Savannah [14]

1523 Kata
Selama sepersekian detik keheningan menghampiri diantara mereka. Bian masih menatap Sava dengan sorot mata nya yang serius, walaupun di keremangan cahaya dari lampu jalan, Sava bisa merasakannya.  Apa yang dipikirkannya akhirnya menjadi kenyataan, tetapi saat kenyataan itu datang menghampiri justru Sava merasa bingung dan bimbang menentukan apa yang sebenarnya dirasakan oleh hati nya saat ini. Selama beberapa minggu terakhir Sava akhirnya bisa membuka diri dan mendapati dirinya nyaman dengan Bian, malah ia juga merasakan ada getaran aneh yang hinggap di hatinya saat sedang bersama dengan pria itu. Sava tidak memungkiri bahwa ia juga menyukai Bian.  "Kamu kaget ya?" Bian akhirnya membuka suara memecahkan keheningan diantara mereka.  "Kaget? Iya. Aku tidak menyangka kalau akan mendengar pernyataan dari kamu secepat ini."  "Maaf, aku hanya ingin memberi tahu niat awal aku."  Sava menggeleng, "Kamu tidak salah, aku cuma kaget sebentar. Aku justru salut dengan pemikiran kamu yang mau memberikan kepastian."  Bian menyunggingkan senyum nya, manis. "Aku sudah dewasa, bukan waktunya mencari wanita yang hanya sekadar main-main."  "Kamu yakin? Kita kan baru kenal beberapa minggu semenjak insiden malam itu."  "Aku yakin. Aku juga siap untuk mengenal kamu lebih lanjut lagi. Maka dari itu, beri aku kesempatan untuk mengenal mu lebih dalam lagi."  Sava tersenyum tipis. Sava termenung sebentar untuk memahami dan berpikir untuk mengambil keputusan besar. "Kalau kamu udah ngomong begitu, baiklah. Pengakuan yang pertama aku juga punya perasaan yang sama dengan mu, Bi. Tapi, aku ingin jujur satu hal besar sama kamu bahwa aku punya masa lalu yang kelam, teramat kelam sampai aku tidak sanggup mengatakan ini tapi aku harus." "Semua orang pernah punya masa lalu, Sava. Aku pun juga begitu."  Sava menggeleng, "Kalau kamu mau melanjutkan hubungan ini, aku rasa ini penting karena untuk kebaikan bersama."  Bian tidak menjawab, ia masih tetap memandang Sava dengan serius. Sava menghembuskan menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan.  "Kamu ingat waktu pertama kali kita bertemu? Waktu itu aku diatur dalam pertemuan dengan seorang pria oleh orang tuaku, ya anggaplah ini seperti kencan buta. Mama ku ingin memperkenalkan pria kepadaku, namun ternyata aku malah bertemu dengan orang nomor satu yang sangat aku hindari. Aku  bertemu dengan mantan ku saat kuliah dulu sekali, bukan hanya sekedar mantan tapi dia adalah orang yang bertanggung jawab karena saat itu aku sedang hamil anak nya."  Sava diam sebentar untuk memperhatikan reaksi dari Bian yang masih mematung terlihat syok.  "Yah, itu adalah masa lalu yang aku maksud. Kamu bisa pikir ulang jika kamu sekarang mulai ragu."  "Kamu sudah punya anak?" Sava menggeleng lagi, "Aku keguguran." Ia lalu melanjutkan ceritanya saat orang tuanya menentang sampai ia bertemu dengan Bu Aliyah. Jika mengingat lagi itu membuat hati Sava seperti teriris. Kejadiannya memang sudah lama namun ia tidak akan pernah bisa melupakannya.  "Mama mu apa tidak tahu siapa Tristan itu?" Sava menggeleng, "Mungkin belum, karena saatnya tepat dia muncul lagi mungkin aku akan menceritakan semuanya."  "Kenapa baru sekarang?"  "Saat itu aku pulang dalam keadaan hamil aja sudah membuat mereka terpukul, lagipula dia tidak tahu kalau aku hamil. Saat aku mau memberitahuinya, yang aku dapati adalah dia sedang bersama perempuan lain yang ternyata pacarnya yang sudah lebih dulu bersama nya." Sava sarkas. Saat ini dia baru bisa mentertawakan dirinya sendiri. Wajah Bian yang semua mengeras menjadi lembut, "Jujur saja aku kaget. Banget. Tapi aku sangat salut dengan keberanian mu untuk mengatakan ini."  "Tidak mudah. Tapi aku harus melewati tahap ini kalau ingin bisa memulai hubungan dengan seseorang. Sudah cukup lama aku menutup diri."  Bian mengambil tangan Sava lalu menggenggam nya lembut, tangannya terasa hangat dan nyaman. "Jangan mengasihaniku, aku tidak ingin kamu begitu. Aku tidak berharap apa-apa, kalau kamu ingin mundur teratur pun tidak masalah."  Sava lalu menarik tangan nya dari genggaman Bian, "Lebih baik kamu pikirkan dulu, Bi. Aku tidak ingin kamu menyesal dikemudian hari. Aku turun dulu, makasih ya atas ini." Sava mengangkat bungkusan berisi makanan yang sempat dibeli nya tadi.  Tanpa menunggu jawaban dari Bian, Sava lalu turun dan langsung masuk ke dalam rumah. Dari jendela, Sava masih melihat mobil sedan milik Bian masih terparkir terbesit rasa harap ia akan turun menghampiri Sava dari dalam runah lalu harapan itu langsung terjun bebas ketika melihat mobil Bian perlahan melaju meninggalkan Sava. Hatinya sakit, namun harus begitu. Ia harus memberitahu sedari awal.  Sava lalu berbalik dan menaruh bungkusan makanan ke dalam kulkas, karena ia sudah tidak melihat Hana dan Rama, jadi ia memutuskan untuk masuk ke kamar. Kini ia tidak bisa lagi membendung air mata yang sedari tadi ia tahan. Air mata langsung mengalir deras. Ini air mata pertama setelah sembilan tahun lama nya karena seorang pria.  ***  Saat siang baru menjelang, Sava baru keluar dari kamar nya sudah berpakaian rapih untuk pergi ke butik. Untungnya saat Sava hendak ke kamar mandi, ia tidak perlu bertemu orangtuanya karena mereka akan segera tahu apa yang sedang terjadi pada anak nya. Saat Sava merasa bengkak di mata nya sudah membaik, ia baru keluar kamar dengan menambahkan riasan di bagian mata.  "Semalem kamu beliin ini?" Hana bertanya kepada Sava sambil menunjuk beberapa donat dengan berbagai toping. Sava mengangguk.  "Dari Bian. Mama udah langsung tidur ya? Jadinya aku taruh di kulkas aja." Sava duduk kursi, mengambil satu donat bertoping kacang almond lalu memakannya perlahan. "Oh semalem kamu habis nonton beliin ini?" Tanya Hana, Sava mengangguk sambil mengunyah. Setelah itu Sava pamit untuk pergi ke butik dengan harapan bisa melepaskan sejenak pikiran yang sedang mengganggunya. Namun, baru ia akan memesak taksi online sebuah ketukan mengalihkan perhatian Sava, ia bangkit lalu membukakan pintu. Sosok pria yang ia kenal sedang berdiri di depan pintu rumah.  "Ada apa?" Nada suara Sava berubah menjadi dingin. Ia mengira bahwa yang datang itu adalah Bian.  "Jutek amat." Ujar Tristan.  "Ada perlu sama siapa?"  "Sama kamu."  "Sorry, aku harus pergi." Sava berbalik untuk mengambil ponsel dan tas tangannya.  "Ke butik? Biar aku yang anter yah."  "Apa? Gak usah deh. Aku udah pesen taksi online."  "Cancel aja. Ada yang mau aku bicarakan."  "Gak bisa seenaknya gitu, aku ini langganan taksi online dan aku udah denger semua keluh kesan driver gimana kalo orderan mereka di cancel." Sava memang banyak menerima curhatan para pengemudi taksi online terkait rating mereka yang harus turun akibat ulah penumpang yang tidak bertanggung jawab.  "Tuh udah datang. Aku pergi dulu." Sava berjalan melalui Tristan dan tanpa menoleh memasuki mobil taksi online yang udah di pesannya.  ***  Seharian ini Sava tidak fokus bekerja, ia kebanyakan melamun di ruangannya karena sebenarnya ia menunggu pesan dari Bian yang nyatanya sampe malam ini tidak kunjung mendapat pesan dari pria itu.  Sava harus mengerti jika Bian memutuskan untuk mundur karena tidak menerima masa lalu Sava, itu adalah hak nya. Ia berhak mencari calon istri yang lebih baik. Tapi tidak dengan Sava, jika dirinya sudah mulai membuka hati pada seseorang maka tahapan 'pengakuan' ini akan terus terulang. Ia tidak ingin dianggap berbohong nantinya.  Sava turun dari taksi online menuju rumahnya yang tampaknya masih ada tamu. Ia melihat ada mobil Tristan di pekarangan rumahnya. Itu yang membuat Sava bertanya-tanya apakah Tristan sejak tadi pagi menunggunya pulang? Ah tidak mungkin. Sava tidak punya perasaan yang aneh ketika ia melihat di ruang tamu sekarang sudah ada kedua orang tuanya yang sedang duduk serius dan didepannya ada sosok Tristan seorang diri.  "Ada apa ini?" Tanya Sava bingung. Hana dan Rama menatapnya dengan padangan yang sulit dijelaskan, lain hal nya dengan Tristan yang tidak menatap Sava sama sekali.  "Kamu baru pulang? Duduk sini dulu, Sava. Ada yang mau Papa bicarakan." Rama membuka suara, di sebelahnya ada Hana yang tampak bergeming tanpa ekspresi.  Sava mematuhi perkataan Rama, ia duduk disalah satu kursi yang ditunjuk oleh Rama, tepat berada di samping Tristan.  "Apa benar Tristan ini adalah orang yang dulu pernah buat kamu hamil?" Deg! Jantung Sava seakan berhenti berdetak. Ia lalu menoleh kepada Tristan yang sedang tertunduk.  "Tristan sudah mengakuinya." Kata Rama selanjutnya. Dari nada bicaranya, Sava tahu kalau Papa nya itu sedang menahan emosi.  Kini Tristan mengangkat kepalanya dan menatap kedua orang tua Sava, "Saat saya bertemu Sava lagi beberapa waktu yang lalu, saya memang sudah mencari nya selama ini. Namun kalau saja saya tidak menuruti kemauan Mama saya, mungkin saya tidak akan pernah bertemu dengan Sava. Saya sangat meminta maaf atas apa yang terjadi, atas perbuatan saya yang lari dari tanggung jawab. Kini saya ingin membuktikan kalau saya berniat serius untuk melamar putri Bapak dan Ibu."  Rangkaian kalimat yang diucapkan oleh Tristan sungguh membuat Sava terkejut bukan main, ia tidak menyangka kalau Tristan akan nekat melakukan itu.  "Kamu datang setelah sekian lama menghilang seolah tidak tahu apa yang terjadi kepada Sava setelah kejadian itu, kamu pikir saya akan terima begitu saja?" Rama menatap Tristan tajam.  "Saya tahu, maka dari itu bukti dari keseriusan saya adalah dengan melamarnya."  "Apa kamu yakin itu adalah yang terbaik? Kamu tidak ada kewajiban lagi untuk bertanggung jawab. Anak kamu sudah tidak ada."  Sava menahan perihnya hati nya saat masa lalu yang harusnya sudah tertutup rapat kini terbuka lagi dalam pembicaraan ini.  "Saya ingin menebus kesalahan saya."  "Apa orang tua mu juga tahu?"  "Sebelum kesini, saya sudah bilang pada orang tua saya."  "Lalu dimana mereka? Kenapa mereka tidak mendampingi anak nya untuk membuat pengakuan?"  "Mereka dalam perjalanan." Tristan menoleh kepada Sava lalu berkata, "Sudah ku bilang kan, kalau aku akan mempertahankan kamu. Savannah."  *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN