Sava melepasan seatbelt lalu mengucapkan terima kasih kepada Bian untuk hari ini, lalu mereka berjanji akan bertemu lagi dalam waktu dekat kali ini agendanya adalah menonton film, kebetulan ada salah satu film yang ditunggu oleh Bian dan kali ini ia ingin mengajak Sava. Ia mengangguk mengiyakan ajakan Bian.
"Kebetulan juga aku suka nonton." Komentar Sava.
"Sama dong, aku juga suka tapi kebanyakan nonton nya sendirian.
"Memangnya gak ada yang mau nemenin?"
Bian terdiam sebentar, "Dulu sih ada," Ia menggantungkan kalimatnya. Sava paham betul maksud dari perkataan Bian namun ia enggan untuk bertanya karena takut mengusik privasi nya.
"Film apa yang mau kamu tonton?"
"Midsommar."
"Oh karya nya Ari Aster ya?"
"Iya. Kebetulan banget aku juga lagi kepengen nonton itu."
"Oke, aku gak mengira kalau selera film kamu begitu."
Sava hanya tertawa, "Ya pada dasarnya aku emang suka film horror sih jadi penasaran aja."
"Okay deh nanti aku kabarin lagi ya."
Sava mengangguk. "Makasih ya, hati-hati di jalan."
Bian mengangguk singkat, "Salam buat Mama kamu."
Sava keluar dari mobil dan menunggu mobil yang dikendarin Bian menghilang di belokan ujung jalan. Lalu ia masuk ke dalam rumah. Sava baru saja membuka pintu dan langsung di sambut oleh Hana.
"Mana Bian nya?"
"Pulang, katanya salam buat Mama karena ga sempet mampir."
Hana mengangguk, "Kapan mau mampir lagi?"
Sava mengangkat kedua bahu nya, "Enggak tau, tapi kita ada rencana mau pergi lagi sih."
"Oh ya kapan?"
"Belum tau, Ma." Sava bangkit dan merangkul bahu Hana dan menggiringnya masuk ke dalam rumah. "Udah masak belum Ma?"
"Belum, baru mau. Kamu bukan nya udah sarapan di luar?"
"Udah, tapi mau bawa bekel dari rumah buat ke butik."
"Tumben." Hana menatap heran putrinya. Sava cuma menyengir lalu pamit ke kamar hendak bersiap.
Sekitar satu jam kemudian, Sava sudah berada di depan butik setelah diantar oleh taksi online dan tangannya membawa tas bekal dari Hana. Ia melangkah masuk dan membuka pintu kaca dan bertemu dengan Lita yang datang menghampiri nya.
"Rajin amat jam segini udah dateng?" tanya Sava.
"Yah kalau gak rajin nanti saya di omeli saya ibu."
Sava tertawa mendengarnya, "Ya gak lah, hari ini kan Minggu. Ngaret dikit lah gak masalah kok."
Lita mengerutkan keningnya terheran dengan perubahan sikap Sava, kali ini ia terlihat lebih ceria dibanding Sava pada biasanya. Meskipun Sava juga cukup sering mengobrol santai dan bercanda dengan Lita dan karyawan yang lain, namun kali ini Lita merasakan ada aura berbeda yang terpancar dalam diri Sava.
"Udah sarapan belum? Ini saya bawa bekal dari rumah dan kebetulan Ibu saya masakin pisang goreng." Sava mengambil satu tempat makan besar dan memberikannya kepada Lita.
"Wah makasih bu, saya udah lama gak makan pisang goreng buaatan Ibu besar." Lita menyebut Hana dengan sebutan Ibu besar karena sewaktu Hana datang berkunjung ke butik, karena bingung mau memanggil apa, maka tercetuslah sebutan Ibu besar yang disematkan untuk Hana Pramesti.
"Udah saya mau ke ruangan dulu ya." Sava tertawa lalu berjalan menuju ruangannya. Di dalam sana, ia menaruh tas dan tas bekal nya lalu membuka ponsel dan mendapati ada beberapa notifikasi dari Bian yang mengirimnya pesan dan beberapa foto mereka di car free day tadi pagi.
Sabian Ravantino : Udah sampe butik? Aku kirimin beberapa foto kamu tadi.
(IMAGE)
Savannah Adiva : Baru sampe nih. Makasih ya foto nya J
Kemudian ia melihat beberapa foto yang dikirimkan oleh Bian, yang menarik perhatiannya adalah foto dirinya sedang berdiri ditengah kerumunan orang sedang menatap arah lain dengan ala-ala candid gitu tapi Sava merasa itu memang benaran candid. Lalu ada juga foto dirinya yang sedang tersenyum ke arah kamera. Pada saat Bian mengambil foto ini, Sava tidak menyangka bahwa hasilnya akan menjadi sebagus ini. Ia merasa Bian memang ahli dalam melihat sudut mana yang bagus agar menghasilkan foto yang bagus.
Sebuah ide tercetus dalam benak Sava, ia lalu membuka akun i********: pribadi nya yang terlihat membosankan isi feeds nya. Kini ia mengunggah sebuah foto dirinya yang di foro ala candid oleh Bian. Di dalam foto itu dirinya terlihat fokus sedangkan beberapa orang yang berada di sekitarnya dibuat blur sedikit. Ia menambahkan caption yang bertuliskan "car free day hari ini." Lalu Sava langsung mengunggah foto itu ke laman Instargamnya.
Beberapa menit terlewati, setelah Sava mengunggah foto di i********: nya ia memang langsung menaruh ponsel nya di meja, kemudian ponselnya berdering karena ada yang menelpon dirinya yang rupanya itu adalah Risa.
"Halo, kenapa Ris?"
"Tadi ke car free day?" tanya Risa tanpa basa-basi.
"Iya. Kenapa sih?"
"Sama Bian."
"Pantesan, soalnya selama ini kalau aku yang ngajak mana pernah mau. Ternyata sama gebetan. Jadi gimana perkembangan hubungan kalian?"
"Perkembangan apa? Kami biasa aja."
"Gak mungkin biasa aja kalau udah begitu, masa kau tidak bisa menangkap sinyal dari dia sih?"
Sava tidak menjawab, di dalam hatinya ia memang sudah menyadari Bian pasti mempunyai maksud selama ini gencar mendekati Sava namun ia tidak berani bersuara karena tidak enak bila perempuan yang menanyakan lebih dulu. Setidaknya itu bagi Sava.
"Dari mana kau tau aku dari car free day?" Sava memilih mengalihkan topik.
"Itu tadi posting di Instagram."
"Update banget kalau urusan media social." Sava menyinyir.
"Lagi gak ada kegiatan sih."
"Yakan Minggu, orang kantoran biasanya memang libur kan. Nikmatin aja hari libur."
"Harusnya, hari ini ada acara sama Dafa tapi lagi-lagi dia gak bisa." Sava bisa tau kalau sahabatnya itu lagi badmood.
"Berantem lagi?" tanya Sava.
"Gak, gak kali ini gak berantem kok, cuma dia kelewatan sibuknya padahal di hari Minggu dia sibuk apa sih, suka heran. Apa dia jangan-jangan punya perempuan lain ya?"
"Hus, kalian udah mau nikah masih tega mikir nya gitu. Mungkin dia emang beneran sibuk aja sih, jangan terlalu di pikirin. Udah mendingan ke butik sini." Sava menawarkan.
Risa termenung sejenak kemudian mengiyakan ajakan Sava.
***
Sava dan Bian baru saja keluar dari bioskop setelah menonton film Midsommar. Baik Sava dan Bian masih tidak berhenti untuk membahas tentang alur cerita dan bertanya-tanya bagian mana yang di sensor karena menurut kabar yang bereda bahwa penayangan Midsommar ini sempat tertunda karena terkendala oleh sensor. Setelah di ombang-ambinng dengan ketidakpastian, akhirnya film karya Ari Aster ini diperbolehkan tayang dengan syarat ada beberapa bagian yang di potong.
"Jadi gimana menurut mu?" tanya Bian.
"Alur nya mirip Hereditary, lambat. Ini bukan sensasi nonton horror yang menyeramkan karena di takut-takutin sama hantu dan jump scare, tapi ini film yang sangat berhasil mengoyak-ngoyak batik ku, aku terganggu banget dengan musik nya. Great job lah, mungkin memang agak sedikit membingungkan buat sebagian besar orang karena ini bukan film untuk semua kalangan."
"Yep, bener banget. Ini bukan film untuk semua kalangan maka dari itu dari tadi aku perhatiin banyak penonton yang menguap dan bertanya-tanya ini film apaan sih." Bian terkekeh.
"Mungkin karena banyak scene yang di potong kali ya jadi gak terlalu berasa."
"Iya sih, cuma segini aja aku bisa tebak apa yang di sensor dan itu pasti akan membuat trauma yang nonton juga. Apalagi di tayangin dalam layar besar."
"Padahal rating nya udah 21+ ya."
Mereka berdua kemudian mengangkat kedua bahunya karena agak sedikit kecewa tapi juga puas menonton film bertema yang tidak biasa seperti Midsommar.
"Kalau jata Joko Anwar 'Midsommar adalah pengalaman menonton yang harus dialami paling nggak sekali seumur hidup. Bisa suka, bisa juga gak. Tapi enggak ada yang menyangkal kekuatannya.' " ujar Sava.
"Duh netizen banget kamu ya." Bian mejawil hidung Sava.
Sava hanya tertawa.
"Kita mau langsung pulang dulu atau mau makan dulu?" ajak Bian yang memerhatikan jam nya yang sudah lewat makan malam.
"Aku masih kenyang sih, karena tadi kan makanin popcorn."
"Makanin popcorn aja langsung kenyang?"
Sava mengangguk.
"Atau lagi diet?" Bian menyunggingkan senyuman khas nya kalau lagi meledek.
"Enggak ya, aku gak ada diet-dietan." Sava mendelik pura-pura sebal. Bian yang memperhatikan Sava langsung mengamit tangan Sava dan berjalan bareng menuju salah satu stand yang menjual roti dan kopi.
"Jangan ngambek, ini aku beliin ini aja buat dibawain pulang ya." Bian menyebutkan beberapa pesanan kepada kasir dan membayarnya setelah menunggu sedikit lama mereka berjalan ke parkiran mobil sambil menenteng belanjaan makanan untuk dibawa pulang.
"Gak usah repot-repot." Ujar Sava.
"Gak apa-apa, yuk pulang." Bian masih menggenggam tangan Sava dan mereka berjalan bergandengan sampai mobil baru Bian melepasan genggamannya. Selama diperjalanan pulang, mereka masih membahas seputar film yang barusan di tonton, dan juga selera film kesukaan Bian yang ternyata suka dengan genre film science fiction. Sesampainya di depan rumah, Sava kembali mengucapkan terima kasih.
"Sava, tunggu dulu."
Sava yang tadinya hendak keluar mobil ditahan oleh Bian. "Iya kenapa?"
"Ada yang mau aku omongin."
"Ya udah tinggal ngomong aja," Sava tersenyum sambil melihat raut muka Bian yang berubah menjadi serius.
"Aku mau ngomong serius. Aku mohon jangan anggap aku ini lagi bercanda ya."
Sava mengangguk. Suasana menjadi hening seketika.
"Aku gak tau lagi alasan apa yang akan aku gunakan untuk bisa ketemu kamu dan mengajak kamu sekadar jalan keluar. Aku ingin mengungkapkan sesuatu bahwa aku sedari awal mendekati mu dengan niatan tertentu, yaitu aku suka sama kamu. Aku ingin kamu tau di awal dan kita bisa memulai perkenalan dan menjalani hubungan yang serius, gak harus terburu-buru namun aku mau mastiin kalau kita punya tujuan yang sama." Setelah Bian berbicara, Sava hanya diam untuk mencerna. Ia tidak menyangka bahwa Bian akan berbicara serius ini dalam waku yang dekat. Namun, yang terpatri dalam diri Sava saat ini adalah bukannya rasa senang namun adalah rasa bimbang.
***