Setelah Tristan bertemu lagi dengan Sava pada malam itu, ia tidak bisa memikirkan Sava, ia merasa bahwa pertemuan nya dengan Sava sudahlah diatur. Maka dari itu Tristan tidak mau menyia-nyiakan kesempatan lagi. Malam pulang dari restaurant, ia langsung meminta alamat rumah Sava dan dimana tempat ia bekerja kepada ibu nya. Ibu nya –Fani langsung merespon senang karena ibu nya itu merasa bahwa usaha nya berhasil.
"Bagaimana pertemuannya? Kamu klik sama Sava?"
Tristan tersenyum. "Dia, wanita yang aku cari-cari, Mah. Makasih ya udah ngenalin aku sama Sava." Tristan memeluk ibu nya itu dengan erat dan Fani membalasnya dengan pelukan hangat serta senyum sumringah nya.
"Tapi kenapa kamu nanyain ke Mama? Kan bisa tanyain langsung ke Sava nya?"
"Tadi Sava pulang duluan kayaknya gak enak badan, dan memang kita belum banyak ngobrol." Cerita Tristan tidak sepenuhnya jujur. Ia merasa belum saatnya bercerita tentang siapa Sava dan bagaimana dengan masa lalu nya bersama wanita itu. Untungnya Fani tidak banyak bertanya, jadi Tristan bisa langsung pergi ke kamarnya dan berdoa supaya usahanya bisa berjalan mulus untuk mendapatkan Sava kembali.
***
Tristan berada dibalik kemudi mobilnya yang terparkir didepan sebuah butik yang terletak dipusat kota. Berkat bantuan ibu nya, Tristan bisa dengan mudah mencari keberadaan Sava.
"Aku sudah menemukan mu. Aku tidak akan mengulangi kesalahan ku." Ujarnya sebelum ia membuka pintu dan juga turun dari mobil.
Ia memasuki sebuah butik yang cukup luas itu lalu seorang perempuan menghampirinya.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Tristan mengangguk.
"Saya ingin bertemu dengan Savannah."
"Ibu Sava? Silahkan tunggu sebentar." Perempuan itu dan juga merupakan pegawai butik Sava pun meminta Tristan untuk menunggu di salah satu sofa.
Di dalam ruangan. Sava sedang sibuk dengan beberapa kertas di atas meja di kejutkan dengan sebuah ketukan dari Lita.
"Ada apa Lita?" tanya Sava tanpa mengalihkan pandangannya.
"Ada yang mencari Ibu, seorang laki-laki."
Sava mengerutkan kening. Kalau ada yang ingin membeli atau menyewa gaun dari butik nya biasanya pegawainya lah yang akan menangani lebih dulu barulah Sava turun tangan.
"Siapa namanya?"
"Aduh, maaf bu saya lupa menanyakan."
"Gak apa-apa. Saya akan menemuinya sebentar lagi." ujar Sava.
"Lita mengangguk lalu berbalik keluar dari ruangan dan diikuti oleh Sava beberapa saat kemudian. Ia berjalan menuju sofa tempat tamu nya menunggu. Ia masih tidak bisa melihat dengan jelas wajah dari pria itu karena ia tampak sedang menunduk melihat gadgetnya.
"Selamat siang, anda mencari saya?"
"Laki-laki itupun mendongak. "Ya Sava, aku memang mencarimu." Ujar Tristan. Sava langsung terkejut dengan apa yang ada dihadapannya.
"Sedang apa kau disini?" Sava tidak menyangka kalau tamu nya itu adalah Tristan. Ia sampai harus mengerjap mata berkali-kali hanya untuk memastikan bahwa yang ia lihat adalah sosok yang nyata bukannya halusinasi yang ia harapkan. "Dan bagaimana kau bisa ada disini?"
"Aku mencarimu. Jadi ini butik mu? Kau seorang designer sekarang." Ujar Tristan mengaggumi sosok Sava.
"Untuk apa mencari ku?" Namun Sava masih bersikap dingin.
"Ada yang ingin aku bicarakan dengan mu."
"Di antara kita sudah tidak apa-apa lagi jadi sebaiknya kau pergi dari sini."
"Sava, aku mohon padamu."
"Tidak, aku sudah tidak mau berhubungan lagi denganmu jadi sebelum aku panggilkan satpam sebaiknya kau pergi dari sini. Sekarang." Sava menekankan kata sekarang.
"Untuk kejadian tempo hari malam aku minta maaf, aku tidak tau kalau ternyata Mama menjodohkan ku dengan mu. Sebelumnya aku memang sudah ingin mencari mu." Tristan tidak menyerah begitu saja.
"Aku tidak perduli lagi, Tristan. Hubungan kita sudah berakhir jadi aku harap kau jangan pernah bertemu dengan ku lagi."
"Justru itu, ada yang ingin aku luruskan tentang permasalahan kita. Aku minta waktu mu sebentar."
"Tidak. Sekarang kau pergi atau kau harus berhadapan dengan satpam."
"Baiklah, aku akan pergi sekarang tapi aku akan datang lagi besok untuk menemuimu. Aku mohon." Tristan mengalah. Ia berbalik dan kemudian menghentikan langkahnya. "Sava, apa kau sudah punya pacar?" Tristan tiba-tiba teringat dengan pria yang bersama Sava pada malam itu.
Sava tidak menjawab namun ia hanya berbalik ke ruangan nya. Ia tidak bisa lama-lama melihat Tristan. Itu akan membuka luka lama yang sudah ia kubur dan lupakan selama ini. Aku mohon Tristan, pergilah. Jangan pernah kamu kembali lagi. Aku gak sanggup.
***
Selama beberapa hari kemudian Tristan menepati janjinya. Ia datang ke butik untuk bertemu dengan Sava tapi Sava menolak keras untuk bertemu. Sebagai gantinya, Tristan mengirimkan sekotak besar cokelat kesukaan Sava dan satu ucapan kecil didalamnya. Sava hanya memandang sinis lalu memberikan cokelat itu kepada Lita untuk dibagikan dengan pegawai yang lain. Begitu juga dengan keesokan harinya, Tristan memberikan Big Bucket Flower ke butik dan itu cukup membuat seisi butik menjadi ramai.
"Pak Tristan itu romantis banget ya bu." Decak kagum keluar dari mulut Lita yang saat ini sedang memandang perpaduan bunga mawar merah dan putih yang besar di ruangan Sava. Sekarang para karyawannya sudah mengetahui tentang sosok Tristan dengan perhatian besar.
Sava tidak mengindahkan kekaguman Lita. Ia melihat ada sebuah truk sampah yang melintas di jalan raya didepan butik Sava. "Lita, tolong suruh pak Toni untuk membawa ini ke truk sampah yang ada didepan." Pak Toni adalah security yang bekerja di depan butiknya.
"Ibu serius mau buang bunga sebagus ini?" Lita seakan tidak percaya.
"Iya Lita. Sekarang ya."
Lita tidak mau buang waktu lagi. Ia pun segera melakukan apa yang atasannya inginkan. Padahal jauh didalam hatinya ia merasa tidak tega melihat bunga sebagus dan seindah itu harus dibuang dan langsung kedalam truk sampah pula. Lita tidak habis pikir dengan pemikiran atasannya itu.
***
Sava mengetuk sebuah pintu dari sebuah rumah sederhana yang terletak disebuah pedesaan yang sejuk dan dingin. Ia melihat sebuah papan nama yang terpasang kokoh beberapa meter dari rumah yang bertuliskan "Panti Asuhan Rindu Bunda".
Seorang wanita setengah baya membukakan pintu dan langsung tersenyum sumringah saat ia mengetahui bahwa Sava yang berkunjung.
"Sava? Kenapa kamu gak bilang kalau mau kesini?" Bu Aliyah langsung memeluk Sava dengan erat. Bu Aliyah adalah pemilik dari panti asuhan Rindu Bunda.
"Dadakan bu." Sava menyahut. Ia membawa beberapa Paper Bag yang berisi perlengkapan panti asuhan dan juga beberapa bahan makanan.
"Kamu bawa apa itu? Bukannya bulan lalu sudah dikirimkan?" tanya Bu Aliyah sedikit bingung. Setiap bulannya Sava memang rajin mengirimi sejumlah uang dan bahan makanan dan keperluan lain yang dibutuhkan oleh Panti. Bisa dibilang kalau Sava menjadi salah satu donator untuk panti asuhan milik Bu Aliyah.
"Perlengkapan dan bahan makanan bu. Buat tambah-tambahin aja siapa tau berkurang," ujar Sava seraya berjalan memasuki rumah dan menuju dapur. Bu Aliyah mengikutinya.
"Kok panti sepi ya bu? Anak-anak kemana?" Sava celingukan mencari anak-anak panti asuhan yang kurang lebih ia cukup mengenalnya.
