Keesokan paginya Elsa telah berada di ibukota bersama dengan Max. Karena Elsa akan menjalani interview pertamanya, dia tidak mau mengambil resiko dengan datang terlambat. Kemarin malam malam mereka pergi ke bandara tepat pukul 22.00 malam, pesawat lepas landas pukul 23.00 dan mendarat pukul 03.20 dini hari.
Setelah itu Elsa pergi ke rumah Bibi Yenny, untuk menyewa tempat tinggal. Bibi Yenny sendiri adalah wanita paruh baya yang memiliki puluhan tempat sewa. Mulai dari ruko, rumah, sampai dengan kost-kostan.
Dahulu saat Elsa masih bersekolah menengah atas, dia bekerja sambilan untuk mencukupi kebutuhan. Dia memang mendapat beasiswa, tapi tidak termasuk dengan uang sakunya. Terlebih saat ada kegiatan yang mengharuskannya menyetorkan uang, Bibi Yenny adalah sosok baik yang memberinya pekerjaan juga sebuah tempat tinggal.
Ting...
Elsa membunyikan bel rumah beberapa kali, tapi sampai tangannya lelah tidak ada sahutan dari dalam.
"Mama ...."
Mungkin karena terlalu berisik, Max yang duduk di kursi tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Dia menatap dengan wajah yang masih mengantuk dan merentangkan tangan.
Elsa meninggalkan pintu dan berjalan ke arah Max. Di waktu yang sama, pintu terbuka dan menampakkan seorang wanita paruh baya berkulit putih dengan rambut yang disanggul.
"Permisi, apa yang kamu butuhkan?" Yenny bertanya kepada Elsa yang membelakanginya.
Elsa mengenal suara ini, dia dengan segera menggendong Max dan memutar kembali badannya. "Bibi Yenny, ini aku, Elsa."
Bibi Yenny tampak menyipitkan mata, membuat kerutan di sekitar keningnya kian kentara. "Elsa?" gumamnya sambil berusaha mengingat.
Tidak begitu lama, pupil matanya bertambah lebar. "Elsa ...." Bibi Yenny menatap Elsa dari atas ke bawah.
"Elsa? Apa ini benar-benar kamu?" Dia bertanya masih dengan ekspresi yang rumit.
"Tentu saja ini aku, Bibi Yenny. Penampilanku mungkin sedikit berubah, tapi tanda lahir ini sama sekali tidak berubah." Elsa mengangkat tangan kanannya, menunjukkan tahi lalat kecil yang tepat berada di bawah telapak tangannya.
Mata Bibi Yenny semakin lebar, sekarang dia yakin jika di depannya adalah Elsa. Gadis remaja yang dahulu pernah bekerja paruh waktu di tempatnya.
"Elsa, Bibi benar-benar tidak menyangka bisa melihat kamu lagi setelah tujuh tahun. Eh ...." Bibi Yenny terlalu sibuk dengan Elsa, baru sadar ada seorang anak laki-laki tampan berambut ikal tertidur dalam gendongan Elsa. Jika tidak memperhatikan dengan seksama, matanya yang rabun masih akan mengira Max adalah tas gendong.
"Kamu sudah menikah?" tanya Bibi Yenny spontan.
Tapi Elsa tidak bisa memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Dia menundukkan kepala dan menatap Max dengan perasaan bersalah.
Bibi Yenny langsung tahu jika ada masalah, tanpa lagi mengharapkan jawaban dia mengajak Elsa masuk ke dalam.
Begitu sampai di ruang utama, Bibi Yenny membiarkan Elsa untuk menidurkan Max di salah satu kamar tidur. Kebetulan saat ini dia hanya tinggal sendiri. Suaminya meninggal tiga tahun lalu, sementara dia tidak memiliki anak.
Alasan ini juga yang membuat Bibi Yenny memperlakukan Elsa begitu baik. Dia menganggap Elsa seperti putri kandungnya. Kebetulan juga Elsa adalah yatim piatu, membuat Bibi Yenny merasa iba terhadapnya.
Cklak...
Elsa baru saja keluar dari ruang tidur, Bibi Yenny melambaikan tangan memintanya untuk duduk di ruang utama.
"Sepertinya kamu menjalani tahun-tahun yang sulit. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Bibi Yenny penasaran. Jiwa keibuannya bangkit melihat kondisi Elsa saat ini.
Elsa menatap Bibi Yenny yang sangat ingin tahu, dia pun tidak memiliki pilihan lain dan bercerita kepada Bibi Yenny.
Bibi Yenny memperhatikan pintu ruangan yang tertutup. Seolah tatapan matanya dapat menembus pintu kayu dan melihat Max yang lagi tertidur. "Jadi tidak ada yang tahu siapa ayahnya?"
Elsa tersenyum pahit dan menggelengkan kepala. "Aku bahkan berharap dia tidak muncul dalam hidup kami."
Meski terdengar egois, tapi Elsa benar-benar tidak ingin bertemu dengan pria tiga tahun lalu. Elsa tidak ingin pria itu tahu tentang keberadaan Max. Elsa tidak ingin Max dibawa pergi oleh orang lain darinya.
Bibi Yenny menghela nafas cukup dalam, dia lalu mengangkat wajahnya dan melihat jarum jam telah menunjukkan pukul 07.00 pagi. "Bukankah kamu akan interview hari ini?"
Elsa bercerita terlalu banyak. Dia tak sadar telah menghabiskan dua jam lebih bersama dengan Bibi Yenny.
"Bibi Yenny, bisakah aku menitipkan Max kepadamu? Aku mungkin akan kembali siang hari."
Bibi Yenny menyetujuinya tanpa berpikir. Dia merasa sangat senang jika harus menemani Max. Sudah menjadi harapannya memiliki anak, tapi bukan hanya anak, sekarang dia memiliki seorang cucu. Mungkin ini yang dinamakan buy one get one.
Karena Bibi Yenny telah setuju untuk merawat Max selama interview, Elsa segera pergi ke ruangan dan bersiap. Kemarin setelah pergi dari kampus dia telah membeli satu set pakaian formal. Sekarang ia mengenakan pakaian itu untuk pergi interview.
...
Sander Group.
Sebagai salah satu perusahaan terkemuka, banyak sekali orang yang bermimpi untuk bekerja di sana. Tidak terkecuali Elsa. Dengan mengenakan kacamata, dia menenteng map coklat berisi CV di satu tangannya.
Pandangan menatap lurus ke depan, gedung pencakar langit milik Sander Group telah terlihat. Hanya perlu melintasi beberapa blok dan ia akan sampai.
Elsa melirik jam tangannya, melihat jarum jam masih menunjukkan pukul 08.30. Jadi masih ada banyak waktu sampai jam interview dilakukan.
Elsa berjalan dengan tenang, sesekali dia membayangkan betapa senangnya ketika sudah bekerja di Sander Group. Akan tetapi, ....
Cit...
Entah muncul dari mana, Mercedes-Benz hitam melaju dengan cepat tanpa menghiraukan orang yang berjalan di trotoar. Kebetulan kemarin malam terjadi hujan, banyak genangan air di tepi-tepi jalan.
Elsa sudah berjalan di tepi, tapi Mercedes-Benz hitam melaju terlalu kencang. Cipratan air langsung mengguyur tubuh Elsa.
Elsa berusaha sekuat tenaga melindungi map coklat di tangannya, tapi di saat yang sama dia harus mengorbankan kemeja putih yang dikenakannya. Semua kotor. Yang semula putih dan rapi, tampak kacau dengan bercak coklat terkena cipratan air.
Mata Elsa langsung berapi-api, tatapannya tertuju pada Mercedes-Benz hitam yang berhenti tak begitu jauh darinya.
Tok tok tok...
Elsa mengetuk kaca mobil dengan sedikit keras. "Hei! Kalian harus bertanggung jawab. Aku akan menghadiri interview. Tapi kalian membuat semua kacau."
Bukannya menanggapi, atau setidaknya menurunkan kaca mobil. Mercedes-Benz hitam kembali melaju tanpa menghiraukan Elsa.
Elsa sangat marah hingga wajahnya memerah. Kaki menghentak dengan keras dan tangan yang terkepal. "Dasar tidak bertanggung jawab! Aku sumpahkan ban mobil kalian kempes di jalan."
Huh!
Setelah mengungkapkan kekesalannya, Elsa seperti telah mendapat kembali kesadarannya. Dia diam sejenak, dan perlahan memperhatikan kondisinya.
"Oh tidak, bagaimana ini ...." Elsa menatap pakaiannya yang kotor. Dengan segera dia menjadi panik ketika menghitung jarak waktu interview yang hanya tersisa 25 menit.
"Aku tidak akan sempat jika harus kembali dan mengganti pakaian ...." Tidak ada pilihan lain. Elsa tetap pada niatnya dan melangkahkan kaki menuju Sander Group. Pakaian bernoda lumpur sama sekali tidak menghalangi jalannya untuk datang.