Sebelum Tragedi

1514 Kata
Siapa yang tak bahagia ketika melihat sang anak menikah dengan pilihannya, Wimanata selama ini telah salah dalam beranggapan bahwa Mia adalah komplotan dari pengikut kelompok radikal. Wimanata telah menyesali perbuatannya, ia sendiri begitu ceroboh hingga rela mengambil resiko untuk mengusir anaknya sendiri dimasa yang lalu, tapi kini ia akan berusaha untuk menebus kesalahannya. Mia kini sekarang telah menjadi sosok wanita yang telah dewasa dan sudah bukan anak kecilnya lagi, tapi kegemasan dalam diri Mia selalu Wimanata dapatkan. Beliau begitu sangat mencintai Mia, sebenarnya ia sendiri tidak ada niatan untuk mengusir dan tidak menganggapnya anak lagi. Siapapun orang tua, tidak akan ada yang ingin kehilangan anaknya sendiri. Sang Adik kandung dari Wimanata yang selalu mengompori beliau beserta istrinya untuk membenci anaknya sendiri. Akibat dari perseteruan itu keluarganyalah yang menjadi korban ketidak harmonisan seperti sedia kala. Hari ini adalah hari pernikahan dari sang anak. Kini saatnya untuk Wanata menebus kesalahannya dengan menjadi wali dari Miandhita Permata, sang anak kandungnya. Sebelum acara dimulai, Wimanata bertemu dengan sang calon menantunya yang bernama Feroka Mahardika, ketika Wimanata menjabat tangan dari Fero, ia sedikit kurang sreg dengan sang calon menantunya tersebut. Diawal pertemuanya dengan sang menantu, Wimanata ada sedikit kekhawatiran sendiri ketika melihat gelagat dan sorot mata dari Fero. Wimanata merasakan ada kejanggalan didalam diri Fero tapi ia sendiri belum bisa memastikannya. Ia mencoba menepis segala sesuatu yang berasumsi negatif didalam pikirannya. Dan mulai mempercayai sang calon menantunya. Wimanata mengitari tempat acara pernikahannya tersebut. Pernikahan yang luar biasa megahnya, terlihat dari para tamu undangan yang kebanyakan dari klien bisnis kalangan atas dan tidak lupa juga awak media yang selalu menyoroti gerak-gerik dari sang calon mempelai. Wimanata rasanya ingin sekali mengunjungi putri tercintanya di kamar rias pengantin, tapi egonya masih begitu besar. Ia sendiri belum siap untuk memulai pembicaraan lebih dulu kepada anaknya sendiri. Tepat, kini saatnya acara sakral itu segera dimulai, semua dipersilahkan untuk menempati kursinya masing-masing. Wimanata telah duduk di kursi wali yang semestinya, ada perasaan luar biasa ketika dirinya duduk disana. Sebentar lagi ia akan menyerah sosok anak yang sangat ia cintai kepada laki-laki yang akan bersanding dengan sang anaknya. Sedih dan khawatir menyelimuti diri dari sosok Wimanata, tapi ia sendiri harus segera menepis segala rasa itu dan berdoa semoga kelak nanti keluarga kecil yang anaknya bangun, selalu dalam kebahagiaan, dan dalam lindungan Rabb-nya, serta tidak ada pertengkaran yang akan menghampirinya. Semuanya telah siap, pembawa acara tersebut mengucapkan perafalan yang sudah tersusun dalam sebuah kertas ditangannya, yang dianggap hanya sebagai angin lalu saja oleh Wimanata. Tiba, saatnya waktu dimana sang calon menantu untuk mengucapkan kalimat sakralnya. Ia tertegun saat melihat keberanian Fero yang meminta ijin kembali untuk mempersunting anaknya, sebelum dilanjutkan dengan kalimat sakral yang akan Fero lontarkan. Wimanata memberikan respon positif, dan menyuruh Fero untuk segera menyegerakan akadnya. Atas ijin dari Wimanata, setelah itu Fero dapat melanjutkan akadnya. Ucapan sakral itu dilontarkan oleh Fero dengan begitu lantang dan tegas dengan satu helaan napas, membuat semua orang disana terkesima. Hingga kata 'Sah' disambut oleh kehadiran semuanya. Wimanata sedikit lega, tapi rasa kekhawatiran lebih mendominasi dirinya. Ia merasakan firasat buruk, tapi itu entah dalam hal apa. Sang pembawa acara terus berujar sesuai dengan rancangan yang sudah diatur, tiba saatnya Mia, sang anak untuk menampakkan dirinya keluar dari persembuyian sigasannya. Mia berjalan begitu anggun dengan digandeng oleh sang Ibundanya, Wimanata begitu terharu melihatnya, ingin rasanya ia segera berlari kearah mereka lalu mengecup kedua bidadari itu. Wimanata tetaplah orang yang selalu menjaga image, apapun yang ada di benaknya, ia hanya akan bisa menyimpan semuanya dengan sendiri. Ia harus tetap terlihat garang dan tegas dimata orang lain. Saat mata Mia menatap dirinya, Wimanata dengan sengaja mengacuhkan dan membuang arah pandangnya kearah yang lain. Wimanata meskipun orang yang seperti itu, ia tetaplah sosok Ayah yang kadang peka terhadap anaknya. Ia bisa dapat dengan mudah menilai suasana hati dari sang anaknya. Mata dari sang anak begitu sembap, mungkin akibat dari nangisnya yang tak pernah berhenti. Ia dapat mengira bahwa itu karena dirinya yang waktu lalu pernah mengucapkan bahwa ia tidak akan datang ke acara pernikahannya. Mia terlihat lebih kurus dari waktu kemarin datang kerumahnya. Wimanata benar-benar merasa bersalah karena selalu menjunjung keegoisannya. Arah pandang Wimanata terus beralih kearah yang lain, karena ia tak sanggup melihat diri sang anak yang merasa tersiksa batin karenanya. Mungkin, dari kebanyakan tamu undangan yang hadir disana mereka akan terkesima oleh penampilan Mia, yang luar biasa cantiknya, tapi mereka tidak pernah tau pergulatan batin apa yang telah terjadi dalam diri Mia. Chesytiani selaku Ibundanya terus menuntun sang anak untuk bertemu dengan Fero yang kini telah resmi menjadi suaminya. Mata Mia menyipit, ia tersenyum dibalik niqobnya, ia mengambil alih tangan Fero untuk dapat ia cium, begitu juga Fero dengan gerakan refleks ia mencium puncak kepala dari Mia yang kini telah resmi menjadi Istrinya. Setelahnya, Mia beralih kepada Wimanata untuk mencium punggung tangan dari sang Ayah. Saat Mia memanggil 'Ayah' dengan mengambil tangannya, Wimanata merasakan perih pada bagian sekitar matanya, rasanya ada sedikit sesuatu yang ingin dikeluarkan dari tempatnya tapi ia tahan. Mia mengucapkan terimakasih, dan meminta ijin untuk memeluknya. Wimanata hanya bisa mengiyakan dengan menganggukan dagunya, tanpa mengucapkan kata apapun lagi. Karena ia sendiri tidak bisa berucap lagi. Wimanata merasakan bahwa Mia menangis dalam pelukannya, membuat hatinya semakin teriris, ia merasa bersalah dan muak dengan dirinya sendiri. Egonya benar-benar mengalahkan semuanya. Wimanata hanya bisa mengelus punggung Mia dengan wajahnya yang santai, ia begitu hebat menyembunyikan pergulatan batinnya. Acara demi acara sudah dilewati dengan amat lancar, kini hari sudah semakin gelap dan acarapun sudah selesai. Selama acara berlangsung Mia tidak ingin jauh dari Ibundanya. Hari bahagia bersama dengan orang tersayang adalah suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan untuk setiap hambanya. Tapi kebahagiaan itu tidak akan selamanya selalu bahagia, karena akan kembali pada perputaran porosnya. Wimanata kini harus pamit terlebih dahulu untuk pulang ke kotanya yang berada di Bandung. Ada rasa tidak rela untuk meninggalkan sang anaknya kembali. Kini tiba saatnya Wimanata harus meminta maaf kepada sang anak atas perilakunya yang selama ini tak bermoral kepada sang anak. Setelah seharian Wimanata irit dalam berbicara kini beliau mengungkap semuanya sebelum ia benar-benar pergi. Disaat ia hendak pamit, Wimanata membelai puncak kepala Mia dengan uraian air mata, akhirnya pertahanannya dirinya roboh. Ibarat sekekar-kekarnya batu karang jika ia terus diterjang oleh air laut, maka lama-kelamaan karang itu akan mengikis. Wimanata terus memeluk sang anak dan enggan untuk kehilangan lagi, iapun meminta maaf sedalam-dalamnya. Sang Ibundanya, Chesytiani ikut andil memeluk suami dan anaknya. Tidak lupa juga Wimanata memohon kepada Fero beserta kedua orang tuanya untuk terus menjaga anaknya sebaik mungkin. Berhubung hari semakin malam dan gelap mereka menawarkan untuk Wimanata beserta Istrinya agar menginap semalam di pesantren ataupun ikut kesebuah apartment yang dekat dengan pesantren tersebut. Tapi tawaran itu ditolak oleh Wimanata dengan alasan banyak pekerjaan yang menumpuk di rumah dan harus selesai dalam waktu dekat. Setelah berpamitan, dengan penuh uraian air mata, kini Wimanata pulang dengan sang istri, Chesytiani. Didalam perjalanan pulang Chesytiani selaku istrinya, bercerita dengan sangat antusias senangnya karena dapat hadir di acara pernikahan anaknya. Selama perjalanan istrinya selalu bercerita dan tidak pernah merasakan aneh sedikitpun, perjalanan menuju pulang ke Bandung juga begitu tenang dan nyaman tanpa kendala. Hingga memasuki tol cipularang tepat disaat mendekati tikungan tajam di km 97, Wimanata merasakan sedikit kejanggalan dan ia sendiripun masih tidak mengerti. Wimanata merasakan udaranya yang begitu tiba-tiba berubah, hawa panas kini mendominasi dirinya. Penglihatannya juga semakin buram, ia berkali-kali mengedipkan mata agar dapat menetralkan arah pandangnya. Chesytiani yang semenjak tadi bercerita kini sudah kewalahan, dan kini sang istri sudah larut dalam mimpinya. Wimanata sendiri yang awalnya begitu masih terlihat segar kini menjadi begitu lemas dan mengantuk, iapun berkali-kali menguap. Konsentrasi Wimanata dalam menyupir kini benar-benar buyar. Tiba-tiba ia mengerem mendadak, karena melihat suatu bayangan melintas dengan begitu cepat. Akibat remnya yang mendadak membuat Chesytiani itu bangun. Wimanata kembali melajukan mobilnya namun tiba-tiba kepalanya berdenyut hebat membuat dirinya oleng dalam mengendarai. Chesytiani yang berada disamping syok berat tidak tau harus berbuat apa, karena dirinyapun tidak bisa menyupir menggantikan sang suami. Dari arah depan Wimanata merasakan ada sebuah kontainer besar melintas dari arah yang berlawanan, iapun berusaha untuk menghindarinya, alhasil mobil dari dirinyalah yang menabrak pembatas jalan. Kap mobil itu terbuka dan mengeluarkan asap, Wimanata sendiri kepalanya terbentur stir sedangkan kakinya terjepit dibagian dalam sana. Lalu sang istri, Chesytiani juga mengalami benturan keras pada bagian kepalanya hingga mengeluarkan banyak darah. Suasana tol saat itu sepi hanya beberapa mobil yang melintas, saat dibawakan kerumah sakit keduanya tidak mendapatkan pertolongan, dan merekapun tewas saat menuju rumah sakit. Kecelakaan yang terjadi itu kecelakaan tunggal dan banyangan sebuah kontener itu hanya sebuah halusinasi dari Wimanata. Bukan pertama kalinya terjadi kecelakaan di tol cipularang km 97, didaerah situpun sudah sangat terkenal akan kemistisannya. Selain itu juga area ruas lengkungan tanjakannya yang begitu tajam dan juram. Malam pernikahan Mia adalah malam terakhir untuk Wimanata dapat memeluk sang anak dan menjalin kasih dan sayang kembali setelah sekian lama regang akibat tertutupnya hny keegoisan yang dapat mengundang sebuah malapetaka yang berakhir diri sendiri yang akan merasa terluka dan menyebabkan kerugian oleh perilaku yang salah dalam mengambil setiap prospek kehidupan Meminta maaf atau memafaatkan hanya itu cara yang dapat menenangkan jiwa, tanpa takut diri akan terluka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN