu mengusap puncak kepala gadis itu dengan sangat lembut.
"Tidak usah minta maaf. Jam itu sudah kembali padaku. Kamu pasti ingat kalau barang-barang pemberianku bukan barang biasa. Saat benda itu tidak digunakan dengan semestinya, dia akan kembali ke tanganku. Kembali ke masalah tentang perasaanmu, apa kamu yakin untuk memilih berhenti mengejar cintamu itu?"
Naira menunduk. Gadis itu menghela napas dan mengembuskan perlahan. Seakan ada beban yang sedang memenuhi perasaannya. Darian mengerti, situasi yang dihadapi Naira saat ini bukanlah hal mudah.
Berat. Menjalani cinta bertepuk sebelah tangan itu tidak semudah yang dibayangkan olehnya. Ada rindu yang terkadang membelenggu tanpa tahu bagaimana cara mengobati. Ada rasa penasaran yang menuntut untuk mengetahui kegiatan Ardan setiap saat.
Sekarang Naira bahkan merasa cemburu pada orang yang jelas-jelas tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Seberat itu mencintai seseorang yang tidak bisa membalas perasaannya, dan sekarang gadis itu sudah menyerah. Dia menyerah karena Ardan sudah memiliki seorang kekasih.
Naira tidak akan peduli saat seisi kampus memuja Ardan. Dia akan terus maju tanpa takut. Gadis itu tetap memperjuangkan perasaannya hingga akhir. Tapi ketika Ardan sudah memilih seseorang untuk menjadi pemilik hatinya? Naira bisa apa selain berhenti?
"Dia sudah punya pacar, Darian. Jadi kurasa memang sudah saatnya aku berhenti menjadi pemuja kak Ardan. Jangan tanya gimana perasaanku ke dia, semua masih sama. Aku masih sayang dia, aku masih berharap bisa dekat sama dia. Tapi aku tidak boleh egois, kan? Jahat sekali kalau aku tetap mengharapkan orang yang sudah punya pacar, apalagi berniat merebut dia dari wanita itu."
Naira mencoba tertawa, tetapi Darian tahu itu hanya trik seorang Naira untuk menyembunyikan kesedihannya. Lelaki itu tidak tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang dengan cara manusia. Di negeri kucing, cinta tidak dibutuhkan. Mereka hanya akan bertemu dan b******a kalau merasa cocok. Setelah itu tidak ada komitmen untuk bersama. Bahkan mereka bebas menjalani hubungan dengan beberapa kucing sekaligus.
"Seandainya apa yang kamu dengar salah, apa kamu tetap akan berhenti mencintai dia?"
Pertanyaan Darian berhasil membuat Naira kembali menghela napas. Gadis itu tidak tahu lagi harus bagaimana setelah mendengar kabar tentang Ardan yang memiliki kekasih. Naira sangat yakin kalau apa yang dia dengar bukan sebuah kesalahan.
"Aku yakin, aku tidak salah dengar, Darian. Aku juga melihat foto mesra Ardan yang ditempel di Mading kampus. Mereka memang tampak sangat serasi. Gadis itu mampu mengimbangi ketampanan kak Ardan," cerita Naira sambil mengenang kembali apa yang dia lihat tadi di kampus.
"Kamu juga cantik, Naira. Jangan merasa kalah saing dengan seseorang. Mungkin kamu hanya kurang memperhatikan penampilan saja. Tapi kamu tidak perlu berubah. Seseorang yang tulus tidak akan peduli dengan penampilanmu. Dia akan mencintaimu dengan apa adanya."
Kalimat yang Darian ucapkan seperti angin sejuk yang membuat hati Naira sedikit lega. Apa yang dikatakan pangeran kucing itu memang benar, seseorang yang tulus tidak akan membutuhkan alasan untuk mencintai seseorang.
Naira meneguk isi gelasnya perlahan, lalu dia menyandarkan kepala ke pundak Darian. Sekarang pundak lelaki itu menjadi tempat ternyaman bagi Naira untuk bersandar. Jauh di lubuk hatinya yang terdalam, dia sempat membayangkan kalau sekarang dia sedang bersandar di bahu Ardan. Gadis itu juga tidak mengerti, mengapa dia masih saja memikirkan Ardan yang jelas-jelas tidak menghargai perasaan yang dia miliki.
"Darian, terima kasih. Kamu berhasil membuat perasaanku jauh lebih baik. Apa yang kamu bilang memang benar, aku tidak perlu melakukan perubahan hanya untuk membuat orang yang aku cintai mengalihkan pandangan ke arahku. Sekarang aku ingin minta tolong padamu, tolong bantu aku untuk melupakan kak Ardan pelan-pelan."
"Kamu yakin itu tidak akan menyakitimu? Kamu pernah bercerita padaku kalau Ardan sering menjadi alasan untuk kamu semangat pergi ke kampus. Lalu bagaimana denganmu setelah melupakan dia? Apa kamu tidak masalah? Maksudku, apa itu tidak mengganggu aktivitas kamu di kampus?"
"Mungkin awalnya memang berat, tetapi aku yakin aku bisa. Pelan-pelan aku akan menikmati kehampaan karena tidak lagi memiliki seseorang yang aku tunggu-tunggu di kampus. Opsi lain, mungkin aku bisa mencari orang lain untuk mengalihkan perasaanku ke kak Ardan. Kita coba saja dulu."
"Ternyata jadi manusia rumit juga, ya? Mereka tidak berperang secara fisik, tetapi mereka diharuskan perang dengan isi pikiran mereka sendiri. Aku merasa ... menjadi manusia itu tidak mudah. Kehidupan kalian berbeda sekali dengan kehidupan di negeri kami."
Darian pelan-pelan mengganti topik pembicaraan mereka. Dia ingin mengalihkan perhatian Naira dari kemelut perasaannya terhadap Ardan.
"Kamu tidak merindukan keluargamu?"
Pertanyaan Naira membuat senyum Darian perlahan memudar. Tatapan lelaki itu melayang jauh, satu per satu bayangan wajah keluarganya menyapa. Dia rindu mereka, sangat rindu. Tapi dia belum berhasil menemukan senjata untuk melawan Aiden. Percuma rasanya kalau dia kembali tanpa membawa benda yang bisa menyelamatkan negeri mereka dari ketamakan saudaranya tersebut.
"Aku tidak akan pulang sebelum permata itu aku temukan, Naira. Selain itu, aku harus memulihkan kondisiku dulu. Mereka akan menghabisi nyawaku dengan mudah kalau aku berani menampakkan diri sekarang."
Naira menggenggam erat jemari Darian. Dia paham dengan rasa rindu pada keluarga. Itu karena dia juga merasakan apa yang Darian rasakan sekarang.
"Baiklah, sekarang kita fokus saja pada pencarian permata itu. Dengan begitu kamu bisa cepat pulang untuk membebaskan kerajaanmu dari serangan musuhmu itu."
"Lalu bagaimana dengan perjuangan kamu untuk mendapatkan cinta?"
"Aku tidak berminat lagi. Aku sudah bilang, aku tidak mau menjadi pengganggu hubungan orang. Suatu saat aku pasti bisa menemukan seseorang yang lebih baik dari kak Ardan."
Naira memasang wajah ceria. Dia sudah sangat yakin dengan keputusan yang dia ambil.
"Bagus. Kamu memang harus mengambil keputusan yang terbaik, Naira."