Bab 7 - Impian Yang Terwujud

1330 Kata
Beberapa kali, Vincent mengetukkan jarinya di meja. Sedang satu tangan yang lain, ia gunakan untuk menopang kepalanya. Tak lama, ia meraih telepon yang ada di hadapannya. "Rizki, ke ruangan saya sekarang." Vincent langsung menutup panggilan teleponnya, tanpa menunggu jawaban dari si penerima telepon. Tak lama kemudian, masuk seorang pria yang merupakan sekretaris, sekaligus tangan kanan Vincent, Rizki. "Ada yang bisa saya bantu, Pak." Rizki sedikit membungkukkan badannya ke arah Vincent. "Lu tau, kalau Alicia dekat dengan bunda gue?" Rizki mengernyitkan alisnya. Merasa heran, dengan bahasa kasual yang Vincent gunakan. Karna, biasanya Vincent selalu menggunakan bahasa formal jika mereka sedang berada di jam kerja. Enam tahun bekerja sebagai sekretaris Vincent, membuat keduanya menjadi seperti sahabat. terlebih, usia mereka yang hanya berbeda dua bulan. Membuat obrolan keduanya selalu nyambung satu sama lain. Biasanya, Vincent hanya akan menggunakan bahasa kasual, jika jam kantor sudah usai. Namun, entah kenapa pagi ini justru Vincent seperti melupakan peraturan yang dibuatnya sendiri, yang melarang berbicara bahasa kasual saat jam kantor. "Maaf, Pak. Saya ga tau." Vincent mendesah frustrasi. "Bisa, ga. Kita ngobrol pake bahasa santai kali ini?" tanya Vincent, yang meski membuat Rizki bingung, namun tetap menyetujui permintaannya itu. "Kenapa lu tanya kaya gitu?" Kini, giliran Rizki yang bertanya pada Vincent. Ia menarik kursi yang ada di depannya. Dan, duduk berhadapan dengan Vincent. Vincent menggeleng. "Pagi tadi, Bunda dateng ke rumah. Gue pikir, dia mau ketemu gue. Tapi, ternyata engga. Dia malah mau pergi ke salon sama Alicia." "Lu, serius?" tanya Rizki tak percaya. Rizki sangat tau, hubungan mereka seperti apa. Jadi, tak heran jika ia tak bisa percaya dengan ucapan Vincent barusan. "Sumpah. Dan, ngeliat bunda senyum hangat ke Alicia itu, pertama kalinya buat gue." "Pagi-pagi gini, jangan suka bohong, Vin." Rizki jadi merinding sendiri, membayangkan istri dan ibu dari bosnya itu saling tersenyum hangat. Hal, yang mustahil menurutnya. Vincent melemparkan sticky note ke arah Rizki. Kesal, karna lelaki itu begitu tak percaya padanya. "Weits. Santai, Bro." Rizki menampilkan senyum mengejeknya. "Gue lagi serius ini, Ki." Maksud Vincent memanggil Rizki adalah, agar ia bisa menemukan titik terang dari keanehan yang terjadi pada bunda dan istrinya. Namun sepertinya, Rizki justru menambah rasa frustrasi Vincent. "Gue juga serius, Vin. Lu kan tau, hubungan bunda sama Alicia kaya gimana. Jadi, rasanya cerita lu itu kaya dongeng buat gue." Vincent mendesah lelah. Ia pun, setuju dengan ucapan Rizki barusan. Tak seperti biasanya. Penampilan Vincent pagi ini, sungguh sangat berantakan. Jas sudah teronggok di lantai. Dasi sudah terlepas simpulnya. Bahkan, kemeja toska yang ia gunakan pun, sudah tak rapi seperti biasanya lagi. "Coba, deh. Lu cari tau tentang hubungan mereka berdua." Rizki mengangguk. "Oke." Melihat Rizki yang masih duduk manis di depannya. Vincent pun, kembali melemparkan sesuatu pada Rizki. "Sekarang, Ki!" perintahnya tak ingin dibantah. "Oke-oke." Tak ingin mendapat amukan dari bosnya. Rizki pun, segera beranjak untuk mencari informasi seputar Alicia dan Yolanda. *** "Duh, kok ini baju ga cocok di Bunda, sih." Yolanda memutar tubuhnya ke kiri dan ke kanan di depan cermin besar. Alicia yang tengah merapihkan bajunya pun, menoleh ke arah Yolanda. Kemudian, berjalan mendekati ibu mertuanya tersebut. "Cocok kok, Bun," ucapnya, saat sudah berdiri di belakang Yolanda. "Bunda jadi keliatan norak, Al. Ga cocok, ah," ujarnya tak setuju dengan pendapat Alicia. Cocktail dress berwarna dark magenta dengan aksen lace di bagian atas tubuh hingga ke lengan itu, terlihat begitu anggun dikenakan oleh Alicia dan Yolanda. Namun, entah mengapa justru sekarang Yolanda merasa tak pantas menggunakannya. Padahal menurut Alicia, juga beberapa pegawai butik di sana mengatakan bahwa, Yolanda sangat cocok menggunakannya. Terlebih, wajahnya yang terlihat masih muda. Membuat orang tak akan menyangka, jika usianya sekarang sudah di atas lima puluh tahun. Ia terlihat begitu serasi dengan Alicia, yang menggunakan gaun yang hampir mirip dengannya. Bedanya, pada gaun Alicia, bagian lengannya hanya sampai batas sikunya saja. Keduanya, persis seperti pasangan ibu dan anak. "Bunda ganti gaun lain aja, ya. Beli yang cocok sama Bunda. Ini terlalu kaya anak muda gaunnya." Alicia pura-pura cemberut. Kemudian, mulai merajuk pada Yolanda. Hal yang menjadi kelemahan Yolanda sekarang. "Katanya, Bunda mau pake baju kembaran sama aku. Kok, malah mau beli yang lain, sih. Kemarin kan, kita udah sepakat mau pake yang ini." Alicia membuat suaranya semanja mungkin. Melihat Alicia merajuk, berhasil membuat Yolanda berpikir ulang untuk mengganti gaunnya. Terlebih, sebenarnya ini adalah impiannya sejak dulu. Bisa pergi ke acara resepsi pernikahan bersama dengan anak perempuannya dengan baju yang kembaran. Meski sayangnya. Impian itu harus ia kubur dalam-dalam. Lantaran, Vincent adalah anak tunggalnya. Yolanda, tak bisa lagi memiliki anak pasca insiden robek rahim yang cukup parah saat melahirkan Vincent dulu. Yang mana, mau tak mau membuat rahimnya harus diangkat untuk selamanya. Karna jika tidak, maka nyawanya lah yang terancam bahaya. Saat Vincent menikah dengan Alicia. Yolanda tak pernah berharap ia akan bisa datang ke acara seperti itu bersama Alicia. Mengingat, sifat Alicia yang tak pernah bersahabat dengannya sejak awal. Namun kini, semua berubah. Alicia, tak lagi seperti dulu. Menantunya itu, kini justru sangat akrab dengannya. Bahkan, kedekatan keduanya sudah seperti ibu dan anak kandung. Maka dari itu, impiannya untuk bisa pergi ke acara resmi bersama akhirnya bisa terwujud. Yolanda menghela napasnya. Pasrah. Akhirnya, memutuskan untuk tetap menggunakan gaun yang sama dengan Alicia. "Fine. Bunda bakal tetep pake gaun ini. Puas, kamu?" ucapnya sedikit merengut. Meski dalam hati sebenarnya merasa senang. Alicia tersenyum senang. Kemudian mendaratkan kecupan di pipi Yolanda. Selesai dengan semua urusannya. Keduanya pun, berangkat menuju lokasi acara. *** Meski merasa lelah karna harus berkeliling menyapa hampir seluruh teman sosialita Yolanda. Alicia tetap merasa senang, karna banyak yang memuji kecantikan. Apalagi, banyak yang berkata bahwa Yolanda beruntung memiliki anak secantik Alicia. Bahkan banyak dari mereka, yang menginginkan Alicia untuk jadi menantu mereka. Yang otomatis, langsung ditolak oleh Yolanda. Tak banyak yang tau perihal status pernikahan Alicia dan Vincent. Terlebih, profesi Alicia yang merupakan seorang model. Membuatnya sebisa mungkin menutupi statusnya, agar karirnya tak hancur. Sedang Vincent sendiri, tak pernah membawa Alicia ke acara apapun karna terlalu malas dengan wanita itu. Hingga, sampai saat ini belum banyak yang tau siapa istri dari seorang Vincent Auguste. "Duh, Jeng Yolan. Ini beneran cantik banget, loh anaknya. Kita besanan aja, yuk," ajak salah satu teman sosialita Yolanda. Tatapannya beralih ke arah Alicia. "Nak Al, mau coba kenalan dulu sama anak Tante, ga?" tanyanya penuh harap. Belum sempat Alicia menjawab, sebuah rangkulan di pinggangnya sudah ia rasakan. Saat menoleh, ia mendapati Vincent sudah berdiri di sampingnya. Tepat, di antara Alicia dan Yolanda. "Bunda ngapain, di sini?" tanya Vincent dengan wajah yang mengarah ke Yolanda. Yolanda terkejut, mendapati anak kesayangannya itu ada di pesta yang sama dengannya. "Loh. Kok, kamu bisa ada di sini?" tanya Yolanda balik. "Harusnya aku yang tanya. Bunda kenapa bisa ada di sini?" "Pengantin wanitanya, anak temen arisan Bunda. Makanya, Bunda dateng ke sini. Kamu sendiri, ngapain di sini?" "Pengantin prianya, salah satu kolega Vincent. Maka dari itu, aku ada di sini." Kedua orang tua dan anak itu saling berbincang. Tanpa peduli, dengan Alicia yang semakin erat dirangkul oleh Vincent. Seolah, meski pria itu terlihat acuh. Namun sebenarnya, ia begitu posesif. Tak ada yang menyadari, bahwa sejak tadi jantung Alicia sudah berdetak dengan kencang. Bahkan, wajah putihnya kini sudah berubah semerah tomat. Berkali ia mencoba melepas rangkulan Vincent di pinggangnya. Berkali itu pula, Vincent semakin mengeratkan rangkulannya. "Eh, ngomong-ngomong. Kok, Vincent rangkul Alicia mesra banget, sih," celetuk teman Yolanda.  Semua mata, akhirnya tertuju pada Alicia. Yolanda, yang menyadari rangkulan Vincent di pinggang Alicia tersenyum cerah. Namun, secepat kilat senyum itu ia hilangkan. Ia pun, berpindah ke tengah antara Vincent dan Alicia. Yang mana, membuat Vincent mau tak mau melepaskan rangkulannya pada Alicia. Vincent, yang melihat tingkah Bundanya. Seketika memprotes. Meski protesnya tak jadi ia keluarkan. Lantaran, sang bunda sudah memelototi dirinya. "Apa kamu?" tanya Yolanda galak. Mendapat gertakan seperti itu dari bundanya. Nyali Vincent pun, ciut. Baginya, bunda adalah segalanya. Yang tak bisa dibantah. Dan, selalu memiliki kedudukan tinggi di hidup Vincent. Vincent mendengus kasar. Mana kala ia lihat Alicia ditarik oleh bundanya pergi menjauh darinya. "Awas aja, Bunda," ujar Vincent kesal. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN