Savannah [12]

1505 Kata
Selama beberapa hari kemudian, Sava dan Bian intense komunikasi via chat pribadi karena mereka belum menemukan waktu yang tepat untuk bertemu, atau mungkin belum menemukan alasan yang tepat untuk bertemu lagi. Selain Bian juga sedang sibuk dan Sava juga sedang melanjutkan membuat pesanan istimewa untuk sahabatnya yang akan segera menikah dalam hitungan kurang dari tiga bulan lagi.  Meskipun begitu, Bian rupanya tidak pernah absen menghubungi Sava walaupun hanya untuk bertanya bagaimana kegiatan hari ini. Sava tidak memungkiri bahwa dirinya ikut menunggu ponselnya berdenting menandakan notifikasi dari Bian. Di penghujung harinya, ia selalu merasa was-was dan ketika Bian tidak menghubunginya, ia akan muncul pada pesan pertama di pagi hari.  Pada hari Minggu, Bian mengajaknya untuk pergi ke car free day untuk olahraga dan mencari bubur ayam untuk sarapan. Sava sudah siap dengan setelan olahraga, hari ini ia memakai celana training panjang longgar kaos lengan pendek. Ia sudah menunggu di sofa sambil memainkan ponselnya.  "Tumben, mau olahraga." Kata Hana yang muncul sambil membawakan gorengan bakwan untuk Rama.  "Iya dong."  "Sama temen kamu yang nama nya Bian?" Sava memang sudah memberitahu perihal Bian yang mengajaknya untuk pergi pagi ini. Sava menjawab dengan anggukan.  "Kamu kenal dimana?"  "Waktu itu gak sengaja ketemu dia nganterin aku pulang habis dari restoran yang agak masuk ke dalem itu." "Waktu makan malam sama Tristan? Kok dianterin pulang sama Bian? Bukanya harusnya sama Tristan?"  Ups. Sava tahu kalau ia keceplosan bicara.  "Kan aku mendadak gak enak badan, kebetulan aku mau langsung pulang di kasih tumpangan sama Bian sampe ketemu jalan besar aku lanjut naik taksi."  "Lagian kenapa kamu gak minta dianterin sama Tristan aja waktu itu sih malah dianterin sama orang baru? Apa jangan-jangan dia emang pacar kamu ya?" Ibunya menatap Sava dengan mata menyelidik.  "Enggak kok, emang waktu itu lagi urgent banget dan aku nolak ajakan Tristan untuk nganterin aku pulang."  "Jadi, kamu bener nih gak mau melanjutkan perjodohan kamu sama Tristan? Sepertinya dia udah menunjukan kalau tertarik dengan perjodohan ini." "Ma, ini bukan perjodohan deh waktu itu kan Mama bilangnya cuma pertemuan biasa aja dulu." Sava mengoreksi ucapan ibu nya.  "Ya sudah, sepertinya kamu lebih tertarik sama si Bian ini ya, Mama jadi pengen tahu gimana orangnya."     Sava ingin membuka mulutnya lagi namun teralihkan oleh suara ketukan pintu dari depan rumah. Sava menduga bahwa itu pasti Bian yang sudah menjemputnya. Sava bangkit lalu berjalan untuk membuka pintu dan mendapati sosok Bian yang berpakaian santai menyapa nya dengan senyuman. Sava membalas senyuman Bian dengan semburat merah di pipinya.  "Ada teman nya Sava? Masuk dulu." Hana muncul dari belakang punggung Sava menawarkan Bian untuk masuk. Bian langsung mengangguk sopan dan langsung membuka sepatunya lalu memasuki ruang tamu rumah Sava. Ia menyalami Hana lalu duduk di salah satu sofa.  "Saya Bian bu, teman nya Sava berencana ingin mengajak pergi ke car free day."      "Oh iya, boleh. Sava sudah lama sekali tidak olahraga. Anaknya agak susah diajak olahraga."  Sava diam aja tidak menginterupsi ucapan Hana.  "Ya sudah kalian boleh pergi sana, nanti keburu siang." Sava mengangguk dan lalu mengajak Bian untuk pergi menuju lokasi car free day. Setelah menemukan parkiran, mereka berjalan memasuki area car free day yang sudah dipadati oleh banyak orang yang sudah melakukan kegiatannya, ada yang jogging ada yang senam dan masih banyak lagi. Sava melakukan peregangan singkat bersama Bian lalu melakukan jogging santai menelusuri jalanan raya yang panjang dan sengaja dikosongkan untuk kegunaan acara car free day yang memang selalu diadakan setiap minggu nya sampai jam sepuluh siang nanti.  Mereka baru jogging sekitar satu kilometer, tetapi napas Sava sudah tipis dan ia menghentikan langkahnya. Bian juga ikutan berhenti lalu melihat Sava "Kamu gak papa?"  Sava menggeleng, "Aku udah lama banget gak lari, jadi ya begini deh hasilnya." Ia mencoba tersenyum sembari masih mengatur napasnya.  Bian yang berada disebelah juga ikutan tersenyum. "Ya udah lari pelan-pelan aja, kalau masih gak sanggup jangan langsung berhenti tapi jalan ya." Bian mengamit tangan Sava dan menariknya perlahan lalu mengatur langkah agar mereka tetap beriringan. Jantung Sava berdegup kencang bukan karena lari nya tapi Bian mengenggam tangannya. Perlahan ia berlari kecil sambil mengulum senyum kecil di bibirnya.  "Sampe depan ya, nanti habis itu kita cari bubur ayam." Ujar Bian lagi sambil lari dan mengenggam tangan Sava. Sava diam saja karena tidak tahu harus berkata apa. Untungnya Bian rupanya cukup mengerti tidak mengajaknya berbicara lagi karena ia tahu Sava masih kesulitan mengatur napas nya.  Mereka berdua berhenti, setelah jalan beberapa langkah setelah jogging. Bian lalu melepas genggaman tangannya dari Sava.  "Sepertinya aku memang harus dibiasain lari, karena jujur baru mulai lagi ini udah berat banget." Ujar Sava sambil mengelap keringatnya dari kening.  Bian terkekeh, "Boleh nanti kita atur jadwal rutin untuk olahraga ya." Sava mengangguk setuju. Mereka lalu berjalan lagi menuju sebuah gang yang diperuntukan khusus untuk pedagang kaki lima. Ada banyak pilihan makanan, tapi mereka menuju satu tenda yang menjual bubur ayam. Di dalam tenda tampak sudah cukup ramai pembeli yang memadati namun Sava masih melihat satu celah kecil untuk mereka bisa duduk. Bian memesan dua bubur ayam dan dua air mineral. Selagi menunggu, Bian mengeluarkan ponselnya dan memotret beberapa spot keramaian disekitar.  "Aku pikir kamu mau bawa kamera yang lensa nya banyak itu." Komentar Sava. "Enggak, aku sebenarnya gak punya kamera yang seperti itu tapi lebih memilih pake kamera handphone aja lebih praktis nanti di editnya langsung di applikasi, tapi aku ada sih kamera mirrorless biar simple.  Kan aku bilang, ini cuma sekadar hobi." Jelas Bian santai.  "Ngomong-ngomong soal hobi, dari dulu kamu memang suka gambar gitu ya?" tanya Bian lagi.  Sava mengangguk. "Iya awalnya memang hobi lalu setelah kuliah dan aku sempet kerja kantoran juga lalu sambil memperdalam skill ku, jadi lah butik."  "Kamu ada referensi dari mana gitu, kenapa gaun pengantin bukan mode fashion pada umumnya yang sekarang lagi berkembang?"  "Ada pikiran juga sih, cuma referensi awal nya itu aku lagi nonton salah satu channel luar negeri yang judulnya 'Say Yes To The Dress'. Program reality show yang calon pengantin mencari gaun pengantin disebuah butik terkenal di Manhattan dan di pilih beberapa gaun lalu calon pengantin itu mencari salah satu diantaranya yang palin dia suka." Jelas Sava dengan antusias.  "Jadi setelah mendapat pencerahan itu kamu langsung buka butik?" Respon Bian.  "Ya enggak, awalnya aku mendapat rintangan soal persetujuan. Karena waktu itu aku bilangnya mau langsung terjun tanpa harus kerja kantoran, cuma karena orang tua menasihati sebaiknya jangan langsung berkecimpung jadi aku memutuskan untuk mengikuti saran, Ikut orang yang mau menjadi guru aku, di beri pengalaman, aku belajar memilih bahan yang bagus, belajar menjahit pula dan baju aku pertama kali di bikin berdua sama beliau. Hingga akhirnya aku membulatkan tekad untuk membuka butik sendiri, masih kerja kantoran dan akhirnya butuh waktu lama berjalannya hingga butik nya bisa berdiri sendiri seperti sekarang."  Lalu kemudian pesanan bubur mereka datang, Bian langsung mengambil kecap dan menuangkan kaldu tambahan dari tempat yang sudah disediakan dan mengaduk bubur nya. Sedangkan Sava hanya mengambil sambal dan menambahkan cukup banyak lada bubuk dan tanpa mengaduk nya.  "Menarik sekali." Respon Bian. Sava hanya tersenyum menanggapinya.  Beberapa saat kemudian, pesanan bubur mereka datang. Sava lalu mengambil sambal dan menambahkan lada bubuk dan kecap.  "Jadi kita lihat bagaimana cara kamu makan bubur tanpa di aduk?"  Sava tertawa, "Memangnya aneh banget ya kalau makan bubur tanpa di aduk?"  "Enggak aneh, justru itu sesuatu hal yang baru buat aku makanya aku mau tahu."  "Ya gini aja sih, makannya gak ada yang aneh-aneh. Cuma karena tidak aduk jadi makan nya dari pinggir, ambil sedikit buburnya terus suwiran ayam dan cakwenya terus sambelnya deh. Tapi nanti aku pasti aduk kok bubur nya kalau udah habis setengah mangkuk. Aku cuma suka sensasi makan bubur gak pake di aduk pas masih utuh suwiran ayamnya." Jelas Sava.  Bian lalu mengangguk kemudian mempraktekkan apa yang sudah di bilang oleh Sava, beberapa saat dia terdiam sambil menemukan kenikmatan dalam lidahnya lalu kemudian ia mengangguk. "Itu enak juga, tapi aku lebih baik aduk buburnya deh." Ia tertawa. "Itu kembali ke selera sih." Sava pun juga ikut tertawa. "Kalau hari Minggu, butik buka gak sih?"  "Buka dong, tapi kadang-kadang ya aku liburin. Karena biasanya akhir pekan kan waktu yang pas buat pasangan cari referensi gaun pengantin." "Iya juga sih."  Setelah makan, mereka masih melanjutkan jalan-jalan sambil membawa beberapa jajanan pasar. Ketika mereka berada ditengah-tengah jalanan yang masih ramai, Bian mengeluarkan handphone nya lalu memotret situasi car free day.  "Kamu coba diri di tengah situ deh biar aku fotoin. Mau ya?"  Sava mengangguk lalu berdiri di tempat yang diarahkan oleh Bian lalu mengambil beberapa foto dirinya.  "Nanti aku kirim ke kamu ya." Jawab Bian sambil memberi tahu beberapa foto kepada Sava.  "Iya, aku polosan banget ya." "Ya kan lagi olahraga. Bukan deh, jajan. Olahraganya cuma formalitas. Banyak di jajan nya" Bian tertawa keras, lalu Sava menepuk bahu Bian.  "Udah deh jangan ngeledek."  "Iya, iya. Jangan kapok ya diajak olahraga sama aku. Lain kali masih mau kan?"  "Iya, mau kok."  Bian tersenyum lalu mengajaknya untuk pulang, kali ini Bian tidak menggenggam tangan Sava seperti tadi. Ada perasaan sedih hinggap di dalam hati Sava karena ia tidak bisa merasakan sentuhan dari tangan Bian yang kekar namun lembut itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN