Setengah jam kemudian, Elsa kembali ke ruangan Theo sesuai permintaan sebelumnya. Namun, ketika sampai di sana ia tidak menemukan keberadaan manusia berwajah batu itu duduk di tempat kerjanya.
Kemana dia? Bukankah dia yang menyuruhku datang?
Perhatian Elsa tertuju pada pintu ruang pribadi yang agak terbuka. Sebenarnya dia juga tidak terlalu tertarik untuk masuk ke sana. Tapi mengingat jadwal pertemuan yang hanya tersisa dua puluh menit, dia harus segera menemukan keberadaan Theo.
"Presdir Theo, Anda di dalam?" Entah siapa yang memberinya keberanian. Elsa mengayunkan kakinya begitu lancar dan sampai di dalam ruangan.
Elsa berjalan ke arah kasur king size yang kosong, lalu mulai menelisik ke sekitar. Tepat pada saat ini, telinganya merespon suara gemericik air dari kamar mandi dan spontan mengangkat wajahnya.
"Sepertinya dia masih bersiap …." Memastikan Theo sedang membersihkan diri, Elsa berniat keluar karena sadar dengan apa yang ia lakukan.
Dia tidak mungkin membiarkan Theo tahu jika dirinya telah memasuki ruangan ini tanpa izin. Jika sampai ketahuan, mulut ketus itu pasti akan berceramah hingga telinganya berdengung.
"Tidak, aku harus keluar sekarang ...." Elsa mengangkat kaki dan secara pasti memutar tubuhnya.
Namun sebelum melangkah terlalu jauh, terdengar suara Theo dari dalam kamar mandi. "Hanz, ambilkan pakaianku!"
Elsa tercengang. Matanya yang bulat seperti anggur perlahan berputar mencari keberadaan Asisten Hanz. Namun selain dirinya, tidak ada siapapun di ruangan.
"Hanz, apa kau tuli? Cepat ambilkan pakaian untukku!"
Elsa tidak memiliki kesempatan untuk bicara banyak kata, dia berjalan ke sisi tempat tidur dan menarik pintu lemari besar yang ada di sana.
Tok tok...
Sambil membawa satu set pakaian formal, Elsa berdiri tepat di depan pintu kamar mandi.
Tidak lama setelah itu pintu kamar mandi terbuka dibarengi dengan aroma lemon yang menyeruak semerbak.
Theo berdiri di ambang pintu hanya mengenakan handuk putih yang dililit ke pinggang. Tangannya meraih satu set pakaian yang ada di depannya, keningnya mengerut ketika orang yang membawakannya pakaian bukanlah Hanz. Tapi Elsa, sekretaris culun-nya.
"Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?"
Elsa mengabaikan pertanyaan Theo padanya. Atau lebih tepatnya, dia tak mendengar pertanyaan itu karena fokusnya hanya pada perut sixpack serta d**a bidang yang sangat mengagumkan.
"Kenapa pria galak ini memiliki tubuh yang begitu bagus?" Elsa bergumam begitu pelan hingga tak seorang pun mendengarnya.
Theo menaikkan satu alisnya, mulai menyadari wanita berkacamata tebal ini sedang memperhatikan bentuk tubuhnya. Dalam sekejap lengkungan senyumnya menjadi sedikit sinis.
"Sampai kapan kamu akan menatapku?"
Ugh...
Elsa tersadar. Dia memalingkan wajahnya dengan cepat lalu mundur untuk menjaga jarak. "Maaf, Pak ...."
Theo sama sekali tidak menggubris, bahkan mengabaikan Elsa yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi.
...
Sepuluh menit kemudian, Elsa dan Theo telah sampai di tempat parkir bawah tanah. Theo berjalan ke Mercedes Benz hitam yang terparkir di area khusus.
Saat akan masuk ke kursi belakang, mata setajam elang itu menatap dengan tajam ke arah Elsa. "Apa yang kamu lakukan?"
"..."
"Kamu tidak membawa kendaraan?" Sekali lagi suara bariton itu bertanya.
Elsa cukup berdecak mendengarnya. Jangankan membeli kendaraan, jatah s**u Max bulan ini saja ia harus meminjam pada Bibi Yenny. Dalam situasi ekonomi yang sulit ini, Elsa harus berpikir puluhan kali sebelum mengeluarkan uang. Bahkan membeli kebutuhan pokok pun ia harus menunggu event discount besar-besaran agar dapat menekan pengeluaran.
"Naik!"
Elsa berkedip dua kali sambil menatap Theo tak percaya. Telinganya seperti sedikit bermasalah. Bagaimana mungkin bos-nya ini menawarkan tumpangan untuknya.
"Kamu mau naik atau tidak?" Theo sudah berada di dalam mobil. Dengan kaca yang terbuka, untuk sekian kalinya menunjuk tatapan yang sinis.
Kali ini Elsa meyakinkan dirinya jika telinganya tidak salah mendengar. Meski sulit untuk percaya, dia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Dari pada harus mengeluarkan uang untuk ongkos taksi, bukankah lebih baik menyimpan uangnya untuk kebutuhan lain?
Elsa bergegas naik ke kursi di samping kemudi. Tak lupa dia berterima kasih pada Theo karena telah memberinya tumpangan.
"Terima kasih Presdir Theo! Saya pikir ...."
"Aku hanya tidak ingin kamu merusak pertemuannya. Jadi kamu jangan terlalu banyak berpikir."
Kalimat ini seketika berhasil membungkam mulut Elsa. Padahal baru saja tercatat kesan baik tentang bosnya yang galak ini. Ternyata ia salah. Salah besar!
Elsa menutup mulutnya dan duduk dengan tenang menghadap ke depan. Dibanding harus mengurusi Theo, lebih baik menyiapkan berkas untuk pertemuan nanti.
"Hanz, jalan!"
Setelah memakan waktu dua puluh menit, Mercedes-Benz hitam milik Theo memasuki tempat parkir sebuah restoran.
Pertemuan seharusnya dimulai sepuluh menit yang lalu, tapi karena Sander Group yang memegang kendali, bahkan jika mereka terlambat satu jam pun, pihak lain tidak akan berani berkomentar.
Theo melangkahkan kakinya masuk ke restoran, belasan pelayan langsung berbaris di depan pintu untuk menyambutnya.
Tapi Theo tidak menghiraukan apa yang dilakukan belasan pelayan. Bahkan ketika manager restoran datang dari dalam dengan tergopoh-gopoh, dia masih tetap memasang wajah datar sambil terus melangkahkan kaki ke dalam.
Berjalan di belakang, Elsa dapat melihat semua orang yang berpapasan dengan Theo seperti menganggapnya sebagai raja. Dia sungguh tak menyangka, pengaruh seorang Theo Sander ternyata begitu luar biasa.
Entah pikiran dari mana, dalam kepalanya tiba-tiba muncul gambaran sosok Theo yang baru keluar kamar mandi dengan hanya selembar handuk.
Bukankah dia sangat sempurna?
Ih!
Elsa menepuk pipinya pelan dan segera tersadar. Dia mulai mengutuk dirinya sendiri karena telah berpikir bos galak ini adalah sosok yang luar biasa.
Meski tidak dipungkiri memiliki wajah yang tampan, dan tubuh yang indah, tapi sikapnya sangat angkuh.
"Berkasnya, apa kamu sudah menyiapkannya?" Theo berhenti dan bertanya pada Elsa.
Namun, Elsa yang masih sibuk dengan pikirannya tidak tahu jika Theo telah berhenti. Tak ayal dia menabraknya.
Aduh...
Elsa mengelus keningnya dan perlahan mengangkat wajahnya. Tenggorokan menjadi kering saat bertukar tatapan dengan mata setajam elang.
"Elsa Ricard! Apa aku harus membelikanmu dua kacamata?! Kau bahkan tidak bisa berjalan dengan benar!"
"..."
Tubuh Elsa bergetar saat mendapat teguran ini. Hanz yang berdiri tepat di samping menjadi khawatir.
Masalahnya, belasan sekretaris telah mengundurkan diri karena tidak tahan dengan temperamen tuan-nya. Elsa adalah sekretaris wanita pertama. Ini membuat Hanz cemas karena jika Elsa mengundurkan diri maka ia harus mencari sekretaris lain sebagai penggantinya.
"Sekretaris Elsa, kamu ...."
"Maaf, Presdir Theo! Saya akan lebih berhati-hati." Elsa mengatakannya dengan tersenyum.
Meski terlihat sangat kaku dan dipaksakan, tapi ini sepenuhnya telah menyelesaikan masalah.
Theo masuk ke ruangan vvip tanpa berkata ataupun menjawab ucapan maaf Elsa. Hanz tersenyum tipis, dan melirik Elsa yang berdiri sambil mengepalkan tangan.
"Sepertinya aku terlalu meremehkannya."