Savannah [3]

1957 Kata
Tristan memandang tidak percaya dengan sosok wanita didepannya. Sosok wanita yang sudah lama ia cari dan sudah lama menghantui hidupnya. Setelah beberapa bulan ia berusaha mencari dan tidak menemukan pencerahan, akhirnya hari ini ia menemukan Sava dengan mudahnya atas bantuan dari Ibu nya. Apakah ini sudah takdir? "Tristan?" Hati Tristan terenyuh ketika Sava kembali menyebutkan namanya. Walaupun bukan dengan nada yang sering ia kenali dulu. Kali ini ia menyebutkan nama nya dengan nada tidak percaya. "Sava. Kau kah itu? Akhirnya aku menemukan mu." Tristan bangkit. Ia begitu senang bertemu Sava hingga akhirnya dia melangkah maju untuk memeluk Sava. Sava langsung sigap dengan melangkah mundur. Ia tidak sudi dipeluk oleh lelaki yang sudah menghancurkan hidupnya dan juga menyakiti dirinya dengan begitu dalam. Tristan tercenung namun juga pada akhirnya ia paham kenapa Sava bersikap seperti itu. "Sava aku minta maaf." Ucap Tristan dengan berhati-hati. Sava hanya memandang Tristan dengan tatapan yang sulit dipercaya dan ia membalikkan badan bersiap untuk pergi. Untungnya Tristan memesan tempat yang lebih privat sehingga tidak banyak orang yang melihat sedikit pertengkaran mereka. Tristan menghalangi Sava pergi. Ia memegang lengan Sava. "Lepasin tangan mu." Sava mendesis. Secara refleks ya melepaskan tangannya. "Aku mencari mu belakangan ini tapi tak ku temukan, aku tidak menyangka kalau kita dipertemukan dengan cara ini." Ujar Tristan. Sava tidak kuasa lagi membendung amarahnya. "Aku berharap aku tidak akan pernah bertemu mu lagi." Seusai berkata seperti itu Sava langsung berbalik dan berjalan menjauh, Tristan langsung mengambil langkah besar dan menghadang Sava. Ia berdiri didepan Sava untuk menghalangi jalannya. "Sava, aku tau ini sudah sangat terlamat tapi aku ingin meminta maaf padamu." Sava berjengit dan merasa mual mendengar ucapan Tristan. "Kau tau ini sudah terlambat kau masih berani menampakkan diri didepan ku?"Sava menyahut sinis. Tristan tampak salah tingkah dengan pertanyaan Sava. Ia tau pasti akan mendapat reaksi seperti ini. Maka dari itu ia hanya diam dan menatap Sava dengan dalam. Ia sudah sangat merindukan wanita ini bertahun-tahun lamanya. Sekali lagi Sava ingin pergi dan untungnya Tristan tidak mencegahnya. Sava menerobos keluar dari restaurant secepatnya lalu ketika sampai didepan pintu ia menyadari  bahwa supir nya sudahlah pulang sejak tadi dan terpaksa Sava harus memanggil taksi sebelum Tristan keluar. Sava mengambil ponselnya lalu membuka aplikasi taksi online. Restaurant ini agak sedikit jauh dari keramaian entah apa siapa yang merekomendasinya. Ketakutannya benar-benar terjadi. Tristan sudah muncul dari pintu restaurant dan melihat Sava sedang kebingungan mencari kendaraan untuk pulang. Ia melihat Tristan berjalan ke arahnya dan Sava pun semakin takut. Sebuah mobil berhenti didepan Sava dan seorang pria tampan keluar dari dalam mobil lalu menghampiri Sava. "Ayo masuk." Ujarnya kepada Sava. Sava menatap pria itu bingung. Sava tidak merasa kalau ia mengenali pria yang sekarang sedang berdiri didepanya. "Kau siapa?" tanya Sava bingung. "Tidak ada waktu lagi. Kau mau menghindari dari pria yang disana itu kan? Ayo masuk. Aku tidak ada niatan jahat padamu. Aku hanya ingin menolongmu saja." Ucap Pria itu dengan tegas. Entah dari dorongan mana Sava akhirnya menuruti pria itu untuk masuk ke dalam mobil dan pria itupun langsung menancapkan gas nya pergi dari pelataran parkir resraurant. Sava bisa melihat bahwa Tristan sempat terkejut dan masih melihat kepergian Sava. *** Bian tersenyum sambil menjabat tangan relasi nya. "Maafkan saya pak Bian harus menyudahi pertemuan kita. Saya tidak mengira kalau akan ada masalah yang mendesak dan sayangnya tidak bisa ditinggalkan." Ujar seorang pria berusia lebih tua dari Bian beberapa tahun. "Tidak apa-apa pak Salim, saya bisa mengerti." "Lain waktu kita atur jadwal kita lagi ya. Saya benar-benar tidak enak jadinya." Ujar pria bernama Salim itu kepada Bian. Bian tersenyum simpul lalu mengiyakan. Selepas itu ia melihat pria yang bernama Pak Salim itu pergi meninggalkan restaurant. Bian juga bersiap untuk pergi namun perhatiannya teralih pada keributan kecil yang ada di ruangan VIP di ujung ruangan. Ruangan VIP itu khusus ruangan yang dipesan sebelumnya. Sebenarnya ruangan itu tidaklah tertutup sepenuhnya hanya ditutupi sebatas tirai. Ia melihat Sava. Wanita yang pernah ia lihat sebelumnya di kafe milik sahabatnya itu. Ada apa dengan dirinya? Kening Bian berkerut bertanya-tanya. Perasaan wanita itu selalu bikin keributan sekarang dengan pria yang berbeda. Tapi Bian memerhatikan sekali lagi Sava tampak tidak nyaman berada di samping pria itu. Sava juga terlihat seperti memendam amarah, itu terlihat dari raut wajah Sava. Tak lama setelah mereka bersitegang Sava pun akhirnya pergi dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Naluri Bian mengatakan bahwa ia ingin mengikuti Sava dan memastikan tidak ada yang terjadi pada dirinya. Dan benar saja, Sava tampak kebingungan dan hanya berdiri gelisah di depan pintu restaurant dengan mata yang celingukan mencari sesuatu. Bian berpikir pasti ia tidak punya kendaraan untuk pulang. Ia ingin menghampiri namun Sava menoleh dan wajahnya semakin terkejut ketika melihat pria yang bersamanya tampak sedang menghampirinya. Bian mengerti keadaan sekarang ini. Bian berbalik dan berlari menuju mobil yang terparkir tak jauh dari tempat ia berdiri dan memacu mobilnya lalu berhenti didepan Sava. Ia membuka pintu dan menghampiri Sava yang tampak kebingungan dengan melihat Bian. "Ayo masuk." Ajak Bian membuka pintu depan. "Kau siapa?" tanya Sava. "Tidak ada waktu lagi. Kau mau menghindari dari pria yang disana itu kan? Ayo masuk. Aku tidak ada niatan jahat padamu. Aku hanya ingin menolongmu saja." Ucap Bian. Ia sendiri bingung dengan dirinya kenapa ia bisa berbuat sejauh ini kepada seorang wanita yang belum terlalu ia kenal itu. "Bian pun melihat Sava masuk ke dalam mobil. Bian pun segera menyalakan mesin dan menjalankannya. Kini mereka sudah berada dijalan raya ibu kota yang masih padat. Bian melirik Sava yang duduk disebelahnya. Ia mencoba membuka suara namun keadaan menjadi canggung. "Bisa berhenti didepan?" Sava membuka suaranya. Bian mengerti dan berhenti tak jauh dari halte bis. Sava melepas seatbelt. "Ngomong-ngomong terima kasih telah membantuku." Sava hendak keluar. "Tunggu dulu," panggil Bian. Sava menoleh. "Saya tidak ada maksud apa-apa, sebelumnya saya hanya melihat kau terlihat tidak nyaman dengan pria yang ada disampingmu. Naluri saya sebagai laki-laki mengatakan saya harus membantu mu." Gaya bicara Bian berubah menjadi formal. Sava mengangguk paham. "Saya mengerti, sekali lagi terima kasih." "Saya pernah melihat mu sebelumnya, di Kafe." Ujar Bian seolah masih ingin menahan Sava lebih lama. Sava mengerutkan kening. "Saya tidak ingat kalau kita pernah bertemu." "Memang tidak berhadapan secara langsung, saya hanya melihat dari jauh. Kebetulan saat itu ada keributan kecil yang mencuri perhatian." Bian seketika sadar akan sesuatu. "Sabian. Atau panggil aja Bian." Bian mengulurkan tangannya. Sava menyambut uluran tangan dan menyebutkan namanya. "Savannah, panggil aja Sava." Aku sudah tau, Sava. Batin Bian. "Kau pulang naik apa? Keberatan kalau saya yang antar? Tak baik menolong tanggung-tanggung, lagipula ini sudah agak malam." Sava menggeleng dan menolak Bian lembut. Untungnya Bian juga mengerti. Pasti Sava merasa risih jika harus bersama dengan orang yang belum ia kenal. Pada akhirnya Bian membiarkannya pergi dan memastikan Sava sudah menaiki taksinya. *** Sepanjang perjalanan Sava terus memikirkan bagaimana cara memberitahu Ibu nya tentang pertemuannya dengan Tristan. Sava memejamkan mata seolah ia tidak rela mengingatnya lagi. Susah payah Sava berusaha melupakan Tristan dan berharap untuk tidak bertemu dengannya lagi. Namun pada akhirnya mereka dipertemukan kembali pada cara yang sama sekali tak ia pikirkan. Tristan. Ia masa lalu Sava yang ingin Sava lupakan. Tristan adalah mantan pacar Sava waktu masih berkuliah di salah satu universitas di Jogjakarta. Sava dan Tristan hanya menjalin hubungan singkat dan berakhir tidak baik. Sava memutuskan untuk pulang ke Jakarta dan meninggalkan Tristan. Wajar saja jika Hana tidak mengenali Tristan sebagai seseorang yang pernah menjadi bagian dari masa lalu anaknya, karena Sava tidaklah pernah menceritakan sosok Tristan kepada Hana. Ia memendam sendiri rasa sakitnya sendiri. Hana tidaklah tau saat itu ketika Sava datang dari Jogja dengan membawa sebuah luka besar karena Tristan. Taksi berhenti didepan sebuah rumah. Sava turun dari mobil setelah membayar argo nya. Ia menarik napas dalam lalu masuk kedalam rumah. Pemandangan yang ia lihat pertama kali adalah Hana dan Rama sedang duduk di sofa depan tv. Mereka tampak sangat menikmati acara tv sebelum akhirnya perhatian mereka teralih pada sosok Sava. "Sava? Kok udah pulang?" tanya Hana seraya bangkit dari duduknya dan menghampiri Sava. "Sava gak enak badan jadi memutuskan untuk pulang." Hana memerhatikan wajah Sava yang sedikit pucat dari biasanya. Hana mengangguk "Yasudah, lebih baik kamu istirahat dulu." Kali ini Hana bersikap diluar perkiraan Sava. Ia mengira kalau Hana akan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Setelah Sava menghilang ke kamarnya. Hana kembali duduk di sofa namun matanya tidak lagi menonton acara tv. "Kenapa Ma?" tanya Rama. "Sava." Hana menghembuskan napas panjang. Tanpa bertanya lebih detail, Hana tau bahwa pertemuan Sava dengan Tristan tidaklah berjalan baik. Awalnya Hana ingin mencecar Sava dengan berbagai macam pertanyaan, namun ia urungkan karena melihat wajah Sava yang sudah pucat pasi seperti habis melihat hantu. "Kenapa dengan anak kita, Sava?" "Kenapa Sava susah sekali membuka diri?" Rama membelai bahu istrinya untuk menenangkan. "Ma, sebagai orang tua kita hanya membuka jalan untuk anak. Selebihnya biar anak saja yang menentukan. Selagi itu masih berada dijalur yang benar." Rama mengeluarkan petuah bijaknya. "Tapi mau sampai kapan Sava kayak gini, Pa?" suara Hana terdengar lirih. "Kita doakan saja semoga Sava diberikan jodoh yang terbaik untuk dirinya. Kita jangan terlalu memaksakan kehendak. Sudah cukup Sava mengalami masa lalu yang sangat berat. Kita jangan lagi menambah beban pada nya." Hana mengangguk mengerti. Sedangkan dikamarnya, Sava menangkan pikirannya yang berkecamuk dengan perasaannya yang menjadi tidak karuan. Terselip di sebuah benaknya siapa pria yang barusan membantunya kabur dari Tristan? Dan apa motif Bian ingin membantunya? Sava tidak sanggup untuk berpikir karena kepalanya sudah terasa berat.   *** Sava tidak bisa berkonsentrasi pada esok harinya. Namun ia tetaplah harus bersikap professional sebagai pemilik dari butik sederhana nya. Sava justru merasa ia perlu pengalihan pikiran dengan bekerja saat ini. Pada kesenjangan waktu, Sava menyempatkan diir mengirim pesan kepada sahabatnya, Risa. Sava : Nanti sore aku akan mampir ke apartemen mu. Risa : Ok. Sava memutuskan untuk tidak pulang dulu ke rumahnya dan ia juga sudah mendapat izin dari orang tuanya yang memang sudah sangat mengenal siapa Risa, teman satu-satunya yang sangat mengerti Sava luar dalam. Hari sudah menjelang sore  dan saatnya Sava bersiap untuk pulang. Sesampainya di gedung apartemen Risa. Sava tau bahwa Risa belum waktunya pulang namun mungkin karena Sava dirinya bersedia untuk pulang lebih cepat. Sava tau bahwa Risa bekerja sebagai marketing di sebuah perusahaan kosmetik ternama, Risa biasa pulang selepas jam delapan malam. Tapi sekarang baru jam setengah tujuh Risa sudah berada di apartemennya hanya untuk menemui Sava. "Maaf membuatmu harus pulang lebih cepat." Sava terduduk lemas di sofa. "Santai saja, kebetulan aku lagi gak sibuk banget tadi." Risa mengeluarkan sebotol air mineral dari dalam kulkas dan menyerahkan kepada Sava. "Jadi apa yang sedang kau pikirkan? Gimana kencan nya semalam?" tanya Risa ikut duduk disebalah Sava. Sava meneguk air mineral sampai tersisa setengah gelas. "Aku bertemu dengan Tristan." "Tristan? Bukannya kau harusnya kau kencan dengan pria pilihan ibumu?" Risa tidak mengerti. Sava mengangguk. "Iya, ternyara dia adalah Tristan." Risa terbelalak. "Jadi namanya Tristan? So, gimana pertemuannya semalam? Gak seburuk yang kau kira kan?" Sava menghembuskan napas berat karena ternyata Risa belum juga menyadari maksudnya. "Ternyata yang selama ini dibicarakan oleh Mama adalah Tristan, mantan pacarku." Ucapan Sava sontak membuat Risa langsung membelalakan matanya. "Wow." Hanya itu yang bisa diucapkan Risa selagi mengatasi rasa terkejutnya. "Gimana bisa sih kau ketemu lagi dengan Tristan? Udah sekian lama." Risa menggantungkan kalimatnya. "Aku juga gak tau kenapa. Kenapa juga aku harus bertemu dengan dia lagi." Sava merasakan mata nya memanas dan melelehkan sesuatu yang membasahi pipinya. "Sebagai sahabat yang tau betul Sava selama ini ia ikut merasakan kesedihan Sava. Kesedihan yang teramat sangat dalam yang belum tentu bisa dilewati dan tidak semua orang merasakannya. Risa memeluk Sava dan membiarkannya meluapkan tangisannya. "Menangislah sepuasnya." Ujar Risa sembari masih mengelus punggung Sava. "Aku gak mau ketemu dia lagi." Risa mengangguk. "Semoga semalam pertemuan yang terakhir." Yang dilakukan oleh Risa selanjutnya adalah menjadi penghibur untuk sang sahabat. *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN