"BAAAAAANNG!"
Suara Bundanya menggelegar. Matanya membulat besar menatap layar ponsel, membaca balasan dari Latisya yang baru tiba semenit yang lalu. Hal yang membuat Farrel terburu-buru mengenakan kaos lalu keluar dari kamarnya. Ia bahkan baru tiba tadi dari Surabaya dan hendak tidur. Namun mendengar Bundanya berteriak, ia pikir pasti ada kabar dari Latisya. Jadi ia lupakan dulu keinginannya untuk tidur.
"Iya katanya, Bang!" ujar Bundanya terharu sampai meneteskan air mata.
Farrel turut membaca balasan dari Latisya itu dan membuatnya memeluk Bundanya dengan erat. Hal yang membuat Papanya senewen karena terbangun akibat teriakan istrinya itu. Istrinya kan berteriak di depan kamar mereka. Mana heboh pula.
"Mana CV kamu, Bang? Biar langsung Bunda kirim ke Lala," pinta Bunda. Farrel berlari menuju kamar hingga sempat terpeleset karena lantainya yang licin di pintu kamar lalu bangkit lagi. Ia segera berlari untuk mengambil ponselnya. Bundanya sampai tertawa melihat tingkah tidak biasa anaknya itu. Fadlan? Mulai mengambil alih ponsel istrinya untuk membaca balasan pesan dari Latisya.
"Yang mana sih orangnya?" tanya lelaki itu. Lama-lama penasaran juga karena istrinya ini heboh sekali.
Bunda berdesis. Untungnya Bunda masih menyimpan foto Fara yang memakai selempang pemenang Mapres UI bersamanya kala itu. Foto itu yang ditunjukkannya pada Fadlan. Fadlan mengangguk-angguk. Ia sih iya-iya saja asal anaknya suka.
Tak lama, Farrel muncul. Lelaki itu berjalan sambil mengirim CV ke w******p Bundanya. Saat sudah diterima oleh Bundanya, Icha langsung mengirimnya pada Latisya. Latisya meneruskannya pada Fara yang kini merasa menyesal telah menerima tawaran itu.
Astaga! Rasanya Fara ingin sekali menjedotkan kepalanya ke meja. Gadis itu sedang pusing membaca buku di perpustakaan lalu menerima CV ta'aruf milik Farrel. Tadinya ia menolak tapi Lala bilang....
"Terima aja dulu sih, Kak. Lala kan gak enak sama Bunda! Nanti kalau udah jalan dan gak srek kan Kak Fara bisa nolak!" ucapnya sembrono. Fara langsung ingin mencekiknya lagi tapi Latisya sudah kabur ke kamarnya.
Dan Fara masih kesal sampai sekarang. Menurutnya, itu namanya memberi harapan palsu. Apalagi sekarang, Fara merasa amat-amat menyesal dengan keputusan yang diambil terburu-buru itu. Huuuh!
"Iiih! Gak usah dipikirin! Kan Lala gak enak sama Bunda kalau Kakak kelamaan mikir!"
"Sembrono kamu hah! Yang bakal ngalamin itu kamu atau Kakak memangnya?!"
"Ya Kak Fara laah! Masa Lala! Kan yang ditawarin Kak Fara bukan Lala!"
Fara langsung mencak-mencak semalam. Ia bahkan tak diberikan waktu untuk berpikir.
"Pokoknya jangan jawab apapun ke Bunda kalau--"
"Yaaah, Kaaak! Barusan udah Lala balees!" serunya sembari menatap ponsel. Fara langsung beringas menatapnya yang hanya menjulurkan kepala dibalik pintu kamar. Saat Fara mencak-mencak hendak masuk ke kamarnya, ia langsung menutup pintu kamarnya lalu menguncinya sambil terkikik-kikik. Mengabaikan teriakan Fara. Sejujurnya, ia bohong kalau sudah membalas pesan Bunda. Tapi tak lama.....
"Ya udah! Sana! Bilangin Bunda! Abis itu aku tolak anaknya, kamu yang tanggung jawab kalau ada apa-apa sama aku ya, La!"
Fara mencak-mencak di depan kamarnya semalam. Gadis itu bahkan menggedor-gedor pintu kamarnya hingga membuat gaduh. Untung saja, Om dan Tante mereka yang berada di lantai bawah sudah tak heran dengan keributan itu. Latisya terkikik-kikik. Ia memang belum membalas hingga pagi-pagi sekali, Fara muncul lagi di depan kamarnya.
"Udah ada belum balasan dari Bunda?"
Lala tertawa diam-diam. "Sabar sih! Katanya gak mau! Tapi kok gak sabaran?!" ledek Lala yang membuat suara berdebum di pintu kamarnya. "Ummiiik! Kak Fara nendang pintu kamar Lalaaaa!" lapornya pada Tantenya sembari mengetik pesan pada Bunda dan mengabarkan kalau Fara menerima tawaran ta'aruf itu. Lala kan tak enak hati. Tawaran ta'aruf itu sudah terabaikan selama hampir dua bulan. Makanya ia agak memaksa Fara untuk menerimanya dulu. Lagi pula, ia tak berpikir kalau ta'aruf ini akan berlanjut. Melihat pemberitaan Farrel yang begitu santer. Ia yakin kalau kakak sepupunya ini pasti mencari-cari alasan untuk menolak ta'aruf itu nantinya.
Sebetulnya Fara memang ingin menolak tapi bimbang karena Latisya menolak mentah-mentah dengan alasan Bunda. Dan semalaman pun ia berat menolak karena tak enak hati pada mantan dosennya ini. Ia harus bagaimana? Susah kan? Ia benar-benar terjepit dengan tawaran ini. Kalau bukan datang dari dosennya, ia tak akan mau. Sekalipun cowok itu sekualitas Farrel. Fara sama sekali tak perduli. Baginya, cowok mapan, cerdas, ganteng jika tak ada imannya akan minus. Baginya, yang terpenting itu iman dan rasa ketertarikan. Khusus lelaki itu, Fara sudah tak punya rasa ketertarikan.
Fara berdecak dalam hati. Ia baru ingat kalau siang nanti akan bertemu lelaki itu di kantornya untuk mendiskusikan soal study tour waktu itu. Akhirnya, Farrel memang menghubungi Fara. Lelaki itu menghubunginya tepat di satu hari setelah tiba di Jakarta usai liburan dari Lampung. Ada rindu yang menyusup dan berselimutkan alasan tentang rencana study tour ke Swiss, Farrel menghubunginya untuk pertama kali. Niat pertama, tentu agar dapat berkomunikasi dengan Fara. Niat kedua, tentu ingin kembali bertemu gadis itu. Niat ketiga, jika pun proyek ini berlanjut ia tak masalah. Demi Fara, ia akan mewujudkannya. Hihihi!
Dan selama beberapa hari kemarin, Fara memang gencar membahas tentang rencana study tour itu dengan Farrel melalui aplikasi w******p. Berkali-kali, lelaki itu mengajaknya bertemu untuk membahas ini tapi Fara menolak dengan alasan masih UAS. Farrel tentu mengerti. Ia jadi tahu kesibukan gadis itu selama beberapa hari kemarin. Hingga tercetus lah pertemuan yang akan dilakukan hari ini.
Haaah. Ia menghela nafas dan merasa enggan membuka CV itu. Ia sudah kehilangan rasa tertariknya pada lelaki seperti ini. Oke, mungkin ia terlalu muluk untuk mencari seseorang yang tak pernah berpacaran sepertinya tapi perempuan yang tak pernah berpacaran sepertinya pun ada, masa satu lelaki di bumi ini tak ada yang tak pernah berpacaran dan mau dengannya? Rasanya masih ada kemungkinan bukan? Karena sekalipun terlihat mustahil tapi bagi Allah untuk menjadikan itu kenyataan sangat lah mudah. Tidak ada yang mustahil bagi Allah.
Fara menelungkupkan wajahnya ke meja. Ya Allah, keluhnya. Kenapa begitu datang lelaki yang mau ta'aruf dengannya, yang datang malah lelaki ini. Ia kan tak suka! Mau seganteng apapun lelaki itu, ia tak perduli. Bagaimana mungkin ia bisa suka pada lelaki yang jelas-jelas sedang berhubungan dengan perempuan lain. Astaga! Kepala Fara pusing sekali. Dan semakin pusing dikala ponselnya berdenting.
