7. Perjodohan.

1027 Kata
"Nanti malam kamu tidak ke mana-mana 'kan, Yo?" Gadis menyapa putra sulungnya. Pagi ini mereka sedang sarapan bersama. Mempunyai suami dan putra seorang polisi membuat ia sulit sekali mempunyai waktu luang membersamai keduanya. Profesi anak dan suaminya ini tidak mempunyai jam kerja yang tetap. Mereka harus siap siaga bekerja sewaktu-waktu. Ditambah dirinya yang juga berprofesi sebagai seorang dokter, membuat waktu mereka bertemu menjadi kian terbatas. Sarapan pagi adalah satu-satunya momen di mana mereka bertiga bisa saling bertukar cerita sebelum masing-masing beraktivitas. Demitrio saling pandang dengan sang ayah sebelum meletakkan peralatan makannya. Mulai lagi. Pasti ibunya kembali dalam misi mencarikan jodoh untuknya. "Kenapa memangnya, Bu?" Demitrio pura-pura tidak tahu. Peringatan melalui tatapan tajam sang ayah, membuatnya tidak berkutik. Ayahnya memintanya untuk tidak menolak permintaan sang ibu. "Bu Ambar dan Ishana mau berkunjung," ungkap Gadis gembira. Demitrio diam. Ia tahu setelah ini akan ada kalimat lanjutannya. "Lantas, apa hubungannya dengan Rio, Bu? Bu Ambar itu 'kan rekan sejawat Ibu. Bukan teman Rio." Demitrio pura-pura tidak mengetahui rencana sang ibu. Ia juga pura-pura tidak melihat pelototan ayahnya. "Kalau dengan Bu Ambar sih memang tidak ada. Tapi kalau dengan Ishana, ada dong." Gadis tertawa kecil. Ia tahu kalau Demitrio sudah menangkap modusnya. Namun putranya ini tidak berani terang-terangan menolak karena pelototan ayahnya. "Ibu dan Bu Ambar ingin kamu dan Ishana saling berkenalan, untuk lebih memahami kepribadian masing-masing. Nah, kalau cocok baru dilanjutkan dengan saling berpacaran dulu. Tidak harus langsung sat set sat set menikah. Ya, kalaupun jika hal itu terjadi, kami berdua pasti akan sangat bersyukur." Orlando menyembunyikan senyumnya. Cara istrinya ini melobby, cantik sekali. Halus, namun tepat pada sasaran. "Ibu juga tidak sembarangan mengenalkan calon istri padamu. Babat, bibit, bebet dan bobotnya sudah Ibu sortir terlebih dahulu." Gadis mulai melancarkan aksinya. "Ishana itu dewasa, baik, ayu lagi. Mantan putri Indonesia pula. Jadi kepribadiannya tidak perlu diragukan lagi." Jala tipis-tipis sudah mulai ditebar. Demitrio menarik napas panjang. Semenjak adiknya Mikaila menikah, ibunya mulai mendesaknya untuk segera berumah tangga. Jangan kelamaan membujang katanya. "Tahun kamu menolak Ibu jodohkan dengan Kiran karena kamu bilang dia tidak dewasa, pecicilan dan tidak ada ayu-ayunya bukan? Nah, sekarang Ibu mencalonkan Ishana yang segalanya adalah kebalikan dari Kiran." Gadis terus merangsek. Putranya ini tidak pernah dekat dengan perempuan. Oleh karenanya Gadis merasa mungkin sudah waktunya ia turun tangan untuk membantu sang putra mencari jodoh. Terlalu sibuk bekerja membuat putranya tidak punya waktu untuk berpacaran. "Rio dan Ishana 'kan sudah saling kenal, Bu. Untuk apa berkenalan lagi?" bantah Demitrio. "Kamu ini seperti anak kecil saja, Yo. Bukan berkenalan secara harfiah yang Ibu maksud. Tapi berkenalan dengan tujuan saling mengenal lebih dalam kepribadian masing-masing." Dengan sabar Gadis menerangkan maksud kalimatnya, yang ia yakin kalau putranya memahaminya juga. Putranya ini hanya ingin mengelak dari pertemuan. "Setahu Ayah IQ-mu di atas rata-rata, Yo. Mengapa kamu mempermalukan kecerdasanmu sendiri dengan bertanya seperti itu. Jawab saja usul ibumu dengan lugas. Kamu mau, atau tidak mau saling penjajakan dengan Ishana. Beri juga penjelasan yang masuk akal atas apa pun jawabanmu." Orlando membantu istrinya menekan putra sulungnya tipis-tipis. Demitrio mati kutu. Ia tidak tahu harus merespon apa atas serangan pagi dua arah dari kedua orang tuanya. Sejujurnya Demitrio menyesal telah memberi alasan sekanak-kanak itu saat kedua orang tunya tahun lalu ingin menjodohkannya dengan Kiran. Kini ia harus mempertanggungjawabkan mulut besarnya. Apa boleh buat. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Ia tidak punya alasan lagi untuk menolak. "Seperti yang Ibu bilang tadi. Rio dan Ishana cuma saling berkenalan bukan? Yang artinya, jika salah satu atau kami berdua tidak cocok, maka perkenalan ini tidak perlu dilanjutkan lagi. Begitu 'kan konteksnya, Bu?" Demitrio meminta kepastian. "Benar. Kalian berdua bertemu saja dulu. Bagaimana kelanjutannya, Ibu dan Bu Ambar tidak akan ikut campur. Karena yang akan menjalani pernikahan adalah kalian berdua," tegas Gadis. Dirinya dan Bu Ambar memang berniat menjodohkan anak-anak mereka. Tetapi mereka tidak mau memaksakan kehendak. Keputusan tetap ada di tangan anak-anak mereka. "Baik. Kalau cuma untuk berkenalan, Rio setuju." Dengan apa boleh buat Demitrio mengabulkan keinginan ibunya. "Alhamdullilah, Ibu senang sekali mendengarnya. Semoga kalian berdua berjodoh sehingga Ibu bisa berbesanan dengan Bu Ambar. Aamiin." Gadis membuat gerakan berdoa dengan kedua tangannya. "Oh ya, sebagai clue pertama, Ibu akan memberitahumu satu hal. Menurut Bu Ambar, Ishana itu sebenarnya sudah lama menyukaimu. Dia juga sering memberimu kode-kode setiap kamu menjemput Ibu di rumah Bu Ambar. Sayangnya kamu tidak peka terhadap kode-kodenya." Gadis mendecakkan lidahnya. Demitrio diam saja. Dirinya bukan tidak peka. Sebagai seorang penyidik, peka adalah insting dasarnya. Masalahnya ia memang tidak mempunyai perasaan yang khusus pada Ishana. Ia menganggap Ishana seperti adiknya sendiri. "Bisa hancur negara ini kalau aparat-aparatnya tidak peka, Dis," cemooh Orlando. Tapi ia tidak meneruskan kalimatnya. Ia tidak mau mematahkan semangat istri tercintanya. Sebagai sesama laki-laki Orlando tahu kalau sikap sang putra terhadap Ishana datar-datar saja. Lain jikalau sudah berhadapan dengan Kiran. Putranya bisa naik tensi dan gemas secara bersamaan. Ada daya tarik menarik seperti magnet yang tidak disadari keduanya. Orlando yakin, keduanya tinggal menunggu waktu untuk menyadari perasaan masing-masing. Sebagai orang yang pernah muda, Orlando tidak akan ikut campur. Biarkan saja semesta bekerja sebagaimana mestinya. Ia cukup duduk manis dan menunggu semuanya terjadi saja. *** "Gile lo, Ki. Gue bener-bener nggak nyangka kalo lo akan menjadi pahlawan stasiun televisi kita." Andika menepuk keras bahu Kiran. Mereka baru saja keluar dari ruangan produser. Pak Herlambang, selaku produser stasiun televisi tempat mereka bekerja, memanggil Kiran secara khusus. Ia sangat puas akan hasil liputan tim mereka, khususnya Kiran. Liputan live report mereka dari lokasi kebakaran mendapat apresiasi dari pemirsa. Alhasil mereka mendapatkam share dan rating tertinggi pada saat itu. Ditambah dengan piawainya Kiran memberi judul clickbait pada tulisannya di berita online pagi harinya, menjadikannya primadona hari ini. Kiran menulis tentang mengapa Bu Yanti bisa melompat dari jendela padahal Bu Yanti dalam keadaan lumpuh. Clickbait Kiran mengundang rasa penasaran pemirsa. "Itu semua juga atas bantuan lo. Kalo lo nggak memberitahu gue soal korban yang diduga adalah Bu Yanti, gue pasti nggak akan penasaran dan secepat itu ke rumah sakit. Ini kerjasama tim kita, Dik." Kiran merangkul bahu Andika akrab. "Tim kita memang hebat. Tapi kamu lebih hebat, Ki." Bang Barry yang merupakan operator di mobil SNG ikut menepuk pundak Kiran. Ia sengaja menunggu Kiran keluar dari ruangan produser.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN