8. Diam-Diam Diintai.

942 Kata
"Abang sama sekali menyangka. Kalau anak bawang sepertimu ini ternyata begini insting dasar dan nyalinya." Bang Barry mengacungkan jempolnya. "Ah kagak begitu-begitu amat juga kehebatan saya, Bang. Cuma kebetulan doang." Kiran nyengir. Bang Barry ini berusia jauh di atasnya. Namun sikapnya pada junior patut diacungi jempol. Bang Barry tidak pernah ngebossy apalagi menindas juniornya. Makanya Kiran nyaman berinteraksi dengannya. "Lo emang hebat, Bocah. Kagak usah ngerendah begitu. Terima aja pujian yang memang pantas lo terima." Andika mengacak-acak rambut Kiran. Kiran tersenyum kikuk. Ia risih dipuji-puji orang sekantor. Selain itu ia tidak enak dengan tim-tim dari divisi lain. Khususnya dengan Tim Mega dan Bang Arman. Keduanya tampak memasang muka masam di kubikel masing-masing. Wajar, karena pada saat peliputan di rumah sakit, Mega dan Bang Arman lah yang live report. Namun mereka berdua sama sekali tidak disinggung oleh Pak Herlambang. Pak Jaswin selaku Korlip juga tidak mengatakan apapun. Kalau mau jujur hasil liputan mereka memang standar. Tidak ada yang spesial di sana. "Abang cuma ingin memperingatimu satu hal, Ki. Reporter berani sepertimu ini akan banyak mendatangkan masalah. Kamu akan diancam, diteror dan berbagai intimidasi lainnya. Nyawamu adalah taruhannya. Jangan terlalu kritis kalau kamu tidak mau teriris. Bijaksanalah dalam bekerja?" Bang Barry menepuk pundak Kiran sekali lagi sebelum berlalu. "Lo dengerin tuh nasihat Bang Barry. Jangan ntar lo bernasib kayak reporter luar yang diculik atau dibunuh gimana?" tandas Andika. "Iya, Dika. Iya. Gue juga belum pengen mati kali." Kiran memutar bola mata. Berjalan sembari bercanda membuat Kiran tidak awas. Ia menabrak seseorang yang masuk secara berbarengan. "Aduh." Kiran meringis saat dahinya membentur bahu seseorang. "Baru berhasil mendapat berita kecil saja, gayanya sudah selangit. Kepalamu bertambah besar karena pujian ya, makanya tidak muat keluar dari pintu? Makanya kamu sampai menabrak saya? Suara ini? Kiran mengangkat kepala. Ia seperti familiar dengan suara ini. Tebakannya benar. Suara serak nan ketus ini adalah suara Bisma Bagaspati. Anak Pak Aditya Bagaspati, pemilik stasiun Cakra Buana Televisi Indonesia. Seketika kejadian tiga bulan yang lalu pun kembali terbayang di benak Kiran. Kala itu ia baru pertama kali melakukan liputan tentang demonstrasi buruh yang menuntut kenaikan UMK. Masalahnya mobilnya mogok, dan ia terjebak macet. Belum lagi ia tengah sakit perut parah karena datang bulan. Ia meninggalkan mobilnya di jalan dan menaiki ojek online ke TKP. Bukan itu saja. Karena driver takut terkena aksi massa yang mulai anarkis, ia ditinggal di tengah jalan. Ia melanjutkan perjalanan dengan berlari kencang sekitar sepuluh menit untuk mencapai lokasi. Namun apa mau dikata. Ia tetap terlambat datang ke lokasi. Untungnya Pak Jaswin telah mengirim tim lain. Sehingga kantor tetap bisa menyiarkan berita yang aktual. Ia dianggap failed oleh kantor. Bisma memakinya habis-habisan saat ia kembali ke kantor sore itu. "Kamu manusia yang dibekali otak bukan? Kalau mobilmu mogok, ya naik transportasi lain. Ada banyak transportasi online yang tersedia. Kalau pun tidak ada, kamu masih punya dua kali untuk dipakai berlari. Pakai otakmu, bukan dengkulmu. Mau menjadi reporter kok tidak punya insting dasar!" Kiran ingat. Kala itu ia tidak membela diri walaupun apa yang dikatakan Bisma sudah ia lakukan semampunya. Dengan menahan sakit dan kelelahan ia menerima semua caci maki Bisma dengan ikhlas. "Menjadi seorang jurnalis adalah komitmen menjalankan profesi, bukan pekerjaan. Oleh karenanya kamu harus siap kapan pun, di mana pun dalam keadaan apa pun ketika dibutuhkan. Baru diberi kepercayaan meliput berita ecek-ecek begini saja kamu sudah gagal. Bagaimana nanti jikalau kamu mendapat kesempatan meliput berita yang besar? Jangan-jangan stasiun televisi saya kolaps kalau mendapat jurnalis mental tempe sepertimu. Bisanya cuma nangis. Cengeng kamu!" Kiran baru sadar kalau ia menangis selama Bisma mengamuk. Bisma salah mengartikan air matanya. Ia bukan menangis karena dimaki-maki. Melainkan menahankan rasa sakit senggugutnya. Setelah kejadian itu Kiran bertekad bahwa ia menunjukkan totalitasnya sebagai jurnalis sebaik mungkin. Ia ingin menyumpal mulut pedas Bisma dengan prestasi. "Selamat sore, Pak. Permisi." Kiran menyapa sekaligus berpamitan. Ia memiliki prinsip seperti ayahnya. Bahwa tidak perlu meladeni orang yang sudah sentimen padanya. Karena apa pun yang akan ia jelaskan tidak akan memuaskan mereka. Karena niat mereka hanya cari ribut. Bukan menyelesaikan masalah. Jadi sebaiknya abaikan saja. "Mau ke mana kamu? Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaan saya?" desis Bisma geram. "Bapak yakin masih membutuhkan jawaban dari saya?" tantang Kiran berani. "Apa maksudmu?" Bisma mendekatan tubuhnya pada Kiran. Kini jarak di antara mereka hanya tinggap sejengkal. "Sudah, Bis. Jaga wibawamu. Kita masuk ke dalam saja." Suara lembut nan syahdu dari belakang Bisma membuat Kiran melirik ke samping. Claudia, sang penyanyi pendatang baru, menyusul berdiri di samping Bisma. Gosip yang beredar sepertinya benar. Bahwa Bisma sekarang berpacaran dengan Claudia. "Kita belum selesai." Bisma melontarkan ancaman sebelum melanjutkan langkah masuk ke dalam kantor. Kiran tidak merespon apa pun. Bahkan meliriknya pun tidak. "Gue heran. Pak Bisma itu ada dendam apa sih sama lo? Kok kayaknya dia sentimen banget sama lo. Apa yang lo lakuin, salah aja di matanya." Andika berdecak. "Tahu ah. Dia jatuh cinta sama gue tapi malu kali. Makanya dia nyari-nyari perhatian dengan cara yang nggak biasa," tukas Kiran asal-asalan. Soalnya ia juga sama bingungnya dengan Andika. "Sembarangan. Itu si cantik imut Claudia ada udah ada di sampingnya. Ngapain dia nyari perhatian sama lo." Andika menoyor iseng pelipis Kiran. "Ya buat berdiri di samping satunya lagi dong. Biar seimbang jalannya. Kanan dan kiri ada yang nuntun biar kagak jatuh," sahut Kiran lebih asal-asalan lagi. "Lo kate Pak Bisma orang buta pakai dituntun-tuntum segala?" Andika ngakak. Setelahnya kedua orang rekan kerja itu berjalan ke parkiran. Hari sudah mulai gelap. Saatnya kembali ke rumah masing-masing untuk beristirahat. Tanpa Kiran sadari, ada sebuah mobil yang berhenti di ujung jalan, terus memperhatikan gerak-geriknya. Tatkala Kiran melintas melewati mobil tersebut, orang yang ada di dalamnya, ikut melajukan kendaraan. Kiran tidak sadar kalau bahaya sudah mulai membayanginya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN