Sekuntum Bunga

1022 Kata
"Pagi Naira Cantik!" Seperti biasa, Boy selalu berteriak seenaknya saat melihat Naira di manapun. Gadis itu terlihat sudah terbiasa dengan tingkah Boy yang terkadang suka membuatnya menggelengkan kepala. "Pagi," jawab Naira dengan nada lesu. Hari ini dia sedang tidak berminat untuk bertengkar dengan Boy. Dia ingin menikmati pagi dengan damai, bertemankan hatinya yang terluka. "Hei, Lo kenapa? Pagi ini Lo kayak bukan Naira yang biasanya. Lo lagi ada masalah? Cerita sama gue. Oh, gue tau ... kucing besar itu diambil sama sepupu Lo, ya? Makanya Lo sedih?" Boy menyerocos seperti biasanya. Naira hanya menghela napas. "Gimana bisa Lo nebak kalo itu kucing diambil sama sepupu gue?" Naira justru bertanya balik. "Ya ... biasanya kan gitu. Kalo udah biasa main bareng kucing terus kucingnya nggak lagi ada bakalan sedih. Lo pasti ngerasa kalo ada sesuatu yang hilang dari hidup Lo." "Tapi kucing gue masih ada kok," jawab Naira santai. Karena memang Darian sampai detik ini masih ada di sampingnya. "Jadi Lo kenapa? Cerita aja sama gue, Nay. Gue bakalan ngehibur Lo. Tenang aja." "Sementara ini gue nggak bisa cerita ke siapa-siapa, Boy. Masalah gue berat. Gue yakin Lo nggak akan kuat kalo gue cerita." Soal hati, Naira tidak bisa sembarangan bercerita. Dia juga tidak tahu mengapa dia bisa semudah itu bercerita pada Darian. Naira merasa nyaman saat berada di sebelah manusia setengah kucing itu. Dia hanya bisa berharap semoga Darian bisa menjaga rahasianya. Semalam, Naira tidak bisa tidur. Dia terus memikirkan Ardan. Sebenarnya Naira benci harus berada di posisi seperti itu, tetapi dia tidak bisa mengatur perasaannya yang sudah terlanjur jatuh ke Ardan terlalu dalam. Mau tidak mau Naira harus menikmati penyiksaan karena perasaan cinta yang dia rasakan sendiri. "Lo ngeremehin gue, Nay. Belum juga mulai cerita." Boy masih saja berusaha menghibur Naira. Tidak peduli dengan ekspresi gadis itu yang masih terlihat ogah-ogahan. Dari arah berlawanan ada seorang gadis muda yang sepertinya mahasiswi baru berlari ke arah Naira sambil membawa sekuntum bunga mawar merah. "Dengan kak Naira, kan?" tanyanya saat sudah dekat dengan Naira. "Iya. Ada apa?" Naira balik bertanya. Gadis itu tampak kebingungan karena merasa tidak memiliki urusan dengan mahasiswi baru tersebut. "Ini ada bunga dari kakak ganteng. Diterima ya, Kak," ucap gadis itu sambil menyodorkan bunga mawar merah tersebut ke arah Naira. Naira menerima bunga tersebut dengan ragu-ragu. "Oke, terima kasih." Setelah berbincang seperlunya, gadis muda itu meninggalkan Naira dan Boy. Tanpa menciumnya Naira sudah bisa merasakan aroma wangi dari bunga tersebut mengusik hidungnya. Dia penasaran dengan orang yang iseng mengirimkan bunga tersebut padanya. Apa selama ini diam-diam dia memiliki pengagum rahasia? Begitulah pertanyaan yang muncul di benak Naira. "Cie ... pagi-pagi udah dapet bunga. Dari siapa tuh, Nay? Pacar? Duh, patah hati gue. Baru aja usaha buat pedekate, Lo udah ada pacar aja." "Ish, apaan sih! Gue belum ada pacar, Boy. Gue juga lagi mikir, ini bunga dari siapa. Iseng banget kirimin gue bunga." Mereka berdua masuk ke dalam kelas. Naira segera duduk di bangkunya. Dia kembali memperhatikan bunga yang masih dia pegang. Mata gadis itu menemukan sebuah kertas kecil terselip di pitanya. Naira segera membuka kertas itu. Dia sangat penasaran dengan tujuan orang tersebut mengirimkan bunga padanya. "Hai, Naira. Aku yakin kamu pasti akan sangat terkejut saat menerima bunga ini. Aku merasa ini satu-satunya cara untuk menyampaikan permintaan maaf ku. Sebenarnya selama ini aku selalu memperhatikan kamu. Tolong jangan berubah. Aku bersikap seolah tidak mengenal kamu karena keadaan. Ardan." Naira mengernyitkan dahi dan sesaat kemudian dia tertawa. "Siapa sih orang iseng yang kirim beginian ke gue? Segala pakek nyamar jadi kak Ardan mentang-mentang gue ngefans sama dia. Gue lagi proses move-on kenapa malah ada yang isengjn gue kayak gini. Ck, heran." Naira tidak mempercayai apa yang dia baca barusan. Gadis itu hanya memasukkan bunga yang ada di tangannya ke dalam ransel. Dia menganggap bunga itu datang dari orang asing yang memang iseng menggodanya. Naira harus kembali fokus pada tujuan semula, melupakan Ardan pelan-pelan. Gadis itu mengingat kembali percakapannya dengan Darian semalam. Dia merasa selama ini dunianya hanya tentang Ardan. Naira baru sadar kalau dia bisa memalingkan pandangan kemanapun, bukan hanya ke arah Ardan. Dia sudah menyia-nyiakan banyak waktu hanya untuk jatuh cinta pada pria yang tidak pernah menganggap dia ada. Naira mengenang kembali bagaimana dia rela berdesakan dengan banyak mahasiswi lain di lapangan basket hanya untuk mendukung Ardan. Tapi lelaki itu justru melambaikan tangan ke arah Reva dan gengnya. Saat jam istirahat, Ardan tifak segan untuk berlari ke arah mereka dengan senyum yang terurai. Hal sederhana itu melukai hati Naira. Dia juga belum lupa saat Ardan bersikap tidak adil. Ketika itu seluruh mahasiswa baru diwajibkan meminta tanda tangan dari kakak tingkat. Ardan yang semula ramah terhadap para mahasiswa berubah cuek saat Naira yang meminta tanda tangan darinya. Gadis itu berpikir, apa salahnya? Kenapa sejak awal seolah Ardan tidak pernah menganggap dia ada? Hal yang paling menyakitkan bagi Naira tentu saja soal bekal yang dia bawa untuk lelaki tampan itu. Dia tidak menyangka kalau Ardan akan begitu mudah memberikan makanan yang dia masak dengan susah payah ke teman-temannya begitu saja. Naira lelah mengingat semua itu. Dia lelah terus memuja sosok Ardan yang ternyata tidak peduli sedikit pun dengan perasaan yang dia miliki. "Mulai sekarang aku akan menjauh dari kak Ardan. Aku tidak akan lagi mengejar dia. Sudah saatnya aku menikmati hidup tanpa cinta buta yang tidak berguna ini. Aku sudah lelah. Aku capek menjalani cinta sendirian yang tak berujung. Selamat tinggal kak Ardan, semoga kakak bahagia dengan kak Reva. Maaf kalau selama ini aku selalu membuat kakak merasa tidak nyaman," gumam Naira pelan. Dia benar-benar serius dengan niatnya. Gadis itu tidak menyadari kalau dari kejauhan ada Ardan yang tengah memperhatikan dia. Lelaki itu tampak sedikit kecewa mendapati Naira yang tidak bersemangat saat membaca pesan yang dia tulis di kertas. Ardan memutar otak, dia harus menemukan cara lain untuk mendapatkan kembali Naira yang biasanya. "Berhasil, Dan?" Pemuda itu menggeleng pelan. "Dia kayaknya nggak percaya kalo bunga itu dari gue. Mungkin selama ini sikap gue terlalu cuek ke dia sampe dia ngerasa kalo gue nggak mungkin kirim-kirim dia bunga kayak tadi. Lo ada ide nggak, gue harus apa?" "Kita pikirin ntar lah. Sekarang ke kelas aja dulu. Dosen kita udah mau masuk."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN