Menanti Ta'aruf

2989 Kata
Lebaran sudah lewat dan Farrel sudah beberapa hari ini menghindari Shabrina. Gadis itu terus memaksanya untuk ke Riau, untuk bertemu keluarganya. Tapi Farrel tak merasa penting untuk ke sana. Memangnya, ia punya hubungan apa dengan gadis itu? Media saja yang membesar-besarkan. Lagi pula ia memang ingin menghindar bahkan kalau bisa, tak bertemu lagi dengan gadis itu. Namun sikap Farrel yang lebih parah dari sebelumnya ini membuat Shabrina kesal. Ia sudah melangkah sejauh ini tapi tak kunjung ada perubahan. Farrel masih tak memberi respon besar padanya. Lelaki pendiam itu tetap sulit ditakhlukan. Lalu ia harus bagaimana? Terakhir bertemu lelaki itu pun, beberapa hari sebelum lebaran. Itu pun secara tak sengaja. Ia berpapasan dengan Farrel yang kebetulan hendak pulang dari kantornya. Saat itu, Farrel terpaksa meladeninya karena gadis itu membawa media. Ia tak enak hati mengusir. Namun yang membuat Farrel kesal adalah lagak si Shabrina yang seolah-olah mereka benar-benar mempunyai hubungan spesial di depan para wartawan yang meliput. Hingga beritanya pun kembali viral dengan judul terbaru: Pertemuan Terakhir Farrel-Shabrina Sebelum Shabrina Mudik Ke Riau. Farrel juga ditanya-tanya wartawan kala itu, tentang kapan ia akan berangkat ke Riau untuk menemui orangtua Shabrina. Tapi Farrel bungkam. Ia tak menjawab satu pertanyaan pun yang terlontar dari mereka. Malamnya, ia sudah memperingati Shabrina untuk berhenti mendekatinya tapi tetap tak ada hasilnya. Shabrina? Masih belum menyerah. "Nyatain cinta lah, Shab. Masa harus gue ajarin sih?" tutur Bella yang duduk bergabung dengan Shabrina di sofa apartemennya. Shabrina baru tiba di apartemennya. Tadinya gadis itu hendak ke rumah Farrel. Tapi ketika ia sedang dalam perjalanan, ia mendapat kabar dari Dava kalau Farrel sedang berlibur ke Lampung bersama keluarganya. Ia bahkan tak tahu soal itu karena Farrel memang tak pernah memberitahu. Jangan kan memberitahu, mengiriminya pesan pribadi pun tak pernah. Haaah. Shabrina menghela nafas. Dikiranya ia tak mengucapkan cinta? Sudah terlampau sering. Bahkan dalam setiap pesannya, ia seringkali mengakhirinya dengan kata, 'love you my sweetheart'. Ia juga sering mengirimi Farrel foto-fotonya agar lelaki itu tertarik. Ia juga tak pernah absen mengirimkan bingkisan usai berjalan-jalan ke mana pun untuk Bunda dan keluarga Farrel lainnya. Bahkan menjelang lebaran, ia juga mengirim bingkisan. Tapi tetap tak digubris. Ia kurang usaha apa lagi? Mendekati Farrel sudah. Mendekati Bunda apalagi. Mendekati Farras tak digubris. Ia juga berupaya menyempatkan diri ke rumah lelaki itu. Haaaah. Shabrina merasa jalannya mengejar Farrel benar-benar sudah buntu. Lelaki yang pendiam, cold dan misterius itu benar-benar membuatnya penasaran. Bella terkekeh karena tak ada jawaban dari Shabrina. Apalagi gadis itu meliriknya dengan senewen sebelum meneguk habis jus lemon yang dibuatnya. Shabrina sudah tak tahu cara apalagi yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan hati lelaki itu. "Terakhir lu bilang dia gemeteran hebat pas berdua sama lo?" tanya Bella setelah lama berpikir. Gadis itu sedang mengambil batu es dari kulkasnya. "Yeah," sahutnya. Kalau ingat itu, ia masih bertanya-tanya sih. Apalagi melihat Farrel yang tak tertarik sama sekali dengannya. Apa benar lelaki itu gay? Aaah, tapi tidak mungkin. Ia masih punya insting kalau Farrel tertarik pada perempuan. Hanya saja, ia tak tahu perempuan seperti apa yang menarik hati lelaki itu. "Kalau begitu," Bella langsung bergegas. Ia merampas ponsel Shabrina lalu mencari-cari foto seksinya. "Eish lo gak pernah foto bikini gitu ya?" kesalnya. Shabrina tertawa. Tentu saja ada tapi disimpannya bukan di ponsel. "Paling seksi ini doang," keluhnya yang kemudian memerhatikan foto Shabrina yang memakai kaos kuning polos yang membentuk lekuk badan. Belahan dadanya terlihat beserta pusarnya. Bahunya sudah jelas terbuka. Kemudian dipadukan dengan celana pendek setengah paha berwarna hitam. Ia juga memakai topi bundar dan kacamata. Foto itu adalah foto liburannya di pantai saat masih berada di Riau kemarin. Ia juga sudah mengirim foto itu pada Farrel demi menunggu komentar lelaki itu tentang kecantikannya. Tapi sialnya, Farrel tak menggubrisnya. Lalu Bella menemukan foto seksi Shabrina yang lain. Kali ini memakai gaun berwarna kuning polos. Tanpa lengan dan menonjolkan bentuk tubuhnya. Gaun itu panjang sekali hingga menjulur ke lantai. Tapi belahannya sangat tinggi hingga memamerkan pahanya yang mulus. Ia memakai gaun itu di salah satu acara nasional. "Coba kita kirim yaaaa," usulnya yang kemudian terbahak saat Bella sukses mengirimnya ke Farrel. Mungkin disaat perempuan lain merasa malu dengan aurat, kedua gadis ini tidak. Keduanya malah berbangga hati dengan aset-aset yang mereka miliki sebagai perempuan. Kulit putih, tinggi, langsing dan cantik menjadi tujuan utama. Karena mereka sadar betul, cantik itu perlu untuk menggaet lelaki. Gak usah naif deh, banyak kan lelaki yang suka dengan tipe-tipe perempuan seperti mereka ketimbang melihat imannya? Farrel? Lelaki itu tak pernah membuka pesan dari Shabrina. Walau begitu risih namun sejak sehari sebelum lebaran kemarin ia sudah memisahkan nomor w******p untuk bisnis, untuk berteman dengan Dava dan pengusaha lainnya, juga keluarganya. Dengan tidak menggabungkannya seperti itu, ia merasa tenang jadi tak perlu ada kejadian tak sengaja membuka pesan dari Shabrina lagi. Seperti kali ini, ketika ia meninggalkan ponselnya itu di dalam koper sementara ia membawa ponselnya yang lain disaku celana. Ia sedang berjalan-jalan ke Lampung bersama keluarga dari Bundanya. Sebetulnya Shabrina sering mengiriminya foto. Tapi kebanyakan foto-foto selfie yang menggambarkan isi hatinya karena pesannya tak kunjung dibalas Farrel. Ada beberapa foto seksinya yang tak akan pernah dibuka Farrel. Dan Farrel tak mau ambil pusing dengan itu. Lebih baik ia memikirkan urusan pekerjaannya dan menanti ta'aruf sengan Faradina. Ah ya, apa kabar gadis itu ya? tanyanya dalam hati. Ia rindu. Sudah lama pula tak bertemu. @@@ "Tadaaaaaa," seru Farras. Perempuan itu memamerkan layar ponselnya yang berisi foto Fara. Farras mencurinya dari isi status w******p milik Latisya. Ternyata, Fara sudah kembali ke Jakarta setelah mudik. Bahkan gadis itu menyusul Latisya ke Bandung dan menginap di sana. "Penasaraaan gaaak, Baaaang?" ledeknya. Ia masih mengayun-ayunkan ponselnya di depan Farrel yang tersenyum tipis. Tentu saja ia tertarik melihatnya. "Ras bahkan udah follow akunnya Fara. Tadi si Lala juga update di Snapgram." Farrel berdeham. Ia menggaruk-garuk tengkuknya. Diam-diam ia sudah mencari akun media sosial Fara. Tapi akun gadis itu terkunci dan ia belum berani mengikutinya. "Kalau mau lihat, lihat aja kali, Bang!" tutur adik perempuannya itu lantas memberikan ponselnya pada Farrel. Dengan senang hati Farrel melihat isi Snapgram milik Latisya yang semuanya berisi tentang Fara. Dimulai dari kedatangan Fara ke rumah gadis itu. Kemudian kebersamaan keduanya yang langsung berjalan-jalan keliling Kota Bandung. Berakhir makan di sebuah restoran Korea, yang katanya kesukaan Fara. Perempuan itu tampak menikmati kebersamaannya dengan Latisya sebelum kembali sibuk dengan UAS satu minggu lagi. Iseng. Farrel memutuskan untuk membuka akun Latisya dan mencari hanya yang ada gambar Fara-nya. Tapi sayangnya, tidak ditemukan. Hihihi. Karena Latisya sama sekali tidak pernah meng-upload foto Fara di postingannya. Ia hanya memposting di Snapgram. Itu pun jarang sekali. Kalau-kalau ia dan Fara sedang jalan-jalan begitu. Usai mengembalikan ponsel Farras, Farrel berjalan-jalan ditepi pantai. Ia mengambil duduk di atas batu besar kamu dia menatap lautan biru itu. Sangat biru, sangat terlihat jernih dan sangat indah. Dan ini membuat Farrel kembali mengenang pertemuannya dengan Fara di kampus kala itu. Farrel tak pernah menyangka jika hari itu akan menjadi hari bersejarah baginya untuk kembali jatuh cinta pada seorang perempuan setelah sekian lama merasa hampa. Ia tentu saja sudah lama melupakan Zakiya. Kalau dibanding Fara, menurut Ferril, masih cantik Zakiya. Tapi menurut Farrel, tentu Fara. Karena hati yang berbicara. Dan lagi, aura keanggunan Fara itu luar biasa mengingatnya. Itu lah yang juga memikat lelaki-lelaki lain. "Buun," panggilnya ketika kembali ke vila yang mereka sewa. Ia sudah mencari-cari Bundanya ternyata sedang asyik di dapur bersama para Tante. Ada adik-adik Bundanya yang juga menginap bersama mereka. Kebetulan Bundanya punya dua adik perempuan yang keduanya tinggal di Kampung setelah menikah. Ada satu adik laki-laki yang tinggal di Palembang dan ikut datang ke sini untuk liburan bersama. "Kenapa, Bang?" Farrel berdeham. Ia berdiri di belakang Bundanya yang sedang sibuk menyiapkan makan malam mereka. "Udah ada kabar dari Latisya, Bun?" tanyanya yabg membuat Bunda terkekeh. Bunda juga sedang menunggu kabar dari Latisya. Tapi tak kunjung ada balasan. Sementara Farrel berpikir dengan kebersamaan Latisya dan Fara tadi, mungkin Lala sudah membicarakannya. "Belum. Nanti Bunda tanyakan lagi, Bang." Farrel mengangguk-angguk. Ia baru saja berbalik ketika Bundanya mengatakan.... "Gak sabar ya, Bang?" tanyanya. Farrel hanya menggaruk tengkuknya. Malu. Sepertinya ia terlalu sering bertanya. "Nanti Bunda tanyain lagi, Bang." @@@ Lusanya keluarga mereka pulang dengan menggunakan kapal dari Pelabuhan Bakauheni ke Pelabuhan Merak. Ferril yang menyetir mobil hingga tiba di Pelabuhan Bakauheni. Setelah mengantri dan berhasil masuk ke dalam kapal, Farrel beristirahat di lantai atas kapal. Ia memandang gelombang di bawah yang terlihat tenang. Perjalanan tidak memakan waktu lama. Sekitar satu jam penyebrangan dengan menggunakan kapal. Ferril malah tertidur pulas di samping Farrel yang justru sulit tidur. Ia masih memikirkan nasib tawaran ta'arufnya. Bahkan semalam, ia kembali meminta. Barangkali ini yang terbaik untuknya dan semoga Allah mau mengabulkannya. Kalau tidak? Farrel tak punya rencana lain. Ia bahkan tak berani memikirkan kalau ada kemungkinan tawaran ta'arufnya ditolak atau rencananya yang sekarang tidak berjalan mulus seperti harapan. Ia terkesan pasrah karena sudah terlanjur jatuh hati pada gadis itu. Farrel menghela nafas dalam. Ponselnya tentu tak bersinyal di tengah lautan begini. Jadi tak ada yang bisa ia lakukan dengan ponselnya. Setengah jam kemudian, ia dibangunkan Ferril. Ia baru tersadar kalau tadi ikut pulas disamping adik sablengnya itu. Kini keduanya berjalan menuju parkiran mobil di dalam kapal untuk mengambil mobil. Setengah jam kemudian, mobil mereka sudah memasuki jalan tol. Liburan di hari-hari usai lebaran kali ini masih cukup ramai. Karena jalanan tol merak yang cukup padat. Kali ini, gantian Farrel yang menyetir. Semua anggota keluarganya tampak pulas. Kecuali Papanya yang malah sibuk dengan berbagai telepon dari rumah sakit. Sesekali mengajaknya mengobrol di jalanan begini. "Semalam, ada rekan bisnis Om-mu yang menelepon Papa," tutur Fadlan usai menutup telepon. Farrel hanya berdeham menanggapinya. Ia sibuk dengan setiran mobil. "Dia kepengen anaknya dijodohin sama kamu, Bang." Farrel menghela nafas. Ia sudah terlalu sering mendengar kabar seperti itu. Mungkin karena posisinya sebagai anak sulung dari keluarga konglomerat hingga banyak pebisnis lain yang menginginkannya sebagai calon menantu. Sekalipun beritanya santer dengan Shabrina tapi menilik keluarga Shabrina yang bukan garis keturunan konglomerat itu membuat banyak pengusaha masih saling menyikut untuk meminangnya sebagai calon menantu. "Sudah Papa tolak. Tapi masih berkali-kali menganggu." Farrel hanya diam. Ia memang tak berniat dengan segala macam perjodohan itu. Menurutnya, ia masih bisa mencari istri dengan usahanya sendiri. Tidak perlu sampai seputus asa itu dalam mencari jodoh hingga dijodoh-jodohkan segala. Walau ia juga tak tahu jalannya bertemu jodoh itu seperti apa. "Sekalipun kamu setuju, Bang, Papa akan menolak." Farrel hanya mengangguk-angguk. Ia enggan melanjutkan obrolan ini tapi Papanya masih belum ingin menyudahinya. "Papa kurang srek aja sama keluarganya. Kamu pasti kenal, Bang, itu keluarganya Pak Bakrie. Dulu Menkes sekarang Mensesneg. Om kamu bilang kalau lelaki itu penjilat. Jadi jangan sesekali berhubungan. Kamu juga, Bang. Sebisa mungkin menghindar." Fadlan menghela nafas. "Harusnya dia masuk penjara sekarang seperti temannya itu." Farrel hanya berdeham saja. Ia sama sekali tak berniat mencari atau menikahi anak pejabat. Ya memang tidak semua anak pejabat atau anak pengusaha itu sama seperti dengan yang ada di dalam kepalanya. Entah mereka yang manja, yang hanya memikirkan tentang kehidupan sosialitas dan bergaya hidup bebas. Farrel kan memang tak merasa cocok dengan gaya hidup seperti itu. Makanya ia mencari perempuan itu yang solehah dan paham agamanya. Karena apa? Karena baginya pernikahan itu adalah jalan untuk ibadah. Bukan sekedar untuk menjalani hidup berdua dengan yang dicintai. Tapi Farrel paham bahwa ada Allah yang harus dinomorsatukan di atas segalanya. Sekalipun itu dalam urusan hati dengan Fara. Fara. Nama itu terlintas lagi. Ia benar-benar tak sabar menunggu jawaban dari tawaran ta'arufnya. Ia melirik Bundanya dari kaca spion. Bundanya tampak pulas dan tertidur sembari memeluk adik perempuannya. Haaah. Ia menghela nafas panjang. Rasa-rasanya beberapa hari ini, ia terus merecoki Bundanya dengan pertanyaan tentnag kabar kelanjutan dari tawaran ta'arufnya yang hingga kini masih buntu. @@@ Sudah dua minggu berlalu sejak terakhir, Farrel