Sava berada disebuah kafe seorang diri. Beberapa hari yang lalu, Risa menghubunginya bahwa hari ini akan datang seseorang yang akan membantu untuk mengatasi permasalahan Sava. Sudah lewat dari lima menit tapi orang yang ditunggu Sava belum juga datang. Untuk mengisi waktu luangnya ia mencoba mengeluarkan n****+ dari dalam tas yang memang sengaja ia bawa untuk hari itu.
Beberapa hari sebelumnya perbincangannya dengan Risa via telepon.
"Jasa penyewaan pacar online?" Sava harus mengulang pertanyaan berkali-kali sambil membaca sebuah situs website yang di tunjukan oleh Risa.
Risa mengangguk mantap. Ia sedang datang berkunjung ke butik Sava siang hari itu sambil membawa makanan yang dipesan oleh Sava.
"Apa kayak semacam biro jodoh gitu?"
"Bukan. Kalau biro jodoh kan untuk klien yang serius. Kalau ini hanya penyewaan jasa laki-laki atau perempuan untuk dijadikan pacarnya pada saat event tertentu aja. Kayak wisuda, kondangan." Jelas Risa.
"Memangnya ada yang seperti itu?" Sava cukup terkejut dengan perkembangan zaman.
"Ya ada lah. Makanya jangan kudet."
Sava tidak tersinggung, memang benar dia pasti selalu kurang update masalah kekinian yang sedang hits. Berbeda dengan Risa yang hidupnya selalu update masalah seperti ini. Namun itulah gunanya sahabat bukan? Saling melengkapi satu sama lain.
"Apa tidak akan apa-apa dengan cara ini?"
"Sampai saat ini sih, ide yang terbaik cuma itu. Apa kau ada ide yang lain? Atau kau memang berniat mencari pacar untuk diseriusi? "
Sava menggeleng lemah.
"Di coba dulu aja, siapa tau ada yang cocok."
"Apa tidak apa-apa?" tanya Sava masih agak sedikit ragu.
"Kalau kita gak mencoba, kita gak akan pernah tau. Kecuali, kau berubah pikiran dan mau menerima saran dai Mama mu untuk dikenalkan dengan laki-laki pilihannya."
Sava langsung mengangguk setuju. Ia meminta Risa yang mengurus semuanya selagi Sava harus menyelesaikan beberapa pekerjaan butiknya.
"Aku yang akan mengatur kapan bertemu dan pilihan calonnya seperti apa. Kau tinggal terima beres aja."
"Awas aja kalau ternyata di luar ekspektasi." Sava mengancam.
"Sava?" Panggil seseorang menyadarkan nya dari lamunan. Sava mendongak dan melihat ada seorang laki-laki sedang berdiri di hadapannya. Ia memakai sebuah kemeja dan celana bahan warna cokelat muda. Rambutnya ditata modis dan juga ia memakai kaca mata.
"Kenan?" tanya Sava. Sava sudah membaca profil yang diberikan oleh Risa sebelum bertemu dengan Kenan hari ini.
"Kenan mengangguk dan langsung duduk didepan Sava. "Saya rasa kamu sudah diberitahu sebelumnya oleh teman saya." Ucap Sava membuka pembicaraan. Kenan mengangguk.
"Saya ingin menyewa jasa mu selama dua bulan sebagai pacar saya." Jelas Sava sekali lagi. "Dan selama itu pula saya ingin rahasia kita tidak ada yang tau." Lanjut Sava.
"Kerahasiaan klien kami menjadi prioritas utama kami." Sava menghembuskan napas lega mendengar ucapan Kenan yang mantap.
"Tapi jika ada yang tau, maka kontrak dibatalkan."
Sekali lagi Kenan mengangguk.
"Baiklah, saya akan memberikan kamu sebuah informasi penting mengenai diri saya. Kamu harus mempelajari dan buat seolah-olah kita memang sudah mengenal lama." Sava memberikan sebuah map kepada Kenan.
"Kapan kita akan mulai?"
"Dua minggu dari sekarang. Saya ingin memperkenalkan kamu dengan orang tua saya sebagai pacar dan sekaligus calon suami."
Kenan mengangguk. Ia kembali membaca map yang diberikan oleh Sava. Sementara Sava meminum kopi nya. Ia berharap rencana ini akan berhasil. Setidaknya untuk membuat Ibu nya tidak mendesak nya lagi untuk segera menikah. "Setidaknya saya ingin terlihat menjalin hubungan yang serius dengan laki-laki namun di tengah hubungan itu harus kandas karena kesibukkan dan merasa tidak ada kecocokan jika dilnjutkan." Sava menjelaskan plot rencannya kepada Kenan. Pria itu mendengar dengan serius dan menanggapinya sesekali dengan anggukan.
"Kenan? Kok kamu ada disini?" Sebuah suara perempuan membuat Kenan maupun Sava menoleh.
Seorang perempuan muda berambut panjang menatap Kenan dan Sava dengan penuh curiga. Insting Sava mengatakan ini bukanlah pertanda yang baik.
"Kamu ngapain disini?" Kenan berdiri dan menatap perempuan itu dengan sedikit panic.
"Seharusnya aku yang tanya. Kamu ngapain disini dan siapa dia?" perempuan itu menunjuk Sava. Ia menduga kalau perempuan itu adalah pacarnya Kenan.
"Dia klien ku."
"Klien apa? Dia itu selingkuhan mu kan?" Perempuan itu tidak percaya.
Sava mulai merasa tersinggung. Ia pun bangkit. "Kenan, saya rasa kau harus meluruskan masalah ini dengan pacarmu." Kenan tidak punya pilihan lagi selain menarik pacar nya keluar dari kafe. Sava kembali duduk di sofa. Ia mengambil ponsel dari dalam tas nya dan menghubungi Risa.
"Risa, apa kau berusaha untuk membuat ku malu?" Sava langsung bertanya pada inti masalah.
Disebrang telepon, Risa tidak mengerti. "Kau ngomong apa sih? Bagaimana tadi dengan calon pacar sewaanmu? Berjalan sukses?"
"Tidak. Dia punya pacar yang memergokinya langsung saat aku dan dia lagi membicarakan tentang kontrak kerja kita." Sava mulai gemas.
"Ups. Aku tidak tau akan hal itu. Sungguh." Ucap Risa tulus.
"Tidak ada kata kompromi. Aku akan membatalkan kontraknya."
"Ya, kau benar. Tenang saja, mungkin rencana pertama belum berjalan baik tapi semoga yang kedua akan berjalan lancar."
"Semoga saja, Ris." Sava menutup sambungan lalu memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Ia menengok ke luar tempat Kenan sedang berbicara dengan pacarnya, tapi Sava tidak melihat mereka diluar.
"Apa mungkin Kenan mengajaknya pulang?
"Sava tidak mau ambil pusing karena pada akhirnya kontrak akan tetap dibatalkan. Kini Sava seorang diri didalam kafe. Hal yang sangat sudah biasa bagi dirinya. Sava kembali menyesap kopinya sebentar sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pergi.
Ia tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang sedang memperhatikannya sejak tadi.
***
Bian menikmati espresso yang dipesannya sambil membaca berita dari tabletnya. Ada seorang pria tampan seorang diri seperti Bian cukup menarik perhatian beberapa gadis muda yang juga saat itu sedang ada di kafe. Bian tetap bersikap acuh, ia lebih memilih untuk focus pada serangkaian berita yang sedang ia baca sebelumnya.
Sampai ada sesuatu yang terjadi. Keributan kecil mengalihkan pandangan Bian dari tablet. Ia melihat ada beberapa orang sedang bertengkar dari meja tak jauh dari tempat ia duduk. Bian melihat dan memperhatikan sepasang mata indah milik seorang wanita yang tak kalah indahnya sedang menatap bingung kepada pasangan yang sedang bertengkar.
Perselingkuhan? Pikir Bian dalam benaknya. Ia tersenyum sinis. Menertawai pasangan itu dan juga dirinya yang menjadi korban perselingkuhan tunangannya sendiri.
Namun sesaat kemudian, pasangan itu pergi meninggal wanita itu sendiri dengan pandangan bingung dan juga menahan gejolak emosi yang terpatri jelas pada wajah wanita itu. Bian tak semerta-merta mengalihkan pandangan lagi pada kegiatan sebelumnya, kini ia malah lebih terfokus pada wanita itu. Menurutnya gerak-geriknya membuatnya lucu.
Wanita itu sekarang sedang menelepon seseorang dari ponselnya. Ia terlihat sedang mengucapkan sumpah serapah ke penerima telepon lalu beberapa detik kemudian ia menghembuskan napas panjang dan kesal lalu menutup teleponnya. Bian semakin memperhatikan wanita itu.
Menarik. Entah mengapa Bian begitu tertarik pada sosok yang ada dihadapannya. Bian ingin melangkahkan kakinya namun urung dia lakukan mengingat suasana hatinya pasti sedang tidak menentu saat ini.
"Sedang melihat apa kau?" Bian hampir saja terperanjat kaget lantaran mendengar sebuah suara yang tak asing lagi ditelinganya. Ia menoleh dan melihat sosok Justin sudah ada disampingnya sedang menatap Bian dengan bingung. Justin mengikuti arah pandang Bian dan langsung mengerti.
"Wanita?" tanyanya lagi dengan senyum sumringah.
"Ya. Tadi ada keributan kecil maka dari itu aku gak sengaja melihatnya." Sahut Bian.
Justin tertawa tidak percaya. "Mana mungkin cuma gara-gara keributan kecil kau sampai mengalihkan pandanganmu cukup lama?"
Bian agak terkejut mendengarnya. Apa Justin sudah berada disini sejak tadi?
"Aku baru datang dan melihat kalau kafe ku sedang ada keributan. Aku berniat langsung menghampiri Sava bertanya apa yang terjadi namun urung ku lakukan karena ternyata kau juga sedang berada disini." Tanpa Bian bertanya, Justin sudah menjelaskan terlebih dahulu.
Justin memanglah pemilik dari Kafe ini yang merangkap sebagai teman baik Bian sejak duduk dibangku kuliah dulu. "Sava?" tanya Bian sedikit bingung.
"Ya nama wanita yang duduk disana itu Sava."
"Kau mengenalnya?"
"Tentu saja, dia salah satu pelanggan setia ku sejak awal beridirnya kafe ini. Aku juga cukup akrab dengannya." Justin adalah pemilik kafe dan coffee shop yang baru didirikan beberapa tahun yang lalu.
Jadi namanya Sava. Ujarnya didalam hati.
***
Sava sudah bangun sejak beberapa jam yang lalu namun ia masih enggan beranjak dari kamarnya. Ia masih duduk di single sofa yang ada dikamarnya sambil melihat ke luar dari pintu kaca besar yang terhubung ke balkon rumah. Sudah cukup lama Sava merasa tenang jika tidur dimalam hari. Namun ia tetap harus tidur demi kesehatan dirinya meskipun berujung dengan mimpi buruk dan bangun selalu pada jam tiga dini hari. Jika sudah seperti itu, Sava menyempatkan diri untuk solat malam dan tidak tidur sampai pagi harinya.
Hari ini hari libur, jadi walaupun Sava sudah bangun lebih awal ia masih betah di kamar namun suara Hana memanggilnya dari lantai bawah. Mau tidak mau Sava beranjak dan bergegas mandi dan mengobati lingkaran hitam di sekitar matanya. Setengah jam kemudian Sava turun dan mendapati Hana dan Rama sedang duduk di sofa ruang keluarga sambil menonton acara infotaiment dan siaran berita. Meskipun lebih terlihat seperti berebutan nonton tv. Sava tersenyum simpul dan melangkahkan kakinya menuju dapur untuk mengambil pancake yang sudah dibuatkan Hana dan ikut bergabung pada kedua orang tuanya.
Sava tidak ikut menimbrung menonton perebutan channel tv diantara kedua orangnya, ia lebih memilih membaca majalah yang ada di bawah meja kaca kecil. Membaca majalah juga menambah ilmu nya dengan dunia fashion yang terkini untuk perkembangan bisnis butiknya saat ini.
"Sayang sudah kau temukan calon menantu mama?" tanya Hana mengalihkan pandangan dan membiarkan Rama mengganti channel dengan siara berita.
"Belum genap sebulan Ma." Jawab Sava santai.
"Siapa tau aja kamu emang udah punya pacar tapi belum mau dikenalin sama mama." Ujar Hana berspekulasi.
Boro-boro punya pacar. Sava menggerutu.
"Sekarang kan Sava udah menjadi seorang perempuan yang sukses, wajar aja kalau dia belum kepikiran menikah, Ma." Rama membuka suaranya. Mata Sava berbinar-binar mendengar pembelaan dari Papa nya. Sava tau dari dulu papa nya lah yang memang paling pengertian kepada dirinya.
"Tapi mau sampai kapan Pa? Mama dulu menikah sama papa kan umur 23. Sekarang Sava 28 tahun belum menikah."
"Jangan samakan dulu dengan sekarang, ma." Sava menimpali.
"Kamu tuh kalau dibilang orang tua. Pokoknya kalau sampai batas waktu yang ditentukan kamu belum bisa ngenalin calon menantu mama. Kamu harus mau di kenalin sama anak teman mama. Itu keputusan bulat ya gak bisa di ganggu gugat." Ujar Hana mengangguk mantap membuat Sava semakin menciut lantaran ia masih belum bisa menemukan calon pacar sekaligus calon suami yang tepat untuk dirinya.
"Ada apa sih pagi-pagi kok udah berisik aja?" Baik Sava maupun kedua orang tuanya menoleh ke arah sumber suara yang ternyata adalah suara Gilang.
"Mas Gilang? Tumben pagi-pagi udah kesini." Sava yang pertama bangkit lalu memeluk hangat kepada kakak kandungnya itu. Di sebelah Gilang ada istri nya Sita yang menggendong anak perempuan berusia dua tahun Grisel.
"Iya Grisel kangen sama Oma dan Opa nya. Sekalian mas mau nitip Grisel dan Sita disini. Mas mau ke luar kota selama beberapa hari."
"Ke luar kota? Kapan berangkatnya?"
"Nanti malam."
Sava berjengit. "Di weekend gini mas Gilang masih harus berangkat ke luar kota? Masalah kerjaan mas?"
Gilang mengangguk. "Iya masalah kerjaan kalau bukan kan mas sekalian ngajak Sita dan Grisel liburan."
"Hai keponakan Aunty yang cantik." Sapa Sava pada Grisel.
"Aunty Sava." Panggil Grisel kepada Sava. Grisel merentangkan kedua tanganya meminta di gendong oleh Sava. Dan tentu saja Sava menerima dengan senang. Sita menyerahkan Grisel pada Sava sambil tersenyum senang melihat tingkah anak semata wayangnya itu.
Untuk sementara perhatian Hana dan Sava terfokus pada sosok Grisel yang mungil dan lucu. Itu cukup membuat Sava menghembuskan napas lega karena Hana tidak lagi membahas masalah perjodohan dengan dirinya. Hana tidak mau kalah dari Sava, ia meminta memeluk Grisel dan membawanya duduk di sofa sambil menonton tv yang sekarang sudah di ganti dengan acara kartun. Grisel langsung anteng dibuatnya.
Sava mendesah dan lebih memilih mengalah dari Hana. Disampingnya ada Sita yang sudah memperhatikan tingkah laku antara anak dan ibu itu lalu tersenyum geli.
"Ada apa?"
Sava menoleh dan melihat Sita dengan pandangan bingung.
"Tadi pas baru saja dateng, mbak denger kalian sedang membicarakan hal yang serius." Jelas Sita.
Sava mengajak Sita untuk pergi ke belakang rumah dan duduk santai disalah satu kursi. "Mama mau ngenalin aku sama anak dari temannya."
"Bagus dong."
"Kok bagus sih Mbak?"
"Memang apa masalahnya?"
"Ya jelas ada. Aku gak mau dijodohin."
"Kan Cuma mau dikenalin, bukan berarti di jodohin."
Sava mendengus napas kesal.
"Jangan berpikir terlalu jauh kalau hanya perkenalan lebih baik kamu ikuti saran dari Mama." Ujar Sita memberikan saran. Sava mengangguk mengiyakan. Ada benarnya juga.
***
Sudah hampir mendekati tenggat waktu yang telah disepakati oleh Sava dan Hana. Sampai detik ini juga Sava belum mendapatkan jalan keluar dari masalah yang ia buat sendiri. Sudah seharian ini ia uring-uringan bagaimana dengan nasibnya jika ia bersedia menerima perjanjian Hana untuk dikenalkan dengan seorang pria pilihannya.
Sava menyeruput Lemonade dengan gemas.
"Sudahlah, lebih baik kau turuti saja dulu. Tidak ada salahnya kalau cuma dikenalkan. Kalau nanti tidak cocok ya tinggal bilang. Kan beres." Ucapan Risa yang sama dengan nasehat dari Kakak Iparnya.
"Memangnya dari sekian banyak kandidat tidak ada yang bisa membantuku?" Sava melihat layar laptop.
"Coba berpikir positif mungkin memang tidak boleh berbohong dengan orang tua, apalagi Ibu." Risa mengeluarkan petuah bijaknya.
Sava tercenung. Mungkinkah? Tapi Sava jadi membenarkan apa yang di katakkan oleh Risa.
***
Sudah menjelang hari dimana perjanjian berakhir. Sava harus menerima konsekuensi untuk menerima tawaran dari Hana. Mau tidak mau Sava harus menerimanya. Hari sudah di tetapkan. Malam ini juga ia sudah bersiap dengan dress sederhana berwarna peach dan rambut panjangnya dibiarkan tergerai bergelombang. Ia tidak perlu dandan cantik-cantik untuk seseorang yang bahkan tidak ia kenali sama sekali.
Sava juga tidak diperbolehkan mengendarai mobil sendiri. Hana sudah meminta supir pribadi Rama untuk mengantarkan Sava ke Restaurant tempat Sava akan melakukan Blind Date. Sava mendengus sebal setiap kali Hana menyebutnya dengan Blind Date.
Tidak sampai setengah jam Sava sudah tiba di depan sebuah restaurant mewah. Sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam supir yang mengantarkan nya –Pak Joni- berpamitan pulang karena ia hanya ditugaskan untuk mengantar Sava.
Sava mengerutkan keningnya tidak percaya. Bisa-bisanya Mama merencakan Sava pulang bareng dengan pria yang bahkan ia belum kenal.
Seorang pramusaji berseragam mengucapkan salam dan menyapa Sava.
"Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" tanya nya,
"Reservasi atas nama Tristan." Ucap Sava dengan sedikit ragu. Kemarin Hana sudah memberitahu nama tapi ia langsung melupakannya karena saat itu Sava sedang tidak berfokus pada ucapan Hana. Apa benar namanya? Nama nya seperti tidak asing bagi dirinya. Ia menyakinkan diri bahwa nama Tristan di dunia ini bukanlah milik seseorang dari masa lalu yang coba ia lupakan.
Pranusaji itu memeriksa data di meja. Ia mengangguk membenarkan. "Nona Savannah?"
Mendengar namanya di sebut, Sava mengangguk.
"Mari saya antarkan." Pramusaji itu berjalan menuju sebuah meja yang terlihat berbeda dari meja yang lain. Itu adalah meja reservasi pelanggan khusus. Sava jadi berpikir apa yang sedang direncanakan oleh Ibu nya?
Sesosok pria dengan punggung lebar duduk dengan tegak. Ia terlihat asik memainkan gadgetnya hingga sampai pada akhirnya Sava datang membuat pria itu mendongak. Pramusaji langsung menghilang.
Sava melihat sosok pria yang bernama Tristan didepannya dengan perasaan campur aduk. Lebih tepatnya perasaan terkejut karena sosok didepannya itu ternyata orang yang paling ia hindari di dunia ini.
"Tristan?" Sava bertanya untuk memastikan bahwa penglihatannya masih baik-baik saja.
*****