Kaaaak! Bunda nagih CV Kakak nih. Kirimin buruuuu!
Fara menghela nafas. Ia termenung sebentar. Keraguan dihati itu muncul kian besar. Ia benar-benar tak berminat dengan tawaran ta'aruf ini. Beneran deh! Tapi bagaimana cara menolaknya ya? Ia berpikir sejenak.
Kaaaaaaaaak!
Latisya kembali berisik karena tahu jika ia sudah membaca pesannya. Namun ia tak kunjung mmembalas. Fara menghela nafas panjang. Dan kali ini, Fara mengetik balasan.
Bilangin dong ke Bunda kalau kakak gak jadi gitu ta'aruf sama anaknya ituuuuu ???
Lantas apa balasan Latisya begitu membaca pesan darinya?
OGAH! BILANGIN AJA SANA! LALA MARAH POKOKNYA KALAU KAKAK NOLAK! BURUAN KIRIM CV-NYA SINI!
Issssh. Fara berdesis. Ia kesal tapi gimana ya? Ia juga paham kalau Latisya juga terjepit dengan masalah ini. Ia juga sama! Sama-sama terjepit! Lagi pula, Fara heran. Kok mau-maunya menawarkan anaknya sendiri pada Fara? Fara pusing kepala. Apa coba yang dilihat Bunda darinya?
Fara menghela nafas panjang. Ia masih belum mengirimi CV-nya. Ia masih berpikir dan mencari cara agar tawaran ini batal. Tapi bagaimana caranya?
Haaah. Ia bingung benar deh. Ia menggigit bibirnya. Apa ia langsung menolak saja pada Farrel ya? Tapi bagaimana cara ngomongnya? Ia bingung. Disisi lain, ia juga ragu sih kalau Farrel juga ingin ta'aruf dengannya. Dikepalanya, Bunda mungkin ingin menjodohkannya dengan Farrel. Tapi mungkin Farrel menolak karena memiliki Shabrina. Lalu ia sebagai apa di sini? Astaga! Fara tambah pusing kepala deh. Kenapa ia malah terjebak masalah begini sih?
Kenapa si Bunda tiba-tiba nawarin anaknya buat ta'aruf sih?
Ia baru bertanya. Latisya geleng-geleng kepala. Harusnya bertanya sedari semalam. Sebelum mengatakan kalau menerima tawaran ta'aruf itu. Bukan sekarang di mana sudah terlanjur menerima tawaran ta'aruf itu. Astaga!
Ya, oke lah, Latisya juga punya andil dalam keterburuan mereka menerima tawaran ta'aruf dari Bunda. Tapi....
Mana Lala tahu. Tanya sendiri aja sana ke Bunda!
Lala pura-pura jengkel. Ia tahu sih kalau kakak sepupunya itu baru menyesal. Hahaha. Tapi mau bagaimana? Ini kan tawaran yang datang dari dosennya. Masa ditolak? Latisya tak enak hati. Fara juga sama. Duh! Rasanya Fara ingin mencekik Latisya lagi.
Ia berpikir rencana lain. Rencana apa? Tentu saja menolak kelanjutan ta'aruf ini sekaligus mencari tahu hubungan Farrel dengan Shabrina. Aaah, apa ia datang menghampiri Shabrina saja ya? Biar gadis itu tahu gitu jika Bunda menawarinya ta'aruf dengan lelaki yang notabene-nya adalah kekasih perempuan itu. Tuh kece kan idenya? Tapi eh tapi....ketika ia berpikir lagi, bagaimana ia bisa berbicara dengan Shabrina? Memangnya ia siapa? Artis bukan. Model apalagi. Cuma mahasiswa kere yang haus ilmu. Duuuh! Kepala Fara tambah pusing kalau begini. Ia harus bagaimana lagi coba?
KAK FARAAA! INI BUNDA NUNGGUIN CV-NYAAA! BURUAN KIRIMIIIIIN!
Fara berdesis membacanya. Ia langsung memeriksa file CV-nya di ponsel. Mengecek file-nya satu per satu. Ia hendak menggantinya dengan sesuatu agar lelaki itu illfeel padanya. Tapi kalau harus berbohong?
Ia ber-istigfar dalam hati. Tiba-tiba terpikir takut mendapat balasan yang sama. Bagaimana kalau suatu saat ada lelaki yang ingin ia ajak taaruf dan lelaki itu tidak mau lalu melakukan hal yang sama dengan yang ingin ia lakukan sekarang pada Farrel?
Ia menghela nafas. Akhirnya ia mengirim saja CV miliknya. Bodo amat setelahnya. Ia juga tak berpikir ini akan lanjut kok. Lagi pula, apa sih yang dilihat Farrel darinya? Secara, ia bukan yang cantik abis kayak Shabrina, gak bisa pakek baju seseksi itu, gak berkulit putih dan sebersih itu, hidungnya pun kalah mancung, daaaan dia bukan Puteri Indonesia. Ia hanya seorang Faradina, gadis biasa yang masih belajar agama, yang hobinya menulis puisi galau dan kadang bablas teriak sana-sini di rumah tantenya. Apa coba bagusnya dibanding si Puteri Indonesia itu?
Haaah! Ia tak mau memikirkannya ah! Bikin pusing kepala saja!
@@@
"Sibuk amat sih lu? Gabung lah sama kita ntar malem," ajak Dava sambil merangkul kekasihnya yang terkikik pelan. Keduanya sedang santai di apartemen Bella.
Farrel menghela nafas. "Sorry, Mas. Gue masih banyak kerjaan."
Dava terkekeh. "Kerja mulu lo. Kasian tuh cewek lu gak diurusin," tuturnya tapi hanya dibalas Farrel dengan deheman. "Ya udah, gue tutup ya," pamitnya yang diiyakan oleh Farrel.
Dava melempar ponselnya lalu terbahak melihat tampang kesal milik Shabrina yang duduk di depannya. "Jebak aja kata gue juga," kompornya. Mereka kan berencana berlibur singkat di Bali. Rencananya akan berangkat malam ini. Untuk urusan penjebakan bisa diatur. Yang penting, Shabrina setuju atau enggak dengan rencana ini?
"Ck!" Shabrina berdecak. Gadis itu berjalan kesal ke arah jendela dan memandang gedung milik Farrel yang tidak seberapa tinggi itu. Meski tertutup gedung lain tapi Shabrina hapal posisinya.
"Si Farrel gak asyik sih emang. Gue ajak ke diskotik malah diceramahi," cerita Dava yang membuat Bella terbahak. Dava malah geleng-geleng kepala kalau ingat itu. Gak nyangka aja kalau Farrel akan menceramahinya padahal biasanya cowok itu tak pernah ambil pusing dengan urusannya. Namun semakin ke sini, Dava sadar sih kalau Farrel itu jauh dari lelaki yang ia duga awalnya. Berhubung ia mengenal Ferril seperti apa jadi ia mengira Farrel juga sama seperti Ferril. Ferril sih sering ke diskotik tapi gak pernah minum. Cowok itu biasanya ada urusan. Entah urusan apa, tapi ayahnya bilang kalau ia harus hati-hati pada Ferril. "Lu kagak nyamperin dia ke apartemennya?"
"Apartemen?"
Dava terbahak. Sampai informasi itu pun Shabrina tak tahu. Selama ini, gadis ini bagaimana mendekati Farrel?
"Dia punya apartemen di sekitar kantornya," tuturnya lantas tatapan matanya menagih. Dava terkekeh. "Gue gak punya akses ke sana. Nomornya berapa aja gue gak tahu," tuturnya. Ia memang agak lupa nomornya karena baru sekali datang ke sana. Itu pun tidak sengaja. Kebetulan ia berpapasan dengan Farrel yang sedang membeli kopi di restoran kopi di gedung apartemen itu. Setelah itu, Farrel menawarinya untuk datang ke apartemen lelaki itu. Ia iya kan saja berhubung tidak ada kegiatan. Kebetulan, ia baru saja bertemu Rano di sana. Lelaki itu juga tinggal di apartemen yang sama dengan Farrel. Rano adalah teman satu kumpulannya. Lelaki itu tentu saja anak salah satu pejabat tinggi BUMN.
Shabrina menghela nafas. Ia sudah tak pernah lagi bertemu Farrel. Lelaki itu bahkan tak datang ke acara terakhir minggu lalu. Masuk ke kantornya juga agak susah. Yaa, masih bisa masuk sih tapi ke ruangan di mana Farrel berada itu yang susah. Apalagi si Aswin sudah tak bisa diajak kerja sama. Soalnya lelaki itu tak enak sama Farrel. Ia kira kalau bosnya itu menyukai Shabrina bahkan berpacaran dengan gadis itu. Tapi saat melihat gelagat Farrel terakhir di mobil Ramadhan kala itu, kentara sekali kalau tidak menaruh hati. Ia kan juga lelaki jadi paham betul. Apalagi bosnya itu baik sekali. Mana mungkin ia berkhianat?
Makanya Aswin juga mengabaikan Shabrina. Sebodo amat si Shabrina mau marah-marah padanya juga. Ia tak perduli. Toh yang menggajinya si Farrel bukan Shabrina. Yang menjadi bosnya juga Farrel bukan Shabrina. Gadis itu tak punya hak untuk marah-marah padanya. Sementara Shabrina tampak berpikir. Ia harus bagaimana? Di setiap acara saja ia sudah tak pernah melihat Farrel sejak lebaran usai. Farrel juga sudah tak pernah nongkrong bareng Dava. Lalu apa ia harus menerobos kantornya kali ini?
"Gue ke kantornya sekarang deh," putusnya lantas bergerak cepat mengambil tasnya. Dava dan Bella terbahak melihat kepergiannya.
"KITA TUNGGU DI BANDARA ENTAR MALEM YA, SHAAAB!" ingat Bella yang membuat Shabrina mendengus. Ia sama sekali tak punya cara untuk menjebak Farrel agar mau berangkat ke Bali bersamanya malam ini. Bisa bertemu dengan lelaki itu lagi pun sudah cukup. Ia sangat rindu sekali.
Hampir tiga puluh menit, ia tiba dengan menaiki taksi. Berhubung hari ini ia tak punya jadwal. Sejak pagi ia memang menghabiskan waktu di apartemen Bella. Yah, tak jauh-jauh dari curhatan tentang Farrel yang susah sekali dihubungi. Boro-boro didekati lagi malah. Ia merasa dibuang bagai sampah oleh lelaki itu. Lalu sekarang ia bergerak ke sini. Sudah jam setengah tiga sore ketika ia sampai di gedung ini.
Kali ini ia tak langsung menaiki lift. Ia malah bertanya dulu dengan petugas di lobi. Memintanya untuk menelepon sekretaris Farrel dan menanyakan keberadaan lelaki itu. Petugas perempuan itu sebetulnya agak heran dengan perintahnya. Tapi tetap dilakukan saja.
"Sedang meeting, Bu, di lantai 12," tuturnya yang membuat Shabrina langsung bergerak menuju lift.
Petugas perempuan tadi langsung berkomentar begitu Shabrina pergi, "emangnya dia gak tahu pacarnya lagi ngapain?"
Perempuan disampingnya menjawab dengan bijak, "Pak Farrel sibuk kali. Gak sempat ngurusin telepon. Lu kayak gak tau si bos aja."
@@@
Tepat jam setengah dua, meeting dimulai. Fara datang bersama tiga orang temannya yang satu jurusan di kampus untuk membahas soal study tour ke Swiss itu. Dan Farrel?
Sudah sulit tidur sejak semalam saat memikirkan hari ini. Ia girang sekali karena akan bertemu lagi dengan gadis yang hari ini berkerudung biru laut. Lalu subuh tadi naik pesawat dari Surabaya ke Jakarta. Sebelum jam 11 tadi ia sudah jalan ke kantor. Persiapan sebelum Fara dan teman-temannya datang. Ia bahkan memesan makan siang pada mereka walau belum dimakan hingga saat ini. Karena keempat orang itu sudah makan siang sebelum masuk kantor Farrel.
Dan ia tak bisa mengalihkan perhatiannya dari perempuan yang mempresentasikan tentang seleksi mahasiswa untuk ikut study tour gratis ini berikut kegiatannya. Tanpa gugup sama sekali, Fara justru menerangkannya dengan lancar. Ia bahkan lupa pada lelaki yang sedang dalam ta'aruf dengannya ini. Kebahagiaan Farrel hari ini memang dua kali lipat karena tawaran ta'aruf-nya diiyakan.
Usai memaparkan semuanya, masing-masing manajer bawahannya Farrel, memberikan masukan-masukan terkait proses seleksi itu. Mereka juga mengajukan beberapa persyaratan khusus seperti membuat paper. Jumlah peserta yang tadinya hanya sepuluh orang pun ditambah menjadi dua puluh orang lalu ditutup dengan notulensi yang dilakukan oleh sahabat Fara, Indira.
Sementara di luar sana, Shabrina berdecak. Ia sudah menunggu hampir dua puluh menit tapi meeting itu belum selesai. Aswin bahkan sudah garuk-garuk kepala. Ia sudah berupaya mengalihkan perhatian Shabrina agar mau menunggu di ruangan lain tapi gadis itu tetap kekeuh menunggu di depan ruang meeting itu. Aswin sudah mengirim pesan pada bosnya kalau ada Shabrina tapi bosnya sama sekali tak membuka ponsel karena terbuai dengan gadis di seberangnya yang asyik mengobrol sambil tertawa dengan para manajernya yang seumuran Bundanya. Keempat mahasiswa S2 itu juga sedang berupaya menghabiskan makanan yang disediakan. Termasuk Fara yang tampak asyik tanpa peduli lelaki yang terus memandangnya dari tadi.
Fara kan memang tak tertarik lagi pada Farrel. Boro-boro terpesona juga hari ini. Ia lebih memilih fokus dengan tujuannya datang ke sini. Dan urusan ta'aruf itu? Ia berencana untuk membicarakannya dengan lelaki ini. Ah, lebih tepatnya menginterogasi. Ia hanya ingin memastikan tentang siapa dalang yang menawarkan ta'aruf ini. Apakah inisiatif Bunda atau memang permintaan dari Farrel. Kalau hanya inisiatif dari Bunda, ia dengan jujur akan menolak tapi mungkin ia perlu kerja sama dengan Farrel. Namun jika itu adalah murni permintaan dari Farrel....haaah. Ia tak punya rencana cadangan untuk menghadapi lelaki itu.
Usai menghabiskan makanan, keempatnya masih berbasa-basi dengan Farrel dan para manajer. Lalu mereka pamit untuk pulang. Fara hanya mengangguk saat ia menyalami semua tim Farrel termasuk Farrel. Menyalami dengan sopan tentunya tanpa bersentuhan. Tangan gadis itu bersedekap dan Farrel yang disalami terakhir tersenyum ke arahnya. Lalu gadis itu berbalik badan, mengekor teman-temannya yang keluar dari ruang meeting satu per satu hingga saat tiba di luar ia melihat sosok Shabrina. Gadis itu langsung berdiri begitu pintu dibuka dan langsung berlari ke arah Farrel, menabrak Farrel hingga terdorong ke belakang dan memeluknya dengan erat.
Fara? Awalnya, pikiran Fara melayang pada niatan untuk bertanya tentang hal yang ia ributkan di dalam pikirannya. Namun ketika ia menoleh ke belakang, ia terkaget. Pertama, karena teriakan heboh para karyawan Farrel. Tapi saat ia benar-benar melihat apa yang dihebohkan para karyawan Farrel, ia melihat Farrel yang terkesiap menatapnya. Kaget akan apa yang terjadi. Fara?
Segera mengalihkan tatapannya lagi dan berjalan menuju lift dengan muka penuh keterkejutan. Rasa penyesalan yang kini dirasakannya benar-benar dalam. Kini ia mulai meragukan ucapan Bunda tentang hubungan lelaki itu dengan Shabrina. Bagaimana mungkin ia bisa percaya dengan apa yang terjadi di depan matanya barusan?
Lelaki itu. Sepertinya memang bukan lelaki yang baik untuknya.
@@@