berliburan ke Lampung bersama keluarganya. Namun masih belum ada kabar juga dari Lala. Terakhir gadis itu berkabar seminggu yang lalu. Katanya ia lupa menanyakannya pada Fara karena terlena mudik dan asyik jalan-jalan dengan Fara. Tapi tentu saja ia tak bilang kalau ia berlibur dengan Fara di Bandung. Icha sih tak apa-apa. Justru ia tak enak karena menganggu Latisya yang pasti ingin berkumpul bersama keluarga. Namun ini sudah lewat seminggu lagi dari sejak itu, makanya Icha kembali menghubungi. Takut Latisya lupa menanyakannya pada Fara. Farrel yang biasanya kalem-kalem saja, sudah mulai sering menanyakan perihal itu tiap berangkat ke kantor atau pulang dari kantor. Maka, siang ini Bunda kembali menghubungi Lala. Awalnya ia mencoba menelepon tapi tak diangkat meski sudah beberapa kali. Akhirnya, ia mengirimi Lala dengan sebuah pesan lagi. Gimana, La? Udah ditanyain belum? Dan Latisya baru membaca pesan itu menjelang magrib. Ia sudah kembali ke Jakarta tentunya. Sudah mulai bekerja selama seminggu ini. Kakak sepupunya juga sudah pulang sibuk lagi dengan urusan kampus. Gadis itu sedang Ujian Akhir Semester. Fara juga sedang hilir-mudik untuk menyusul proposal tesisnya. Keduanya sama-sama tenggelam dengan kesibukan masing-masing ketika kembali ke Jakarta. Lala menepuk keningnya. Kebetulan saat ia hendak mencuci tangan, kakak sepupunya itu baru sampai. Namun masih menyalami om dan tantenya di teras sana. Mumpung ada pesan dari Bunda dan ia sedang ingat, lebih baik ia sampai kan saja. Daripada ia lupa lagi. Selama di Bandung kemarin pun ia lupa meski ada Fara. "Kaaaaak!" panggilnya saat Fara berbelok menuju tangga di sudut ruangan. Ia hendak masuk ke kamarnya. Omong-omong ia dan Lala punya hubungan keluarga. Kalau Lala dari ayahnya yang orang Bangka dan menikah dengan ibunya yang asli Bandung. Nah, ayahnya Lala ini adalah adik dari ayahnya Fara. Sementara om mereka adalah kakak dari ayah keduanya. Kebetulan, tak memiliki anak dan menampung dua gadis ini selama berkuliah di UI. Walau saat sarjana, Fara memilih untuk mengekos di Depok dan pulang seminggu sekali ke Jakarta, ke rumah om-nya ini. Kalau Latisya kan lebih memilih jadi anak commuterline. Jadi gadis itu bolak-balik Jakarta-Depok selama kuliah kemarin. Selama empat tahun menjadi anak kereta alias anker. "Heum?" dehemnya. Ia baru pulang dari kampus. Usai UAS dan bimbingan persiapan proposal tesis. Sementara Latisya mengekor di belakangnya. Gadis itu membawa segelas s**u coklat. "Udah dapet calon ta'aruf, Kak?" Fara menghela nafas. Boro-boro memikirkan itu. Ia saja sedang dipusingkan dengan topik penelitian yang hendak ia ambil. "Kenapa? Kamu punya calon buat Kakak?" ia bertanya balik. Latisya nyengir. Ia menghadang langkah Fara yang hendak masuk ke kamar. Kakak sepupunya itu heran menatapnya. Biasanya juga tak pernah ikut campur urusan asmaranya meski sering mengomporinya agar segera menikah. "Ada yang nanyain sih," tuturnya. Namun sebenarnya ia agak berat mengatakannya. Tapi kalau tidak dikatakan, tidak mungkin. Ini amanah dari Bunda. Sementara kening Fara mengerut bingung. Bingung karena Latisya terlihat bimbang begitu. "Terus?" "Kakak mau?" Fara mendorong pelan bahunya agar ia bisa masuk ke dalam kamar. Lalu ia menaruh tasnya yang berat di atas meja belajar. "Siapa dulu orangnya?" tanyanya santai. Ia sibuk melepas jarum dijilbabnya yang dilanjutkan dengan melepas