Kucing Misterius
"Meow! Meow!" Suara kucing mengeong sangat keras terdengar. Hingga merasuk ke dalam gendang telinga Naira.
"Beta!" Naira tersentak dan terbangun dari tidurnya. Beta adalah nama kucingnya yang mati karena di tabrak seorang pengendara motor yang tidak bertanggung jawab. Setelah melihat kucing anggora berkelamin jantan dan berwarna abu-abu itu mati, pengendara motor yang menabraknya kabur begitu saja.
Naira melihat ke arah jam dinding yang tertempel di dinding kamarnya, tepat jam dua belas malam. Rumahnya telah sepi. Ayah dan ibunya sedang pergi ke luar kota, sedangkan Bi Inah, pembantu rumah tangganya dan juga Pak Karjo, supir keluarganya pasti sudah tidur. Naira menyakinkan pendengarannya, ia kembali memasang telinga dengan seksama.
"Meow! Meow!" suara kucing itu terdengar lagi, sangat jelas.
Naira sadar, Beta sudah mati. Tapi suara itu benar-benar terdengar jelas tepat di telinganya. Seperti ada yang menyuruhnya, Naira berjalan ke luar kamar, melewati ruang tamu dan membuka pintu rumahnya.
Tepat di depan pintu rumahnya, tergeletak seekor kucing besar, menyerupai anak harimau, bulunya berwarna putih, dengan warna hitam di bagian d**a dan sedikit kepalanya.Bulu kucing itu tampak sangat mengkilap tertimpa cahaya lampu. Di lehernya, ada sebuah kalung dengan permata berwarna biru. Naira yakin, kucing itu milik orang kaya, bahkan mungkin lebih kaya dari orangtuanya.
Naira memandang sekeliling, ia tidak menemukan siapapun. Rumah tetangganya tidak ada satu pun yang terbuka, jalanan komplek di depan rumahnya juga lengang, sangat sunyi, hanya suara jangkrik yang terdengar sesekali.
Gadis itu berjongkok di dekat kucing yang tergeletak itu. Ia ingin tahu, apakah kucing itu masih bernafas, atau sudah mati. Bagian perutnya tampak bergerak naik dan turun, menandakan kucing itu masih bernyawa. Terdapat luka cukup parah di kaki depan bagian atas dan kedua kaki belakangnya. Kucing besar itu tampaknya baru saja berkelahi.
"Kasihan sekali kucing malang ini. Aku harus.mengobati lukanya, sampai pemiliknya datang. Kalau terlambat, bisa saja dia mati." gumam Naira, seraya mengangkat tubuh kucing besar tak berdaya itu, masuk ke dalam rumahnya.
Beberapa tetes darah yang keluar dari bagian tubuh kucing yang terluka itu, mengotori lantai rumah Naira, tetapi gadis itu tidak keberatan sedikit pun. Ia mengambil handuk kecil kesayangannya, menggelarnya di lantai, lalu diletakkan dengan hati-hati kucing yang lemah itu di atas handuk yang disiapkan.
Naira bergegas mengambil kotak obat dan kain pel untuk membersihkan darah yang menetes di lantainya. Sambil mengepel, di lihatnya kucing itu. Sebagai pecinta kucing, menurutnya wajah kucing tidak berdaya itu sangat tampan. Setelah tugasnya selesai, Naira segera membersihkan luka kucing itu dengan telaten. Memberikannya antibiotik khusus untuk hewan dan membebat lukanya dengan kain kasa. Selama dalam perawatan, tidak sekalipun kucing itu bergerak. Luka di tubuhnya sangat dalam, Naira yakin, lawan dari kucing itu sangat ganas.
"Non, ada apa? Bibi dengar dari kamar sepertinya sibuk sekali." Bi Inah yang mendengar suara berisik dari ruang tamu terbangun.
"Aduh, maafin aku ya, Bi. Pasti aku berisik sampai bangunin Bibi. Ini Bi, aku menemukan ada seekor kucing tergeletak di depan rumah kita, kasihan, dia luka parah, makanya aku bawa masuk terus aku rawat. Siapa tahu nanti ada pemiliknya yang mencarinya, yang penting dia sudah mendapatkan pertolongan pertama." Naira menunjukkan kucing yang di rawatnya pada Bi Inah.
"Besar sekali kucingnya, Bibi belum pernah lihat kucing ini main ke rumah kita. Non baik sekali, mau merawat kucing asing, pemiliknya pasti akan senang melihat kucingnya ada yang rawat lukanya seperti ini." Bi Inah mengelus kepala kucing malang di hadapannya itu.
"Bibi kan tahu, sejak kecil aku suka banget sama kucing, semenjak Beta mati, aku belum punya keinginan untuk memiliki kucing lagi, bahkan untuk merawat kucing aku masih trauma, teringat Beta. Tapi kucing ini menarik perhatianku, Bi. Rasanya, saat melihatnya aku ingin merawatnya. Aku juga tidak tahu kenapa bisa begitu, Bi." cerita Naira membuat Bi Inah berkaca-kaca. Perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu melihat dengan kedua mata kepalanya sendiri bagaimana Naira meratapi Beta, kucing kesayangannya saat menemukannya tidak bernyawa di jalan depan rumah mereka.
"Bisa jadi, mungkin kucing ini datang untuk menggantikan Beta. Non bisa memeliharanya nanti setelah dia sembuh." Bi Inah memandang kucing itu iba.
"Tidak, Bi. Kucing ini bukan milik kita. Coba bibi lihat kalung dengan bandul batu permata biru ini, batu ini sepertinya bukan batu biasa. Sepertinya pemiliknya orang yang sangat kaya, berkali lipat daripada papa. Aku sangat yakin, pasti sekarang pemiliknya sedang mencari kucing ini." Naira mengelus punggung kucing yang bernapas teratur itu. Meskipun baru bertemu, Naira merasa memiliki ikatan dengan kucing besar itu.
"Iya, Non. Sepertinya batu itu sangat mahal. Mungkin, kekayaan tuan dari kucing ini sekaya Raja Salman, Non." Bi Inah mulai mengira-ngira, tetapi perkataan wanita itu justru mengundang Naira untuk tersenyum.
"Bibi bisa saja, tapi mungkin juga hampir sekaya itu. Kucingnya saja di perlakukan istimewa. Tapi, bagaimana ceritanya, kucing sebagus ini bisa keluar dari rumahnya dan sampai tersesat ke komplek kita, ya?" Naira bertanya-tanya.
"Mungkin kandangnya jebol, Non. Jadi kucing ini melarikan diri, lalu di jalan dia di serang sama kucing lain." Bi Inah menyampaikan argumennya.
"Hmm, sepertinya Bibi ini cocok jadi detektif, ya. Perkiraan yang masuk akal. Bi, sudah larut malam, silahkan Bibi tidur lagi. Aku akan membawa kucing ini tidur di kamarku, setidaknya malam ini saja, aku ingin tidur bersamanya untuk mengobati rasa kangenku pada Beta." Naira memandangi wajah kucing yang masih memejamkan matanya dengan tenang itu.
"Baik, Non. Kalau begitu Bibi kembali tidur dulu, selamat malam, Non Keira." Bi Inah melangkah pergi kembali ke kamarnya.
"Selamat malam, Bi Inah." sahut Naira ramah. Ia lalu mengangkat tubuh kucing itu lalu membawanya masuk ke dalam kamarnya. Gadis itu meletakkan kucing besar itu di ranjangnya perlahan, lalu menyelimuti tubuhnya dengan selimut yang di pakainya. Naira naik ke atas ranjang melalui sisi yang lain. Ia lalu merebahkan dirinya tepat di samping kucing putih itu. Naira menyentuh kepalanya, mengelusnya lembut. Ia juga menyentuh telinga dan kumisnya, kucing itu benar-benar manis. Naira tertarik pada batu permata yang ada di kalung kucing itu dan menyentuhnya. Tiba-tiba, batu itu bersinar, Naira yang terkejut segera melepasnya. Seketika, batu berwarna biru tua itu kembali seperti semula.
"Kamu sebenarnya kucing siapa? Kenapa kamu tersesat sampai masuk ke pekarangan rumahku? Kasihan sekali kamu kucing. Besok kalau keadaanmu tidak membaik juga, aku akan membawamu ke Dokter Hewan. Selamat tidur kucing." Naira menguap, ia kemudian mengelus kembali kepala kucing itu dengan mata yang hampir terpejam, hingga akhirnya gadis itu pun terlelap.