Panti asuhan ini memang terdiri dari sepuluh anak yang usianya berkisar 4 sampai 10 tahun. "Mereka lagi ke perpustakaan yang baru aja dibuka dua hari yang lalu."
"Sudah ada perpustakaan? Wah bagus sekali ada perpustakaan bisa menambah wawasan anak-anak." Bu Aliyah mengangguk membenarkan. Panti Asuhan ini memang letaknya agak terpencil dari kota bahkan letaknya agak terpojokkan dari desa. Sepi dan tenang. Sava pernah ke Panti Asuhan ini delapan tahun yang lalu dan sempat menginap beberapa minggu karena tersesat. Dari situ lah awal mula Sava bertemu dengan Ibu Aliyah. Sejak saat itu pula Sava mengunjungi Panti Asuhan secara berkala. Semenjak Sava punya penghasilan sendiri, Sava menyisihkan sebagain besar uangnya untuk keperluan Panti Asuhan ini. Itu merupakan janji Sava sebagai tanda terimakasih kepada Bu Aliyah yang sudah menolongnya saat itu.
Sava dikejutkan oleh suara telepon dari ponselnya. Sava mengambil benda pipih itu dari dalam tas nya dan melihat ada panggilan telepon dari nomer yang tidak dikenalnya. Sava tidak menjawab panggilan itu melainkan me-reject nya. Ia takut kalau yang menghubunginya itu adalah Tristan meskipun ia tidak begitu yakin.
"Gak dijawab?" tanya Bu Aliyah.
"Enggak bu, nomernya gak kenal." Jawab Sava singkat lalu menghembuskan napasnya perlahan. Sava berjalan menuju belakang rumah yang langsung menghadap pada pekarangan asri milik Bu Aliyah. Sava selalu nyaman jika berada disini. Maka dari itu pagi-pagi sekali ia memutuskan untuk pergi ke sini untuk menenangkan pikirannya dari serangan masa lalu yang menghantuinya.
Bu Aliyah mengikuti Sava yang sudah duduk di sofa. "Ada apa, Nak?" wanita paruh baya itu membelai pucuk rambut Sava. Inilah yang paling membuat nyaman, Bu Aliyah selalu memperlakukan Sava seperti anaknya sendiri demikian juga dengan Sava yang sudah menganggap Bu Aliyah seperti Ibu Kandungnya.
"Emangnya keliatan seperti ada apa-apa ya?" Sava mendekap Bu Aliyah manja.
Bu Aliyah tertawa pelan. "Ibu kenal kamu udah lama jadi ibu tau kalau kamu berubah dari biasanya. Lagipula gak sulit membaca suasana hati kamu, sudah terpatri jelas dari muka mu."
Sava tersenyum membenarkan perkataan Ibu Aliyah.
"Kalau ada yang mau diceritakan. Ibu siap dengerinnya."
Sava menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. "Dia.. Dia kembali bu." Akhirnya Sava mau menceritakan apa yang selama ini menjadi beban pikirannya kepada wanita yang sudah ia anggap seperti ibu kandungnya sendiri.
Bu Aliyah masih mendengarkan Sava bercerita sambil menahan isak tangis. Beberapa kali juga Bu Aliyah mengusap pelan punggung Sava untuk menenangkannya. "Sava sayang, anak ibu. Coba dengerin ibu."
Sava mengangguk dan mengusap air mata dengan punggung tangannya.
"Kamu harus tau bahwa masa lalu itu pasti akan terus menghantui kamu. Kamu harus menerimanya jangan malah memusuhinya. Setiap peristiwa yang terjadi pada diri kita pasti ada hikmah yang bisa kita ambil. Sudah Sembilan tahun, Nak. Kamu harus mengikhlaskannya. Memaafkannya maka dari itu hidup kamu akan lebih tenang."
"Selama ini aku mencoba untuk melupakan dan ikhlas, tapi selalu gagal. Apalagi saat aku tau kalau dia kembali lagi. Sava benci sama dia bu."
Bu Aliyah menarik napas panjang. "Sava, cobalah untuk memaafkan Tristan. Ibu tau ini tidak mudah. Selesaikan baik-baik masalah mu dengan dia. Bicarakan baik-baik."
"Apa harus bu? Dengan melihatnya saja itu udah cukup buat sakit."
Bu Aliyah membelai lembut rambut Sava yang panjang dan bergelombang. "Kalau kamu mau semua masalah ini selesai maka kamu harus benar-benar menyelesaikannya."
Nasehat dari Bu Aliyah cukup membuatnya mempertimbangkan.
***