jilbabnya juga. Lalu ia menarik kuncir rambutnya. Ia sibuk melihat wajahnya di depan cermin yang tampak berminyak. Setahun kemarin komedonya ada banyak sekali. Tapi semenjak beberapa bulan ini, berkurang banyak. Bahkan hampir bersih. Rahasianya? Hanya memakai bahan-bahan alami. Ia rutin membersihkan wajahnya dengan minyak zaitun yang dicampur dengan minyak jarak. Lalu sesekali diolesi dengan tea tree oil. Lala menggigit bibir lantas duduk di atas tempat tidur, melihat Fara untuk melihat reaksi kakak sepupunya itu. "Anaknya Bunda." Sebelah alisnya sukses terangkat. Tentu saja kaget mendengarnya. "Siapa?" tanyanya yang seketika menoleh dan menatap Latisya dengan tatapan yang sangat-sangat kaget. "Bang Farrel," tuturnya pelan. Ia masih melihat reaksi kaget milik kakak sepupunya ini. "Lo bercanda yaa?" tuturnya kemudian sambil terkekeh. Ia mulai memberesi isi tasnya. Mengeluarkan ponsel dan laptopnya. Kemudian menggantung tasnya di belakang pintu kamar. "Lala serius, Kak!" tukas Lala, ia bahkan menunjukan pesan dari Bunda. Fara menganga. "Gak mungkin lah," ia masih berpendapat seperti itu walau matanya jelas-jelas melihat pesan itu. Lalu pesan bantahan Bunda yang mengatakan kalau anaknya itu tak berpacaran. "Tuh ke baca kan," tuturnya sambil mematikan layar ponselnya kemudian mengantonginya. Ia kan jujur. Fara terduduk lemas di atas tempat tidurnya. "Lala gak enak nolaknya," tuturnya sambil menggigit bibirnya. Ia tahu kalau wajah Fara keberatan. Kalau dari yang lain sih pasti ia berani menolak. Tapi ini dari dosennya? Astaga! Lala ikut pusing! Fara mengalihkan pandangannya ke wajah Lala yang turut tak enak hati padanya. "Gosipnya kan pada begitu semua, La," tuturnya pelan. Ia masih syok hebat soalnya. Gimana gak syok? Wong tiba-tiba mendapat kabar ditawarkan ta'aruf oleh dosennya. Lalu lelaki yang ditawarkan adalah Farrel. Astaga! Dari sekian banyak lelaki, kenapa harus cowok itu sih? Fara kan gak suka! Lala hanya sanggup mengendikkan bahu. Ia juga tak tahu. Tapi mungkin bisa dipercaya karena Bunda yang berbicara begitu. Meski keduanya juga sama-sama meragukan. Siapa yang gak ragu kalau keduanya masuk berita terlihat sangat dekat dan intens? Apalagi Shabrina selalu tertangkap memegang lengan Farrel? Lalu Latisya juga melihat semua postingan Shabrina. Kedekatan keduanya begitu jelas. Bagaimana bisa Bunda menawarkan Farrel untuk ta'aruf dengan Fara? Haaaah. Baru pulang dari kampus begini, kepala Fara langsung pusing. Ia memijit keningnya saking pusingnya. Ia juga kehilangan kata-katanya. Ia sih tak begitu mengikuti kabar berita Farrel. Tapi semua orang Indonesia juga tahu kalau lelaki itu sedang dekat dan berpacaran dengan siapa. Lantas bagaimana mungkin tiba-tiba ditawarkan ta'aruf dengannya? Mana dosennya alias Bunda lelaki itu pula yang menawarkan. Astagfirullah! Rasanya Fara ingin menjedotkan kepalanya dan berharap ini mimpi! Gantinya, ia malah menampar pipinya dan itu terasa sakit. Oke-oke, pikirnya. Ini bukan halusinasi apalagi mimpi. "Coba aja dulu, Kak. Kan setelah itu bisa ditolak," usul Lala tapi kemudian ia dicekik Fara yang kesal pada idenya itu. Lantas keduanya terbahak diatas tempat tidur. Farrel? Sibuk menenangkan diri di masjid. Sudah berhari-hari ini ia tak lepas dari istikharah, hajat dan itikaf di masjid. Demi menanti kabar tawaran taaruf pada gadis itu. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN